Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing.
"Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina.
"Baru aja," jawab Raffael.
Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernah
seperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex.
"Kebetulan kami bertemu di parkiran."
Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.
Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin.
"Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya."
"Ya, semoga."
"Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
"Sabarlah, Tuan! Apa kau tidak lihat di depan macet?!" teriak Revalina di atas motor sambil menoleh ke arah mobil yang berada tepat di belakangnya karena terus menyalakan klakson.Tidak berselang lama kemacetan terurai. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang.Tin!Suara klakson terdengar nyaring saat mobil itu menyalip. Nahas, ban mobil menginjak genangan air dan mengenai Revalina."Aaaaa!" gadis itu berteriak lalu menepi. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilannya di kaca spion."Astaga! Wajahku ... bajuku juga ...." Revalina berdecak kesal sambil menatap sinis mobil mewah yang sudah menjauh.Tangannya merogoh sapu tangan dalam tas kemudian membersihkan wajahnya. Setelah bersih, ia melempar sapu tangan itu ke dalam tong sampah yang tak jauh darinya."Sial! Bisa telat kalau begini. Mana katanya sekarang dosennya galak lagi," gerutuny
Pukul satu siang, mobil mewah milik Raffael terparkir di salah satu mall ternama.Tanpa memedulikan Revalina, pria itu membuka sabuk pengaman lalu turun."Mall? Apa dia mau melakukannya di mall? Yang benar saja?" gerutu Revalina. "Eh ... tunggu!" lanjutnya berteriak.Revalina terus berlari dan akhirnya bisa menyejajarkan langkah dengan dosennya."Yang benar saja, masa mau melakukannya di mall?" tanya Revalina dengan napas tersengal."Astaga! Kau ini beneran polos atau gila atau memang bodoh?" ucap Raffael pelan."Kau bilang apa?""Dasar gila!""Kau!" Revalina berdecak kesal.Mau tidak mau gadis itu mengikuti kemana dosennya pergi, hingga akhirnya sampai di sebuah outlet pakaian brand ternama."Ada yang bisa kami bantu, Tuan," sambut sang pelayan ramah."Tolong layani gadis ini. Terserah dia mau pilih berapa banyak baju."Sang pelayan menyambut Revalina dan me
"Sudah dipastikan jika aku yang akan memenangkan sidang nanti!"Semua mata tertuju pada sosok wanita yang baru saja masuk. Siapa lagi kalau bukan Casandra --mantan istri Raffael.Raffael beranjak dari duduknya dan menghampiri Aldevaro seraya berkata, "Apa kau tidak kasihan melihatnya? Dia membutuhkan ASI. Aku mohon berilah walau sekali dalam sehari."Casandra tertawa lepas. "Hey! Sudah aku bilang dari sebelum kita menikah. Jika memiliki anak, tidak akan aku susui," jawab Casandra. "Apalagi aku sudah terkenal sekarang. Lalu bagaimana jika pay*daraku kendur nanti?""Kau egois. Kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Mana Casandra yang dulu aku kenal. Mana?!" bentak Raffael."Setelah kau mengenal uang kenapa dirimu berubah? Apa tidak cukup uang bulanan yang selalu putraku beri? Sampai-sampai kau lebih memilih pria lain yang bahkan tidak jelas asal-usulnya!" timpal Hanna denganemosi.Ferdy hanya menyimak obrolan mereka sambil me
Jarum jam sudah menunjuk pada angka sembilan malam. Namun, Revalina enggan untuk terpejam. Miring kanan, miring kiri, bahkan tengkurap sudah ia lakukan. Entah mengapa rasa gelisah kian menggerogoti hati tatkala dirinya mengingat Aldevaro."Ya, Tuhan, kenapa wajah polos bayi itu selalu terngiang di otakku? gumam Revalina.Suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia beranjak dan mengambil benda pipih itu di atas nakas."Siapa ini?" ucapnya ketika melihat nomor yang tidak ia kenal di layar ponsel.Revalina menolak panggilan. Ia meletakkan kembali ponselnya. Namun, lagi-lagi ponsel itu berdering."Astaga, siapa, sih?" kesalnya sambil meraih ponsel.Revalina mendengkus sebal karena saat ia akan menerima, panggilan itu terputus.Ting!Panggilan masuk berubah menjadi pesan singkat."Tolong angkat teleponnya. Ini aku, Raffael," isi pesannya.Revalina membulatkan matanya saat membaca
Selama di restoran, Revalina belum memberikan jawaban. Ia merasa bingung dan ada rasa sesal dengan ucapannya dan kini menjadi boomerang. Namun, di sisi lain, ia sangat peduli bahkan sayang kepada Aldevaro. Ia tidak ingin putra dari dosen gantengnya berada di tangan yang salah meskipun ibu kandungnya sendiri.Akan tetapi, kalaupun dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri sah Raffael, apakah ia sanggup, apakah ia bisa, apakah ia mampu mengurus bayi diusianya yang masih muda? Pertanyaan itu yang bergelayut dalam pikiran Revalina sekarang, dan yang tak kalah penting adalah apakah bisa ia mencintai sosok Raffael, pun sebaliknya.Gadis cantik itu duduk termangu di sofa balkon dengan tangan terus mengaduk segelas susu coklat yang ada dalam genggamannya."Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana?" gumam Revalina."Bagaimana apanya, Sayang?" tanya Cindy yang tiba-tiba saja datang sambil menepuk pelan pundak putrinya."Astaga! Mama!" Rev