Pukul satu siang, mobil mewah milik Raffael terparkir di salah satu mall ternama.
Tanpa memedulikan Revalina, pria itu membuka sabuk pengaman lalu turun.
"Mall? Apa dia mau melakukannya di mall? Yang benar saja?" gerutu Revalina. "Eh ... tunggu!" lanjutnya berteriak.
Revalina terus berlari dan akhirnya bisa menyejajarkan langkah dengan dosennya.
"Yang benar saja, masa mau melakukannya di mall?" tanya Revalina dengan napas tersengal.
"Astaga! Kau ini beneran polos atau gila atau memang bodoh?" ucap Raffael pelan.
"Kau bilang apa?"
"Dasar gila!"
"Kau!" Revalina berdecak kesal.
Mau tidak mau gadis itu mengikuti kemana dosennya pergi, hingga akhirnya sampai di sebuah outlet pakaian brand ternama.
"Ada yang bisa kami bantu, Tuan," sambut sang pelayan ramah.
"Tolong layani gadis ini. Terserah dia mau pilih berapa banyak baju."
Sang pelayan menyambut Revalina dan mempersilakan gadis itu memilih, sedangkan Raffael beranjak pergi.
Sedang asyik memilih, tiba-tiba saja sesuatu mengenai kaki Revalina.
"Awwww!" keluh gadis itu.
"Ah, maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja."
Ternyata, ban kereta bayi yang didorong oleh wanita paruh baya menggilas kaki Revalina.
"Tidak apa-apa, Nyonya," ujar Revalina sambil tersenyum.
Mata Revalina membulat sempurna dengan senyum mengambang saat melihat bayi dalam kereta itu. "Waaah, tampan sekali. Ututututu ... pipinya gembul sekali, Nyoya. Apa aku boleh menggendongnya?"
Tanpa persetujuan, Revalina menggendong sang bayi. "Tampan sekali. Siapa namamu, Sayang?"
Revalina menciumi pipi bayi gembul itu sampai-sampai sang bayi tertawa karena geli. Mata Revalina menangkap wanita yang dipanggilnya nyonya sedang menatap dirinya lekat.
"Eh, maafkan aku, Nyonya," sesal Revalina sambil menidurkan kembali bayi itu ke dalam kereta. "Maaf, sudah lancang," lanjutnya.
Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu berucap, "Tidak apa-apa, Nak. Saya hanya kaget saja karena Aldevaro biasanya suka menangis kalau digendong orang asing."
Revalina mengangguk sambil berkata 'oh' lalu berjongkok di depan kereta bayi.
"Jadi, namamu Al, tampan? Uuh ... biar aku cium lagi kau, ya?" Revalina kembali mendaratkan bibirnya membuat bayi itu tertawa nyaring.
"Namamu siapa, Nak?"
"Panggil Reva atau Rere saja, Nyonya," jawab Revalina kemudian berdiri.
Wanita paruh baya itu mengangguk dan mengulurkan tangan. "Perkenalkan, saya Hanna, Neneknya Al."
Revalina menyambut uluran tangan. Obrolan hangat terjadi antara keduanya, sampai Revalina lupa jika dirinya akan memilih pakaian.
Hanna menanyakan kenapa Revalina bisa berada di sana dan apa yang sebenar terjadi karena melihat baju gadis itu kotor.
Tak segan Revalina menceritakan apa yang telah menimpa dirinya. Dengan penuh luapan emosi ia mengatakan jika dosen barunya itu menyebalkan.
Saat Revalina bercerita, Raffael menghampiri mereka.
"Nah ini ... ini dosen yang paling menyebalkan itu, Nyonya," ucap Revalina.
Hanna melongo sembari menatap Raffael.
"Heh! Apa kau gadis gila?!" bentak Raffael.
Raffael menatap Hanna dan tersenyum ramah kemudian berkata, "Mama ada di sini ternyata. El cari Mama ke kantor."
"What? Mama? Uwaaduuh! Mana udah jelekin anaknya lagi .... Bagaimana ini?" Revalina menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Walau canggung, Revalina mencoba untuk angkat bicara. "Hehe ... anaknya, Tante?"
Hanna tampak menahan senyum. "Iya, dia anak saya. Dosen paling menyebalkan itu."
Raffael menatap Revalina sinis. Yang ditatap hanya terkekeh-kekeh dan mengangkat jari telunjuk dan tengah pertanda damai, 'peace'.
Aldevaro tiba-tiba saja menangis kencang. Revalina dengan sigap akan menggendong, tetapi tangan Raffael menepisnya.
"Anak Papa haus, hm?"
"Pa-Papa?" tanya Revalina seraya menatap Raffael dan Hanna tak percaya.
Hanna hanya mengangguk dan tersenyum.
Aldevaro tetap saja menangis dan tidak mau meminum susu, pun dalam gandengan Hanna.
"Sini, biar aku yang gendong, Tante," pinta Revalina.
Lagi, tangan Raffael menepis. "Jangan sentuh anakku!"
Revalina meminta maaf atas sikapnya di kampus tadi. Ia berjanji tidak akan mengulangi lagi dan rela mendapat nilai E dari Raffael, asalkan mengizinkan dirinya untuk mencoba menenangkan putranya.
Tanpa menunggu persetujuan Raffael, Hanna memberikan cucunya kepada Revalina, karena ia yakin jika Aldevaro akan tenang.
"Jangan be-" Ucapan Raffael terhenti, karena benar saja, bayinya tenang ketika berada di gendongan Revalina, bahkan tertawa.
"Uuuh ... sayang. Kamu bosan di kereta terus, ya?" Revalina terus mengajak Aldevaro berbicara.
Hanna mengajak Raffael sedikit menjauh. Ia mengatakan bahwa sedari tadi Aldevaro tenang dalam gendongan Revalina. Pun dengan Raffael, ia menceritakan bagaimana bisa dirinya sampai membawa muridnya ke sana. Hanna terkekeh-kekeh saat mendengar penuturan putranya karena dituduh menghamili Revalina.
Revalina menghampiri. "Maaf, Nyonya. Aku harus pulang," tuturnya sambil mengalihkan Aldevaro ke tangan Hanna.
"Ah, iya, Nak. Tapi, pulang dengan siapa?"
"Aku akan suruh sopir untuk menjemput," sahut Revalina.
Ponsel Raffael berdering. Pria tampan itu menjauh dari posisinya sekarang untuk menerima panggilan.
Revalina terus menciumi pipi bayi gembul itu sebagai tanda perpisahan.
Tidak berselang lama, Raffael kembali menghampiri mereka. "Ma, Om Ferdy sudah menunggu di kantor."
"Baiklah, Nak. Tapi, apa mantan istrimu sudah sampai?"
Revalina tercengang mendengar ucapan Hanna. Wanita itu berspekulasi sendiri terhadap dosennya. Antara duda atau sudah punya istri kedua.
"Kalau begitu aku permisi, Tuan, Nyonya," tutur Revalina sambil membungkukkan badan. "Dadah bayi gembul, sampai ketemu lagi lain waktu, ya, Sayang," sambungnya sambil mencium pipi Aldevaro.
"Maaf, aku tidak bisa mengantar pulang. Oh, iya, kenapa bajumu masih memakai yang itu?" tanya Raffael.
"Aku bisa menggantinya di mobil," jawab Revalina.
Baru saja Revalina berbalik, Aldevaro menangis. Sontak saja membuat Revalina menoleh dan menghampiri bayi itu kembali.
"Jangan menangis, Sayang. Tate syantik nanti gak tega tinggalin kamu," ujar Revalina sambil mengusap kepala Aldevaro.
"Cih! Tante syantik," ejek Raffael diiringi senyuman masam.
Revalina mendelik.
Bayi itu mengangkat kedua tangannya meminta Revalina untuk menggendongnya lagi. Dengan sigap Revalina membawanya dalam dekapan.
"Duh, bagaimana ini?" tanya Revalina.
Raffael terus saja memandang wajah Revalina seakan-akan mencari jawaban. "Begini saja, bagaimana kalau kau ikut dengan kami dulu ke kantor. Siapa tau kalau Al bertemu dengan ibunya akan tenang."
Revalina terdiam kemudian tersenyum licik. "Oke! Dengan satu syarat," ucap Revalina.
"Apa?" tanya Raffael.
"Nilai kuliahku jangan sampai E."
"Oke, D!"
"Haaiiisss! Kalau begitu sama saja. Tidak mau!" ujar Revalina
Raffael membuang napas kasar. "Baiklah, biasa diatur. Sesuai kemampuanmu tentunya."
"Hah! Okelah," pekik Revalina pasrah.
Setelah keduanya sepakat, mereka menaiki lift menuju kantor di mall tersebut. Di dalam lift, tentu saja Revalina bertanya, apakah Raffael bekerja di kantor itu atau sebagai pemilik mall.
"Ck! Tidak perlu tau!" ketus Raffael.
"Apa susahnya tinggal jawab YA atau TIDAK!"
Raffael tidak menghiraukan apa yang Revalina katakan. Dirinya fokus menatap pintu lift dengan kedua tangan ia masukan dalam saku celana.
"Nanti kalau kau sudah besar, jangan sampai seperti Papamu, ya?" celoteh Revalina kepada Aldevaro dan disambut tawa oleh bayi itu.
Raffael hanya melongo melihat putranya yang seolah-olah mendukung apa kata Revalina. Sang nenek hanya tersenyum melihat tingkah ketiganya.
Setibanya di kantor, Raffael dan Hanna langsung menghampiri Ferdy --seorang pengacara. Mereka duduk di sofa saling berhadapan.
"Jadi, bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan calon istri?" tanya Ferdy kepada Raffael.
Raffael menghela napas sambil bersandar pada kursi. "Belum, anakku selalu menangis saat orang asing mendekatinya."
"Waktumu lima hari lagi. Lebih dari itu, jangan salahkan aku jika hak asuh atas anakmu lepas begitu saja," tutur Ferdy.
Ferdy menatap Revalina, lalu menanyakan kepada Raffael siapa gadis yang sedang bersama Aldevaro Xie. Raffael pun menceritakan siapa Revalina dan kejadian yang sudah dialaminya. Ferdy terbahak merasa puas karena baru kali ini ada seorang wanita yang mampu membuat seorang Raffael kesal.
Begitupun dengan Hanna, ia angkat bicara perihal cucunya yang terlihat nyaman bersama Revalina.
Hening.
Ketiga pasang mata sedang menyaksikan interaksi antara Revalina dengan sang bayi.
Revalina yang menyadari jika ternyata ia menjadi pusat perhatian mereka pun bertanya, "A-ada apa?"
Ferdy dan Hanna tersenyum penuh arti. Lain halnya dengan Raffael. Ia berpangku tangan dengan sorot mata tajam melihat Revalina.
Revalina menggeleng. Dalam benaknya ia menebak sendiri, apakah dirinya yang akan dijadikan istri? Istri seorang duda.
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p