Share

4. Kemarahan Amir

last update Last Updated: 2025-09-26 12:06:15

Zeta berdiri terpaku, napasnya tercekat ketika kain daster yang sudah lusuh itu terkoyak di tangan Amir. Suara robekannya memantul di dinding rumah kecil itu, membuat udara malam yang tadinya tenang berubah mencekam.

“Pa… Pak Amir, saya nggak bermaksud apa-apa,” suara Zeta gemetar. Tangannya refleks menutupi bagian tubuh yang terbuka.

Amir menatapnya tajam, mata tuanya dipenuhi sesuatu yang sulit diterjemahkan—antara marah, sedih, dan getir. Namun perlahan, sorot itu melembut. Pria itu menarik napas panjang, lalu melepaskan potongan kain yang masih berada di tangannya.

“Aku… maaf,” ucapnya pelan. “Aku nggak seharusnya marah begitu. Daster itu… punya kenangan buatku. Aku belum siap lihat orang lain memakainya.” Zeta hanya bisa menutupi bagian depan baju yang sudah robek. Ia menunduk, masih berusaha menahan gemetar di lututnya.

“Saya benar-benar nggak tahu, Pak. Pakaian saya di tas rusak semua. Saya cuma nyari yang bisa saya pakai supaya nggak kelihatan… ya, begini.”

Amir mengusap wajahnya, lalu melangkah ke lemari. Dari rak paling bawah, ia menarik keluar sebuah bungkusan plastik bening. “Ini ada baju kaus sama celana kain. Bukan bagus, tapi masih bersih. Pakai ini aja dulu.”

Dengan gerakan kaku, Zeta menerima pakaian itu. “Terima kasih, Pak.”

Suasana hening sejenak. Hanya suara tik-tik air dari kamar mandi yang terdengar. Amir kemudian menarik kursi dan duduk, menunduk dalam-dalam. Zeta mengusap air mata yang masih membasahi pipinya.

“Rumah ini… penuh kenangan,” katanya lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Setiap sudutnya masih ada bayangan mereka. Mereka akan tetap menjadi istri dan anakku."

Zeta menatap pria itu, ada sesuatu yang berbeda di balik garis wajah tuanya. Lelaki yang di matanya sempat terlihat keras dan menakutkan itu, kini tampak rapuh.

“Saya minta maaf sudah bikin Bapak marah,” ucap Zeta perlahan. “Saya juga… belum terbiasa semua ini.”

Amir mengangguk tanpa menatapnya. “Kamu makan duluan aja, nanti aku nyusul. Ganti baju yang tadi, ya.”

Zeta menurut. Ia melangkah ke kamar kecil itu, mengganti pakaian dengan kaus abu-abu longgar dan celana kain yang Amir berikan. Meski sederhana, setidaknya ia merasa lebih aman daripada tadi. Zeta memandangi susunan baju di dalam lemari yang sangat rapi. Ia menutup pintu itu kembali sembari bersumpah bahwa ia tidak akan menyentuh barang peninggalan almarhumah istri Amir.

Saat ia keluar lagi, Amir sudah duduk di meja makan, wajahnya lebih tenang. Piring-piring sederhana berisi nasi, sayur sop, dan ikan goreng tersusun seadanya.

“Duduk,” kata Amir.

Zeta menarik kursi pelan-pelan, lalu duduk berhadapan dengannya. Mereka makan dalam diam, hanya sesekali suara sendok beradu dengan piring. Zeta berusaha mengunyah meski tenggorokannya masih terasa kering.

“Besok pagi kita bersihin rumah bareng,” ujar Amir setelah beberapa suap. “Rumah ini lama kosong, banyak debu. Aku gak punya uang untuk beliin kamu baju baru. Pakai yang ada saja."

Zeta mengangguk kecil. “Iya, Pak.”

Amir menatapnya sejenak, lalu melanjutkan makannya. Ada jeda lama sebelum ia berbicara lagi.

“Kamu jangan takut sama aku, ya,” ucapnya pelan. “Aku mungkin kelihatan galak, tapi aku nggak akan menyakiti kamu kalau kamu nggak macam-macam dan gak ikut campur dengan barang-barang anak istriku."

Ucapan itu membuat Zeta menatapnya, mencoba mencari kebenaran dari mata pria itu. Amir terlihat tulus, meski wajahnya masih membawa sisa amarah barusan.

“Saya… cuma ingin bisa hidup tenang, Pak,” kata Zeta akhirnya. “Saya juga nggak minta lebih. Saya cuma mau belajar nerima keadaan. Anggap saja saya adik, Bapak."

Amir menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Kalau begitu kita sama. Aku juga sedang belajar nerima kalau hidupku sekarang nggak sama seperti dulu. Antara menyesal dan tidak." Zeta hanya bisa tersenyum hambar. Semoga Amir tidak menceraikannya dan mengembalikannya ke rumah Asri.

Malam semakin larut. Setelah makan, Zeta membereskan piring dan mencuci seadanya di dapur. Amir duduk di ruang tamu, menyalakan televisi kecil yang suara gambarnya berdesis karena antenanya tak sempurna.

Ketika Zeta keluar dari dapur, Amir memandangnya sebentar. “Kamu bisa tidur di kamar. Aku tidur di luar aja. Nggak usah khawatir.”

“Pak Amir… makasih,” kata Zeta, setengah ragu.

"Satu lagi." Zeta menahan langkahnya.

"Iya, Pak. Katakan saja."

"Pernikahan kita tidak seperti pernikahan lainnya. Kamu gak perlu berbakti sama aku sebagai istri karena aku pun menganggap kamu bukan istriku. Istriku hanya Shafa. Sampai kapan pun, meski dia udah gak ada di dunia ini."

"Kenapa Bapak menikahi saya?" suara Zeta seperti berbisik.

"Saya kasihan sama kamu, karena terus jadi korban KDRT ibu dan saudara tiri kamu."

"Kamu harus percaya saya. Kamu akan tetap gadis sampai nanti aku melepas kamu, Ta. Kamu bisa meneruskan hidup karena masih terlalu muda."

Zeta mengangguk, lalu melangkah menuju kamar. Ia menutup pintu perlahan, bersandar pada kayu kusam itu, mencoba menenangkan diri. Malam ini bukan malam pengantin seperti yang ia bayangkan waktu remaja. Tidak ada bunga, tidak ada senyum bahagia. Hanya rumah tua, bau debu, dan suara napas seorang suami di ruang sebelah yang menganggapnya tetap orang lain.

Zeta menarik selimut tipis yang terlipat di ujung ranjang, lalu berbaring. Dari celah pintu, ia melihat bayangan Amir sedang merapikan tikar untuk tidurnya sendiri. Ia memejamkan mata, berharap esok lebih baik.

Air matanya menetes tanpa permisi. Kenapa dinikahi jika ia tidak dianggap istri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   10. Peluk

    "Gak usah dipikirkan ucapan mama tadi." Amir duduk di pinggir ranjang, saat bicara pada Zeta yang baru saja melipat mukenanya."Gak kok, Pak. Lagian saya masih kecil, masa punya anak kecil, he he... Bapak juga gak cinta saya kan? Masa gak cinta bisa punya anak! Gak perlu khawatir, Pak. Saya pun setuju."Ekspresi Amir berubah. "Maksud kamu gak mau punya anak dari aku karena aku miskin?" suara Amir terdengar seperti tidak terima. "Bapak waktu itu bilang, bahwa Bapak gak akan sentuh saya sampai nanti saya bisa mandiri dan ketemu sama pria lain. Bapak nikahin saya karena kasihan dengan saya yang terus jadi target kekerasan ibu tiri dan kakak tiri saya.""Oh, iya, benar sekali." Keheningan sejenak menyertai keduanya. Amir tidak tahu mau bicara apa, begitu juga Zeta. "Oh, iya, besok kita ke sekolah.""Eh, saya mau sekolah? Beneran? Paket C ya, Pak?" Amir mengangguk. Ia senang dengan ekspresi Zeta yang begitu semangat. "Besok pagi kita ke sekolah untuk daftar paket C." Zeta mengangguk.

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   9. Perhatian

    "Ibu tahu gak, aku tadi ketemu siapa di mall?" Yasmin melemparkan totte bag-nya di atas sofa ruang tamu. Asri yang tengah mengaduk adonan donat langsung menghentikan kegiatan tersebut. "Siapa? Temen kamu?""Bukan, tapi Zeta. Anak tiri Ibu itu." Kening Asri mengerut. "Kerja di sana?" "Mau nyopet baju mahal. Berani banget dia masuk tenant baju yang paling murah aja harganya satu juta delapan ratus ribu, Bu." "Hah, Zeta mau maling? Wah, udah terdesak berarti. Suaminya gak bisa kasih makan, makanya Zeta nyopet. Ya ampun, tepat kalau gitu Ibu jodohin sama Amir si Pengangguran tua itu." Asri tertawa puas. Yasmin malah menghela napas. "Loh, kenapa? Jangan bilang kamu kasihan sama Zeta.""Bukan, Bu. Tapi ada yang aneh. Ada nenek-nenek kayak nenek gaul gitu, masa bilang Zeta menantunya. Masa nenek itu orang tua pak Amir? Apa Ibu yakin kalau Pak Amir itu orang miskin?" Asri bukan terkejut, tapi malah semakin tertawa. "Kalau seperti itu, mereka adalah komplotan. Kalau berani ngepet di mall

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   8. Bertemu Yasmin

    Pagi itu aroma nasi goreng mengepul lembut dari dapur. Rena duduk di meja makan dengan senyum samar, memandangi Zeta yang sibuk mengaduk wajan. Amir hanya duduk di kursi, masih tampak setengah mengantuk.“Nasi goreng kamu enak sekali, Nak,” puji Rena begitu suapan pertama menyentuh lidahnya. “Bumbu sama matangnya pas. Mama sampai lupa kamu masih muda.”Zeta tersipu, matanya berbinar mendengar pujian itu. “Terima kasih, Ma. Saya cuma masak seadanya.”Amir ikut melirik, tersenyum tipis. “Dia memang rajin masak, Ma.”Selesai sarapan, Rena berdiri sambil menatap Zeta dari ujung kepala ke kaki. Pandangannya berhenti di pakaian yang dikenakan gadis itu—blus tipis yang warnanya sudah pudar, ada sedikit sobekan di bagian lengan. Alis Rena bertaut.“Zeta, kamu nggak punya baju lain yang lebih layak?” tanyanya serius.Zeta menggeleng cepat, malu. “Ini aja, Ma… yang ada.”Rena menghela napas. “Ayo ikut Mama ke mall. Kita belikan kamu pakaian yang pantas.”Zeta langsung gelagapan. “Jangan, Ma. Sa

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   7. Satu Kamar

    Amir turun dari ojek online dengan tergesa, begitu ditelepon Zeta, lima belas menit yang lalu. Nafasnya masih memburu ketika melihat mamanya berdiri di teras bersama Zeta. Raut wajahnya langsung menegang.“Mama…” ucap Amir pelan, suaranya parau.Wanita berusia tujuh puluh tahun itu menoleh tajam. Rambutnya yang seluruhnya putih ditata rapi, dan parfum mahalnya samar tercium.“Jadi benar kamu di sini, Mir?” suaranya datar, namun dinginnya begitu dalam. “Setelah bertahun-tahun nggak ada kabar, kamu muncul dengan kejutan seperti ini.”Amir melirik Zeta yang berdiri kikuk di samping pintu. Gadis itu menunduk, jemarinya meremas ujung dasternya yang lusuh. “Masuk dulu, Ma,” kata Amir hati-hati. Ia membuka pintu dan mempersilakan keduanya.Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang cat dindingnya mulai pudar. Amir berusaha tampak tenang, tetapi peluh di pelipisnya menyingkapkan kegugupannya.“Jadi,” Mama membuka suara lagi, menatap Amir lurus, “kamu menikah diam-diam dengan… Zeta?” Tatapann

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   6. Minta Maaf

    Zeta menatap Amir dengan mata yang tiba-tiba basah. Ucapan lelaki itu barusan menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Kenapa Bapak ngomong gitu?” suaranya bergetar, pelan namun tegas. “Saya cuma… saya cuma pengin jadi istri yang baik. Bukan mau gantiin siapa-siapa. Saya ketiduran dan.... " Zeta tak sanggup melanjutkan karena ia terlalu syok. Terbangun paksa dari tidur, lalu diteriaki. Amir terdiam, wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya berubah sedikit. Namun Zeta sudah lebih dulu membuang pandang."Bapak egois!"Ia melangkah cepat menuju kamar, lalu membanting pintunya cukup keras hingga debu di kusen beterbangan.Di dalam kamar yang gelap, Zeta duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Ia merasa seperti udara di paru-parunya ikut pecah. Kata-kata Amir terus berputar di kepalanya: “Kamu ini bukan Shafa!”Zeta memeluk bantal, menekan wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Bukan berarti ia ingin melawan suaminya, hanya saja luka itu begitu mendadak. Selama ini ia su

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   5. Hidup Seperti Suami Istri Lainnya

    Pagi itu cahaya matahari masuk lewat celah jendela rumah Amir yang sudah lama jarang dibuka. Debu yang berterbangan di udara terlihat jelas, tapi suasana terasa lebih hidup dibanding semalam. Zeta sudah lebih dulu bangun. Dengan langkah pelan ia menyiapkan sarapan di dapur, meski Amir semalam bilang, “Kamu nggak usah repot, nanti aku masak sendiri.”Zeta tetap saja mengiris bawang, memotong sayur, lalu menyalakan kompor kecil yang bunyinya sedikit serak. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, melainkan karena belum terbiasa melakukan sesuatu di rumah yang bukan miliknya. Aroma tumisan bawang menyebar ke seluruh ruangan, mengusir bau debu yang melekat sejak rumah itu lama kosong.Tak lama kemudian Amir keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di ambang dapur, menatap punggung Zeta yang sedang mengaduk wajan.“Aku kan sudah bilang, nggak usah repot,” ujarnya, nada suaranya kali ini lebih datar daripada semalam.Zeta menoleh, tersenyum kecil. “Saya cuma bikin yang sederhana aja, Pak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status