Home / Romansa / Dinikahi Pria Seumuran Ayahku / 5. Hidup Seperti Suami Istri Lainnya

Share

5. Hidup Seperti Suami Istri Lainnya

last update Last Updated: 2025-09-26 12:13:07

Pagi itu cahaya matahari masuk lewat celah jendela rumah Amir yang sudah lama jarang dibuka. Debu yang berterbangan di udara terlihat jelas, tapi suasana terasa lebih hidup dibanding semalam. Zeta sudah lebih dulu bangun. Dengan langkah pelan ia menyiapkan sarapan di dapur, meski Amir semalam bilang, “Kamu nggak usah repot, nanti aku masak sendiri.”

Zeta tetap saja mengiris bawang, memotong sayur, lalu menyalakan kompor kecil yang bunyinya sedikit serak. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, melainkan karena belum terbiasa melakukan sesuatu di rumah yang bukan miliknya. Aroma tumisan bawang menyebar ke seluruh ruangan, mengusir bau debu yang melekat sejak rumah itu lama kosong.

Tak lama kemudian Amir keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di ambang dapur, menatap punggung Zeta yang sedang mengaduk wajan.

“Aku kan sudah bilang, nggak usah repot,” ujarnya, nada suaranya kali ini lebih datar daripada semalam.

Zeta menoleh, tersenyum kecil. “Saya cuma bikin yang sederhana aja, Pak. Telur sama sayur sop. Nggak banyak kok.”

Amir menghela napas, lalu melangkah ke meja makan. Ia menarik kursi dan duduk, memandang suasana dapur yang mulai tampak seperti dulu—saat mendiang istrinya, Shafa, masih hidup. Ada rasa asing sekaligus akrab yang muncul bersamaan.

“Aku nggak marah,” katanya kemudian, suaranya lebih lembut. “Cuma… agak aneh rasanya lihat orang lain masak di sini.”

Zeta berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan hati-hati. “Kalau Bapak keberatan, saya bisa berhenti.”

“Bukan begitu.” Amir menatap piring kosong di depannya. “Rumah ini jadi sepi setelah mereka pergi. Mungkin aku yang terlalu lama mengurung diri. Kamu… ya, mungkin cuma butuh tempat untuk merasa aman. Silakan saja.”

Ucapan itu membuat Zeta sedikit lega. Ia menuang sop hangat ke dalam mangkuk, lalu meletakkannya di meja. Duduk berhadapan dengan Amir, ia mencicipi masakannya sendiri. Sederhana, tapi untuk Zeta rasanya seperti hidangan paling mewah yang pernah ia makan. Selama tinggal bersama ibu tirinya, ia jarang sekali merasakan makanan hangat yang benar-benar dimasak dengan niat.

"Baju kamu kenapa?"

"Oh, ini." Zeta terpaksa menyimpul kain baju dasternya di bagian depan, lalu diikat karet.

"Baju saya emang banyak yang robek, Pak. Gak papa, saya pakai ini saja. Nanti saya akan beli jarum dan benang untuk saya jahit."

"Oh, begitu, saya ada jarum dan benang di laci depan. Kamu bisa pakai itu saja sampai nanti saya punya uang untuk beliin kamu."

"Jangan repot, Pak. Saya dikasih tempat tinggal saja sudah Alhamdulillah."

"Ya sudah, terserah kamu saja." Suasana kembali hening. Amir memasukkan sendok pertama ke dalam mulutnya.

“Enak,” gumamnya pelan, lebih pada diri sendiri.

Amir meliriknya, kemudian ikut menyendok sop. “Lumayan. Kamu bisa masak, ternyata.”

Zeta tersipu, mengangkat bahu. “Pak Amir gak perlu khawatir, selama saya di sini. Saya akan kerjakan semua seperti saya di rumah ibu. Kalau masak, InsyaAllah bisa karena setiap hari saya yang masak."

"Oh, gitu, baiklah, tapi... saya gak bisa kasih kamu uang belanja banyak karena saya gak kerja."

"Gak papa, Pak. Asalkan ada beras dan telur. Dan yang penting, saya gak disuruh puasa tiap hari." Amir tersenyum.

Mereka makan dengan tenang. Ada jeda di antara suapan, tapi bukan lagi keheningan yang mencekam. Lebih seperti ruang yang perlahan memberi tempat untuk bernapas.

Setelah sarapan, Zeta menawarkan diri untuk membersihkan ruang tamu. Amir awalnya menolak, namun akhirnya mengalah saat melihat kesungguhan di wajahnya. Mereka bekerja dalam diam: Amir menyapu, Zeta mengelap meja dan rak kayu. Kadang tangan mereka hampir bersentuhan saat sama-sama meraih lap atau sapu, dan masing-masing buru-buru menarik diri.

Siang menjelang. Zeta duduk di beranda sambil menikmati teh hangat. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun kecil di samping rumah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak perlu selalu waspada. Ada jarak aman antara dirinya dan Amir, cukup untuk membuatnya merasa dihormati.

Amir keluar membawa beberapa buku tua dan duduk di kursi lain. “Ini koleksi Shafa,” katanya, meletakkan buku-buku itu di meja kecil. “Kalau kamu bosan, boleh baca. Tapi tolong jaga baik-baik.”

Zeta menyentuh sampul salah satu buku dengan hati-hati, seperti khawatir akan merusak kenangan yang masih melekat di setiap halamannya. “Terima kasih, Pak. Saya nggak akan sembarangan.”

"Saya mah cari kerjaan keluar. Kamu di sini saja. Kunci pintu. Aku bawa kunci jika nanti malam aku pulang malam. Gak usah tunggu aku."

"Baik, Pak, hati-hati." Zeta menarik punggung tangan Amir, meskipun awalnya pria itu menahan.

"Suamiku yang baik hati," gumam Zeta pelan, sembari memperhatikan langkah Amir yang semakin menjauh.

Ia mengunci pintu kamar, lalu duduk di ruang tamu yang ada televisi layar datar berukuran tiga puluh dua inci.

Alhamdulillah, nikmatnya jadi nyonya rumah

Zeta memamerkan foto segelas es teh manis di depan televisi. Ia buat menjadi status W******p.

Wanita terus memperhatikan jam di dinding yang sudah berada di angka sepuluh. Suaminya belum juga pulang. Meskipun Amir tadi berpesan untuk tidak menunggunya, tapi bagi Zeta, itu tidak sopan. Suaminya kerja sampai larut malam, tentu harus ia tunggu sampai pulang. Namun, Zeta tiba-tiba merasa sangat mengantuk dan tertidur duduk di kursi kayu.

"Zeta, bangun!" suara Amir membuat Zeta tersentak. Gadis itu langsung berdiri sambil menggosok matanya.

"Bapak udah pulang."

"Aku udah bilang jangan tunggu aku! Kenapa kamu gak ngerti, sih? Kamu ini bukan Shafa, jadi gak perlu nunggu aku! Aku gak akan terharu dengan apa yang kamu lakukan kayak gini. Sekarang masuk ke kamar kamu, masuk! Jangan pernah bersikap seperti almarhumah istriku Shafa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
Amir Amir menolong Zeta bukan caranya seperti ini dong
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   74. Menyerah

    “Yasmin?” panggil Asri dari balik pintu kamar. Tak ada sahutan.Ia mengetuk pelan, tapi tetap sepi. Dengan jantung berdegup tak karuan, Asri membuka pintu kamar perlahan.Matanya langsung membesar. Yasmin terbaring kaku di atas ranjang. Mata putrinya terbuka, tapi pandangannya kosong menatap langit-langit. Bibirnya pucat, napasnya pelan seperti tersendat.“Ya Allah, Yasmin! Yasmin!” Asri berlari mendekat dan mengguncang bahu anaknya. Tapi tubuh itu tak merespons.“Bu… badan Yasmin… gak bisa digerakin…”Asri terperanjat. “Apa, Nak? Maksudmu gimana? Kamu sakit di mana?”“Semua lemas, Bu, c-cuma tangan kiri aja yang bisa gerak dikit,” ucapnya terbata. Asri meraih ponsel dengan tangan gemetar. “Tunggu, Ibu panggil bantuan, ya. Sabar, Nak. Ya ampun…”Lima belas menit kemudian, dua tetangga datang—Bu Ida dan Pak Darto. Mereka membantu mengangkat Yasmin ke dalam mobil kecil milik Pak Darto.Sepanjang jalan, Asri menangis tanpa suara. Ia menggenggam tangan anaknya erat, berulang kali membis

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   73. Gugat Cerai

    "Permisi, Pak. Dokter Mira dan suaminya lagi gak ada di sini ya? Rumahnya kosong terus," tanya Yasmin pada salah satu satp yang kebetulan patroli di blok rumah Dokter Mira. "Iya, udah lama sekali gak keliatan, Mbak. Mbak siapa?""Oh, saya saudaranya.""Bisa lihat KTP-nya?""Saya gak bawa, Pak. Ya udah, terima kasih ya, Pak." Yasmin kembali naik ke motor dan langsung tancap gas. Ke mana mertua dan suamiku? Kenapa tidak ada yang tahu di mana mereka? Apa aku ke rumah sakit saja? Siapa tahu mertua perempuanku sedang jadwal praktek di sana? Gumam Yasmin. Motornya melaju melewati aspal jalan raya, selama kurang lebih lima belas menit saja. Begitu memarkirkan motornya, Yasmin bergegas menuju ruang informasi rumah sakit, di lobi rumah sakit. "Permisi, Mbak, apa hari ini dokter Mira Putri, dokter bedah, apa praktek hari ini?""Oh, sebentar saya cek ya." Perawat pun mengecek lewat layar monitor komputer. "Dokter Mira Putri cuti, Mbak."Wajah Yasmin semakin panik. "Cuti ke mana ya, Mbak?"

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   72. Pantas Bahagia

    Langit mulai benar-benar kelabu ketika Edo menerima panggilan tak terduga dari nomor Amir. Ia baru saja menurunkan belanjaan Shafa di dapur ketika ponselnya bergetar pelan di saku jaket.“Assalamu’alaikum, Do,” suara Amir terdengar tenang, tapi berat di ujungnya.“Wa’alaikumussalam, Tuan Amir. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”“Kalau tidak keberatan, saya mau bicara empat mata. Datang ke Sentul sore ini, ya? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan… tentang Shafa. Alamatnya yang saya berikan kemarin."Edo sempat terdiam. Ada getaran kecil di dadanya, antara gugup dan bersalah.“Iya, Tuan. Insyaallah nanti saya ke sana.”Setelah panggilan berakhir, Shafa menatapnya dari dapur. “Siapa?”“Tuan Amir, Bu. Minta saya datang ke Sentul sore ini.”“Oh…” Shafa meletakkan sendok kayu di meja, wajahnya sedikit menegang. “Tentang kita?”“Mungkin, Bu. Tapi Ibu tenang aja. Saya akan ngomong baik-baik.”"Jangan panggil aku Ibu, lagi. Aku calon istri kamu. Tapi juga jangan panggil aku Sayang. Aku ga

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   71. Janji Edo

    Keesokan harinya, langit tampak mendung, tapi tidak hujan. Udara dingin sisa malam masih menggigit kulit, membuat uap kopi di meja dapur mengepul lembut. Edo duduk di kursi, memandangi ponselnya lama. Pesan yang ingin ia kirim ke Shafa sudah diketik sejak tadi subuh—tapi belum juga dikirim.“Bu Shafa, saya boleh bicara sebentar nanti? Ada yang mau saya sampaikan sebelum Ibu berangkat.”Pesan itu terasa sederhana, tapi jari-jarinya bergetar. Ia takut. Bukan takut ditolak, tapi takut kehilangan kesempatan untuk bicara sama sekali.Bu Erna muncul dari kamar dengan daster biru muda dan kerudung tipis. “Belum berangkat, Do?”“Sebentar lagi, Bu. Nunggu agak terang dikit. Saya mau antar Bu Shafa ke toko oleh-oleh hari ini.”"Emang suaminya, dokter Amir itu belum kembali? Masih nyariin istrinya yang muda?" Edo mengangguk. "Gak bisa salahin Bu Zeta dan tuan Amir juga, Bu. Bu Shafa menghilang selama sepuluh tahun dan kembali lagi, saat tuan Amir baru menikah dengan bu Zeta yang masih sangat mu

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   70. Isi Hati

    "Jadi, kamu akan kembali ke Austria?" "Iya, Pa. Mas Amir udah punya istri lagi, saat aku diobati di Austria.""Maafkan Papa ya. Papa lakukan ini semua, demi kebaikan kamu.""Kebaikan yang seperti apa, Pa? Jika akhirnya saya bukan cuma kehilangan anak-anak, tapi juga Mas Amir." Shafa menjeda ucapannya. "Pintu rumah Papa terbuka lebar untuk kepulangan kamu, Shafa.""Iya, Pa, makasih. Shafa akan carikan tiket.""Papa tadi pagi udah transfer uang ke kamu. Pakai uang itu untuk urusan kamu. Papa nitip bumbu pecal, keringan kentang mustofa, sama teri balado ya. Belikan juga teri yang belum dimasak." Shafa tertawa pelan. Papanya begitu rindu makanan khas Indonesia. Pantas saja nitip makanan. "Iya, nanti Shafa carikan dulu ya, Pa.""Tapi kamu gak papa, menyerah atas pernikahan kamu dan Amir?""Gak papa, Pa. Semua udah aku terima dengan sangat baik. Mas Amir juga menderita karena kabar aku meninggal selama 10 tahun. Wajar jika hatinya berpaling.""Baiklah, Papa dukung apapun itu keputusan ka

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   69. Permintaan Maaf

    Amir menahan napas. Dunia seolah berhenti. Suara sendok beradu dengan mangkuk di sekitar terasa jauh, samar—yang ada hanya Zeta, sosok yang selama ini menghantui mimpi dan hari-harinya. Tubuhnya kaku, tangan di atas meja mengepal tanpa sadar. Ia tidak bermimpi. Itu benar-benar Zeta.Zeta menatap ke arah pelanggan, sekilas matanya menyapu ke area tempat Amir duduk. Namun tatapan itu tidak menandakan pengenalan. Ia hanya tersenyum sopan, lalu melangkah ke arah dapur belakang. Tentu saja ia tidak mengenali suaminya itu karena Amir sangat kurus dan juga masih memakai kacamata hitam saat ini. Amir bangkit dari kursinya, kursi plastik bergeser keras menimbulkan bunyi yang membuat beberapa orang menoleh. Dina, pelayan tadi, menatap heran. “Ada apa, Pak?”“Boleh saya ke belakang sebentar?” suaranya serak.“Oh, maaf Pak, itu area karyawan—”Namun Amir sudah melangkah lebih dulu. Ia berjalan cepat ke arah pintu dapur, membuka tirai plastik bening yang memisahkan ruang makan dan area masak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status