Share

7. Satu Kamar

last update Last Updated: 2025-09-29 15:24:42

Amir turun dari ojek online dengan tergesa, begitu ditelepon Zeta, lima belas menit yang lalu. Nafasnya masih memburu ketika melihat mamanya berdiri di teras bersama Zeta. Raut wajahnya langsung menegang.

“Mama…” ucap Amir pelan, suaranya parau.

Wanita berusia tujuh puluh tahun itu menoleh tajam. Rambutnya yang seluruhnya putih ditata rapi, dan parfum mahalnya samar tercium.

“Jadi benar kamu di sini, Mir?” suaranya datar, namun dinginnya begitu dalam.

“Setelah bertahun-tahun nggak ada kabar, kamu muncul dengan kejutan seperti ini.”

Amir melirik Zeta yang berdiri kikuk di samping pintu. Gadis itu menunduk, jemarinya meremas ujung dasternya yang lusuh.

“Masuk dulu, Ma,” kata Amir hati-hati. Ia membuka pintu dan mempersilakan keduanya.

Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang cat dindingnya mulai pudar. Amir berusaha tampak tenang, tetapi peluh di pelipisnya menyingkapkan kegugupannya.

“Jadi,” Mama membuka suara lagi, menatap Amir lurus, “kamu menikah diam-diam dengan… Zeta?” Tatapannya bergeser pada gadis itu. Zeta baru saja menyuguhkan dua cangkir teh untuk Amir dan mamanya.

“Iya, Ma,” jawab Amir lirih.

“Kenapa, Mir? Selama ini kamu nggak pernah pulang lebaran, nggak kirim kabar. Tiba-tiba Mama dengar dari orang kampung kamu tinggal dengan perempuan muda.” Mata Mama berkilat. “Kamu pikir Mama nggak punya hak tahu urusan anaknya?”

Amir menarik napas panjang. “Maaf, Ma. Nggak ada maksud nyembunyiin. Kejadiannya… tiba-tiba.”

“Tiba-tiba?” Mama mengangkat alis. “Mir, kamu itu empat puluh delapan tahun. Kerja juga nggak punya. Tiba-tiba kawin sama gadis seusia cucu Mama tanpa omong sepatah kata pun. Kamu kira gampang Mama terima?”

Zeta menelan ludah, pipinya memerah malu. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Amir melirik sekilas padanya, lalu kembali pada Mama. “Ma, aku serius sama Zeta. Aku… jatuh cinta.” Amir menunduk. Ia terpaksa berbohong agar mamanya percaya.

Mama mendengus pelan, seakan kata itu terlalu ringan. “Cinta? Mama kenal kamu, Mir. Sejak Shafa meninggal, kamu mati rasa. Kamu nggak pernah mau lihat perempuan lain. Sekarang kamu bilang jatuh cinta lagi? Atau kamu lagi sembunyiin sesuatu?”

Pertanyaan itu menyentil Amir. Ia meremas jemarinya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia menikahi Zeta bukan semata karena cinta, melainkan karena iba dan keinginan melindunginya?

“Ma, yang penting sekarang aku dan Zeta sah,” katanya akhirnya, memilih kalimat aman. “Tolong percaya, aku niat baik.”

Bu Rena memandangi Amir lama, seakan mencari celah dari ucapannya. “Kamu tetap anak Mama. Mama cuma mau yang terbaik. Tapi ini aneh. Kamu bahkan belum punya pekerjaan tetap, Mir. Kamu yakin gadis ini cuma butuh tempat tinggal?”

Zeta terperanjat.

“Ma, Zeta bukan orang kayak gitu,” Amir cepat menimpali. “Dia baik, rajin. Aku yang minta dia jadi istriku.”

Ruangan hening. Jam dinding berdetak pelan.

Akhirnya Rena bersandar, menarik napas panjang. “Baiklah. Tapi Mama tetap mau lihat dengan mata sendiri bagaimana kamu memperlakukan dia, dan bagaimana dia ke kamu.” Ia melirik Zeta, nada suaranya melembut. “Nak, maaf kalau Mama barusan keras.”

Zeta cepat-cepat menggeleng. “Nggak apa-apa, Bu, eh, Ma,” katanya pelan.

“Saya minta maaf udah mengira Mama adalah yang punya kontrakan ini." Rena menyunggingkan senyum tipis.

“Sekarang Mama numpang tidur di sini malam ini. Besok kita bicarakan lagi.”

Amir berdiri. “Kamar aku bisa buat Mama istirahat.”

Wanita itu mengibaskan tangan. “Tidak, Mir. Mama lihat kamar kamu nggak ada AC. Mama nggak bisa tidur kalau panas. Biar Mama di depan sini aja. Asalkan ada alas kasur tipis."

“Ma, enggak enak buat Mama,” Amir mencoba menawar.

“Sudah,” tegas Mama. “Kamu tidur di kamar sama istrimu. Itu kewajibanmu.”

Kata-kata itu membuat Amir tercekat. Sejak menikah, ia sengaja memberi jarak pada Zeta, tidur di kamar terpisah. Kini, di bawah tatapan Mama, ia tak punya pilihan.

Zeta pun tampak kaget. Wajahnya memerah, tapi ia menunduk.

Akhirnya Amir menghela napas. “Baik, Ma.”

Malam perlahan turun. Setelah makan malam sederhana yang dimasak Zeta—tahu santan dan bakwan sayur—mereka bertiga berbincang ringan. Amir sesekali mencuri pandang ke wajah ibunya, memastikan suasana tak terlalu tegang. Mama, meski masih menyimpan banyak tanya, tampak lebih tenang.

"Usia kamu berapa, Zeta?"

"Dua puluh tahun, Ma." Zeta menunduk malu.

"Muda sekali. Kenapa mau sama tua bangka ini?" Rena mencibir putranya. Amir hanya bisa menyeringai saja.

"Karena Pak Amir baik." Rena tiba-tiba tertawa.

"Kamu istrinya, tapi manggil anak saya bapak? Ah, kalian ini, beneran suami istri bukan?"

"Sayang, kenapa malah panggil bapak, sih? Zeta lupa, Ma. Biasanya juga panggil sayang. Dulu sering manggil bapak karena tetangga di Condet."

"Oh, gitu, kirain kali kalian nikah-nikah kontrak gitu."

"Bukan, Ma. InsyaAllah nikah beneran. Saya jatuh cinta sama Z-zeta." Rena tersenyum sambil mengangguk.

"Shafa pasti bahagia karena kamu bisa melanjutkan hidup bersama wanita lain. Kamu udah gak muda lagi, jadi harus ada yang mengurus." Amir berkaca-kaca. Sampai kapanpun tidak ada wanita yang  bisa menggantikan almarhumah Shafa di hati dan jiwanya.

Saat jam hampir menunjukkan pukul sepuluh, Amir berkata, “Ma, waktunya Mama istirahat.”

Rena mengangguk sambil merapikan bantal di sofa. “Mama cukup di sini. Kamu masuk ke kamar. Jangan bikin istrimu bingung.”

Amir menoleh ke arah Zeta yang sudah berdiri kikuk di ambang kamar. Ia menelan ludah, lalu berjalan mengikuti gadis itu.

Kamar itu terasa lebih sempit dari biasanya. Lampu kuning redup menyinari dinding polos. Zeta berdiri di dekat ranjang, kedua tangannya gelisah.

“Bapak tidur di sini, Pak?” tanyanya lirih.

Amir mengangguk, meski wajahnya penuh keraguan. “Mama nggak bakal tenang kalau aku nggak satu kamar sama kamu.”

Zeta menarik selimut sampai ke dada, berusaha meredakan detak jantungnya yang terlalu cepat. Ia belum terbiasa sedekat ini dengan Amir.

Amir menatap langit-langit, pikirannya penuh kalimat yang belum terucap—tentang alasan sebenarnya ia membawa Zeta, tentang rasa takut yang belum hilang.

“Pak, maaf kalau suara jantung saya berisik," bisik Zeta dengan polosnya. Amir langsung menoleh dan hampir tersenyum.

"Memangnya kenapa jantung kamu?"

"Berdetak, Pak." Zeta tak berani menoleh ke samping ke arah suaminya. Amir tertawa.

"Namanya masih hidup, pasti ada detak jantungnya."

"Tapi yang ini lain. Cepet banget." Amir menghela napas. Ia sudah dewasa dan tahu yang kini dirasakan oleh Zeta.

"Zeta, maaf kalau aku belum bisa kasih pernikahan impian seperti yang kamu inginkan. Tapi aku yakin, ada pria lain nanti yang lebih pas membahagiakan kamu." Zeta terdiam. Napasnya berat dan detak jantungnya mulai normal kembali.

"Saya tidak memikirkan pria lain. Satu-satunya lelaki di hidup saya adalah ayah saya dan Bapak sebagai suami. Begini saja sudah bahagia. Saya gak minta dibahagiakan oleh lelaki lain lagi. Saya bahagia jadi istri Pak Amir." Zeta memberanikan diri menoleh pada Amir, pria dewasa itu pun sama. Keduanya saling pandang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   10. Peluk

    "Gak usah dipikirkan ucapan mama tadi." Amir duduk di pinggir ranjang, saat bicara pada Zeta yang baru saja melipat mukenanya."Gak kok, Pak. Lagian saya masih kecil, masa punya anak kecil, he he... Bapak juga gak cinta saya kan? Masa gak cinta bisa punya anak! Gak perlu khawatir, Pak. Saya pun setuju."Ekspresi Amir berubah. "Maksud kamu gak mau punya anak dari aku karena aku miskin?" suara Amir terdengar seperti tidak terima. "Bapak waktu itu bilang, bahwa Bapak gak akan sentuh saya sampai nanti saya bisa mandiri dan ketemu sama pria lain. Bapak nikahin saya karena kasihan dengan saya yang terus jadi target kekerasan ibu tiri dan kakak tiri saya.""Oh, iya, benar sekali." Keheningan sejenak menyertai keduanya. Amir tidak tahu mau bicara apa, begitu juga Zeta. "Oh, iya, besok kita ke sekolah.""Eh, saya mau sekolah? Beneran? Paket C ya, Pak?" Amir mengangguk. Ia senang dengan ekspresi Zeta yang begitu semangat. "Besok pagi kita ke sekolah untuk daftar paket C." Zeta mengangguk.

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   9. Perhatian

    "Ibu tahu gak, aku tadi ketemu siapa di mall?" Yasmin melemparkan totte bag-nya di atas sofa ruang tamu. Asri yang tengah mengaduk adonan donat langsung menghentikan kegiatan tersebut. "Siapa? Temen kamu?""Bukan, tapi Zeta. Anak tiri Ibu itu." Kening Asri mengerut. "Kerja di sana?" "Mau nyopet baju mahal. Berani banget dia masuk tenant baju yang paling murah aja harganya satu juta delapan ratus ribu, Bu." "Hah, Zeta mau maling? Wah, udah terdesak berarti. Suaminya gak bisa kasih makan, makanya Zeta nyopet. Ya ampun, tepat kalau gitu Ibu jodohin sama Amir si Pengangguran tua itu." Asri tertawa puas. Yasmin malah menghela napas. "Loh, kenapa? Jangan bilang kamu kasihan sama Zeta.""Bukan, Bu. Tapi ada yang aneh. Ada nenek-nenek kayak nenek gaul gitu, masa bilang Zeta menantunya. Masa nenek itu orang tua pak Amir? Apa Ibu yakin kalau Pak Amir itu orang miskin?" Asri bukan terkejut, tapi malah semakin tertawa. "Kalau seperti itu, mereka adalah komplotan. Kalau berani ngepet di mall

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   8. Bertemu Yasmin

    Pagi itu aroma nasi goreng mengepul lembut dari dapur. Rena duduk di meja makan dengan senyum samar, memandangi Zeta yang sibuk mengaduk wajan. Amir hanya duduk di kursi, masih tampak setengah mengantuk.“Nasi goreng kamu enak sekali, Nak,” puji Rena begitu suapan pertama menyentuh lidahnya. “Bumbu sama matangnya pas. Mama sampai lupa kamu masih muda.”Zeta tersipu, matanya berbinar mendengar pujian itu. “Terima kasih, Ma. Saya cuma masak seadanya.”Amir ikut melirik, tersenyum tipis. “Dia memang rajin masak, Ma.”Selesai sarapan, Rena berdiri sambil menatap Zeta dari ujung kepala ke kaki. Pandangannya berhenti di pakaian yang dikenakan gadis itu—blus tipis yang warnanya sudah pudar, ada sedikit sobekan di bagian lengan. Alis Rena bertaut.“Zeta, kamu nggak punya baju lain yang lebih layak?” tanyanya serius.Zeta menggeleng cepat, malu. “Ini aja, Ma… yang ada.”Rena menghela napas. “Ayo ikut Mama ke mall. Kita belikan kamu pakaian yang pantas.”Zeta langsung gelagapan. “Jangan, Ma. Sa

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   7. Satu Kamar

    Amir turun dari ojek online dengan tergesa, begitu ditelepon Zeta, lima belas menit yang lalu. Nafasnya masih memburu ketika melihat mamanya berdiri di teras bersama Zeta. Raut wajahnya langsung menegang.“Mama…” ucap Amir pelan, suaranya parau.Wanita berusia tujuh puluh tahun itu menoleh tajam. Rambutnya yang seluruhnya putih ditata rapi, dan parfum mahalnya samar tercium.“Jadi benar kamu di sini, Mir?” suaranya datar, namun dinginnya begitu dalam. “Setelah bertahun-tahun nggak ada kabar, kamu muncul dengan kejutan seperti ini.”Amir melirik Zeta yang berdiri kikuk di samping pintu. Gadis itu menunduk, jemarinya meremas ujung dasternya yang lusuh. “Masuk dulu, Ma,” kata Amir hati-hati. Ia membuka pintu dan mempersilakan keduanya.Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang cat dindingnya mulai pudar. Amir berusaha tampak tenang, tetapi peluh di pelipisnya menyingkapkan kegugupannya.“Jadi,” Mama membuka suara lagi, menatap Amir lurus, “kamu menikah diam-diam dengan… Zeta?” Tatapann

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   6. Minta Maaf

    Zeta menatap Amir dengan mata yang tiba-tiba basah. Ucapan lelaki itu barusan menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Kenapa Bapak ngomong gitu?” suaranya bergetar, pelan namun tegas. “Saya cuma… saya cuma pengin jadi istri yang baik. Bukan mau gantiin siapa-siapa. Saya ketiduran dan.... " Zeta tak sanggup melanjutkan karena ia terlalu syok. Terbangun paksa dari tidur, lalu diteriaki. Amir terdiam, wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya berubah sedikit. Namun Zeta sudah lebih dulu membuang pandang."Bapak egois!"Ia melangkah cepat menuju kamar, lalu membanting pintunya cukup keras hingga debu di kusen beterbangan.Di dalam kamar yang gelap, Zeta duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Ia merasa seperti udara di paru-parunya ikut pecah. Kata-kata Amir terus berputar di kepalanya: “Kamu ini bukan Shafa!”Zeta memeluk bantal, menekan wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Bukan berarti ia ingin melawan suaminya, hanya saja luka itu begitu mendadak. Selama ini ia su

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   5. Hidup Seperti Suami Istri Lainnya

    Pagi itu cahaya matahari masuk lewat celah jendela rumah Amir yang sudah lama jarang dibuka. Debu yang berterbangan di udara terlihat jelas, tapi suasana terasa lebih hidup dibanding semalam. Zeta sudah lebih dulu bangun. Dengan langkah pelan ia menyiapkan sarapan di dapur, meski Amir semalam bilang, “Kamu nggak usah repot, nanti aku masak sendiri.”Zeta tetap saja mengiris bawang, memotong sayur, lalu menyalakan kompor kecil yang bunyinya sedikit serak. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, melainkan karena belum terbiasa melakukan sesuatu di rumah yang bukan miliknya. Aroma tumisan bawang menyebar ke seluruh ruangan, mengusir bau debu yang melekat sejak rumah itu lama kosong.Tak lama kemudian Amir keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di ambang dapur, menatap punggung Zeta yang sedang mengaduk wajan.“Aku kan sudah bilang, nggak usah repot,” ujarnya, nada suaranya kali ini lebih datar daripada semalam.Zeta menoleh, tersenyum kecil. “Saya cuma bikin yang sederhana aja, Pak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status