Share

6. Minta Maaf

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 12:17:20

Zeta menatap Amir dengan mata yang tiba-tiba basah. Ucapan lelaki itu barusan menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Kenapa Bapak ngomong gitu?” suaranya bergetar, pelan namun tegas. “Saya cuma… saya cuma pengin jadi istri yang baik. Bukan mau gantiin siapa-siapa. Saya ketiduran dan.... " Zeta tak sanggup melanjutkan karena ia terlalu syok. Terbangun paksa dari tidur, lalu diteriaki.

Amir terdiam, wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya berubah sedikit. Namun Zeta sudah lebih dulu membuang pandang.

"Bapak egois!"

Ia melangkah cepat menuju kamar, lalu membanting pintunya cukup keras hingga debu di kusen beterbangan.

Di dalam kamar yang gelap, Zeta duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Ia merasa seperti udara di paru-parunya ikut pecah. Kata-kata Amir terus berputar di kepalanya: “Kamu ini bukan Shafa!”

Zeta memeluk bantal, menekan wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Bukan berarti ia ingin melawan suaminya, hanya saja luka itu begitu mendadak. Selama ini ia sudah berusaha menjaga jarak, tidak terlalu banyak bicara, tidak melanggar aturan yang Amir buat. Namun ternyata semua itu belum cukup. Ia bukan ingin jadi Shafa, almarhumah istri Amir, tapi ia hanya ingin melakukan hal baik sebagai ucapan terima kasih pada Amir karena lelaki itu yang membawanya pergi dari rumahnya yang bagaikan neraka itu.

"Ayah, ibu, kenapa kalian tinggalin Zeta sendirian di sini? Di sana Zeta tinggal sama lampir, di sini Zeta tinggal sama orang egois dan galak! Kenapa gak ajak Zeta ikut kalian?" Zeta tersedu-sedu menangis memanggil ayah ibunya yang sudah wafat sepuluh tahun yang lalu. Ia yatim piatu yang terpaksa harus diurus oleh istri kedua ayahnya.

Di luar, Amir berdiri beberapa detik di depan pintu yang baru saja ditutup Zeta. Tangannya hampir terangkat untuk mengetuk, tetapi ia urungkan. Napasnya berat. Ia masuk ke kamarnya sendiri tanpa berkata apa pun lagi. Mendengar teriakan Zeta membuat sisi hatinya terusik. Tak seharusnya ia bersikap terlalu keras pada gadis itu.

Zeta tidak tahu apa-apa dan Zeta bingung bersikap sebagai istri.

Malam itu sunyi. Jam dinding berdetak, memecah kesenyapan rumah. Amir sempat beberapa kali berbalik di kasur lipatnya, tapi tak kunjung tertidur. Bayangan wajah Zeta yang memucat karena tersinggung membuat hatinya gelisah. Ia sadar, ada yang keliru dari caranya bicara tadi.

---

Pagi menjelang dengan cahaya yang merambat pelan di antara tirai. Amir bangun lebih awal, berharap mendengar suara panci atau langkah pelan di dapur seperti kemarin. Namun, rumah itu tetap sunyi. Tak ada aroma masakan, tak ada suara sendok beradu dengan wajan.

Ia berjalan ke dapur. Meja makan kosong, bahkan teko berisi teh yang biasanya diletakkan Zeta pun tidak ada. Amir menghela napas, lalu melangkah menuju pintu kamar Zeta. Ia mengetuk pelan.

“Zeta,” panggilnya. Tak ada jawaban.

Amir mencoba lagi, kali ini lebih lembut. “Zeta, ayo keluar. Kita sarapan bareng.”

Tetap hening.

Ia berdiri beberapa saat, lalu mengelus dahinya sendiri. Sesuatu di dalam dirinya terasa berat, semacam penyesalan yang menumpuk. Amir sadar, Zeta benar-benar sakit hati dengan ucapannya semalam.

Ia kembali ke dapur, mengambil segelas air, lalu duduk di kursi kayu. Ingatannya melayang ke Shafa. Istrinya dulu memang punya kebiasaan menunggu Amir pulang, duduk di kursi yang sama sambil mengerjakan rajutan kecil. Namun Shafa tak pernah merasa itu beban. Dan kini, tanpa sadar, Amir membandingkan perempuan yang baru saja masuk ke hidupnya dengan kenangan yang belum juga ia lepaskan.

Setelah beberapa menit, Amir berdiri lagi. Ia kembali ke depan pintu kamar Zeta, lalu mengetuk sedikit lebih keras. “Zeta, dengar ya,” ucapnya perlahan. “Aku minta maaf soal semalam. Aku ngomongnya nggak benar. Aku cuma… kadang masih susah bedain masa lalu sama sekarang. Kamu nggak salah apa-apa.”

Masih tak ada suara dari dalam. Amir mendekatkan telinganya, memastikan gadis itu ada di sana. Ia mendengar desah napas yang teratur.

“Zeta, ayo keluar. Aku nggak mau kamu kelaparan di dalam,” ujarnya lagi, kini dengan nada tulus.

Beberapa detik kemudian terdengar suara engsel pintu berdecit pelan. Zeta muncul, wajahnya sembab. Rambutnya agak berantakan, seperti habis lama bersandar di bantal. Ia tidak menatap Amir langsung, hanya menunduk sambil meremas ujung dasternya.

“Maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman,” kata Amir hati-hati. “Aku cuma… masih belajar juga, Zet. Kita sama-sama baru di keadaan ini.”

Zeta mengangguk sedikit, meski bibirnya tetap rapat.

“Yuk, kita sarapan,” Amir melanjutkan, mencoba tersenyum. “Aku udah bikin teh, tapi nggak tahu enak apa nggak.”

Zeta menghela napas pelan. Ia keluar dari kamarnya, melangkah ke dapur tanpa berkata sepatah pun. Amir mengikuti dari belakang, menjaga jarak.

Di meja, Amir sudah menyiapkan dua piring berisi roti yang ia panggang seadanya. Ada selai kacang di piring kecil, dan dua gelas teh yang asapnya masih mengepul tipis.

“Ini cuma roti, nggak sehebat masakan kamu kemarin,” ujarnya sambil menggaruk tengkuknya. “Tapi aku harap cukup buat isi perut.”

Zeta duduk perlahan. Ia menatap roti itu sebentar, lalu meraih satu potong dan mulai mengoleskan selai. Gerakannya pelan, seolah masih menimbang apakah ia boleh menikmati suasana ini.

Amir memperhatikan, tidak banyak bicara. Dalam hatinya, ia berjanji untuk lebih berhati-hati. Ia tahu, gadis itu datang ke rumahnya dengan luka sendiri, dan ia tak seharusnya menambah beban itu dengan kata-kata yang salah.

Beberapa menit kemudian, Zeta mengangkat roti ke mulutnya. Ia menggigit sedikit, lalu meminum teh pelan-pelan. Meski masih bungkam, matanya tidak lagi setajam saat keluar kamar tadi.

Amir mengambil kesempatan itu untuk mencoba lagi. “Zeta… aku beneran minta maaf,” katanya tulus. “Aku janji nggak akan lagi ngomong sembarangan kayak semalam.”

Zeta masih belum memberi respons verbal. Namun, ketika Amir meletakkan cangkir tehnya dan hendak berdiri, Zeta tiba-tiba berdeham sambil mengangguk.

Mereka melanjutkan sarapan dalam diam yang lebih ringan daripada sebelumnya. Tidak ada paksaan untuk bicara, hanya suara sendok yang sesekali menyentuh piring dan kicau burung di luar jendela.

Sesekali Amir melirik ke arah Zeta, memastikan gadis itu baik-baik saja. Dalam hati ia bertekad, setelah sarapan ia akan membantu membersihkan rumah lagi—bukan hanya untuk membuat suasana lebih hidup, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka sejak awal.

Zeta, meski belum siap tersenyum, diam-diam merasa lega. Setidaknya Amir mau mengakui kesalahannya.

"Aku berangkat." Zeta mengangguk, tapi tak mengeluarkan suara. Amir pun memaklumi, Zeta masih merajuk. Usia mereka beda dua puluh tujuh tahun, wajar jika Zeta gampang ngambek.

"Maaf, aku cuma punya uang dua puluh ribu untuk masak hari ini. Apa gak papa?" Zeta mengangguk. Lalu menerima uang pemberian Amir.

Amir pun pergi. Zeta memutuskan ikut keluar rumah juga untuk pergi ke warung. Masih ada telur di rumah. Ia membeli santan instan dan juga tahu. Tak lupa sayuran untuk membuat bakwan sayur secukupnya. Masakan sederhana yang selalu jadi favorit ibu dan adik tirinya.

Zeta berjalan santai menuju rumah, namun ia terkejut saat melihat seorang wanita paruh baya memakai kacamata tengah berdiri di depan rumahnya. Aroma parfum mahal pun langsung bisa terendus indra penciuman Zeta. Jelas sekali tamunya orang kaya banget.

Meskipun rambutnya sudah putih semua, tapi tetap terlihat segar.

"Ibu cari siapa ya? Apa Ibu yang punya kontrakan? Suami saya lagi kerja, Bu. Balik lagi nanti malam ya." Wanita itu membuka kaca mata dengan ekspresi terkejut. Ia memperhatikan Zeta dari ujung kaki dengan sandal jepit sampai ujung rambut yang disisir seadanya.

"Kamu siapa? Ini rumah Amir, kan?"

"Iya, Bu, ini rumah Pak Amir yang udah agak tua itu. Dia suami saya."

"Hah, kamu istri Amir?" wanita itu mendelik terkejut.

"Iya, saya istrinya, Bu. Nama saya Zeta. Ibu mau nagih kontrakan ya."

Wanita paruh baya berkelas itu menarik napas panjang.

"Saya mamanya Amir."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   10. Peluk

    "Gak usah dipikirkan ucapan mama tadi." Amir duduk di pinggir ranjang, saat bicara pada Zeta yang baru saja melipat mukenanya."Gak kok, Pak. Lagian saya masih kecil, masa punya anak kecil, he he... Bapak juga gak cinta saya kan? Masa gak cinta bisa punya anak! Gak perlu khawatir, Pak. Saya pun setuju."Ekspresi Amir berubah. "Maksud kamu gak mau punya anak dari aku karena aku miskin?" suara Amir terdengar seperti tidak terima. "Bapak waktu itu bilang, bahwa Bapak gak akan sentuh saya sampai nanti saya bisa mandiri dan ketemu sama pria lain. Bapak nikahin saya karena kasihan dengan saya yang terus jadi target kekerasan ibu tiri dan kakak tiri saya.""Oh, iya, benar sekali." Keheningan sejenak menyertai keduanya. Amir tidak tahu mau bicara apa, begitu juga Zeta. "Oh, iya, besok kita ke sekolah.""Eh, saya mau sekolah? Beneran? Paket C ya, Pak?" Amir mengangguk. Ia senang dengan ekspresi Zeta yang begitu semangat. "Besok pagi kita ke sekolah untuk daftar paket C." Zeta mengangguk.

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   9. Perhatian

    "Ibu tahu gak, aku tadi ketemu siapa di mall?" Yasmin melemparkan totte bag-nya di atas sofa ruang tamu. Asri yang tengah mengaduk adonan donat langsung menghentikan kegiatan tersebut. "Siapa? Temen kamu?""Bukan, tapi Zeta. Anak tiri Ibu itu." Kening Asri mengerut. "Kerja di sana?" "Mau nyopet baju mahal. Berani banget dia masuk tenant baju yang paling murah aja harganya satu juta delapan ratus ribu, Bu." "Hah, Zeta mau maling? Wah, udah terdesak berarti. Suaminya gak bisa kasih makan, makanya Zeta nyopet. Ya ampun, tepat kalau gitu Ibu jodohin sama Amir si Pengangguran tua itu." Asri tertawa puas. Yasmin malah menghela napas. "Loh, kenapa? Jangan bilang kamu kasihan sama Zeta.""Bukan, Bu. Tapi ada yang aneh. Ada nenek-nenek kayak nenek gaul gitu, masa bilang Zeta menantunya. Masa nenek itu orang tua pak Amir? Apa Ibu yakin kalau Pak Amir itu orang miskin?" Asri bukan terkejut, tapi malah semakin tertawa. "Kalau seperti itu, mereka adalah komplotan. Kalau berani ngepet di mall

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   8. Bertemu Yasmin

    Pagi itu aroma nasi goreng mengepul lembut dari dapur. Rena duduk di meja makan dengan senyum samar, memandangi Zeta yang sibuk mengaduk wajan. Amir hanya duduk di kursi, masih tampak setengah mengantuk.“Nasi goreng kamu enak sekali, Nak,” puji Rena begitu suapan pertama menyentuh lidahnya. “Bumbu sama matangnya pas. Mama sampai lupa kamu masih muda.”Zeta tersipu, matanya berbinar mendengar pujian itu. “Terima kasih, Ma. Saya cuma masak seadanya.”Amir ikut melirik, tersenyum tipis. “Dia memang rajin masak, Ma.”Selesai sarapan, Rena berdiri sambil menatap Zeta dari ujung kepala ke kaki. Pandangannya berhenti di pakaian yang dikenakan gadis itu—blus tipis yang warnanya sudah pudar, ada sedikit sobekan di bagian lengan. Alis Rena bertaut.“Zeta, kamu nggak punya baju lain yang lebih layak?” tanyanya serius.Zeta menggeleng cepat, malu. “Ini aja, Ma… yang ada.”Rena menghela napas. “Ayo ikut Mama ke mall. Kita belikan kamu pakaian yang pantas.”Zeta langsung gelagapan. “Jangan, Ma. Sa

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   7. Satu Kamar

    Amir turun dari ojek online dengan tergesa, begitu ditelepon Zeta, lima belas menit yang lalu. Nafasnya masih memburu ketika melihat mamanya berdiri di teras bersama Zeta. Raut wajahnya langsung menegang.“Mama…” ucap Amir pelan, suaranya parau.Wanita berusia tujuh puluh tahun itu menoleh tajam. Rambutnya yang seluruhnya putih ditata rapi, dan parfum mahalnya samar tercium.“Jadi benar kamu di sini, Mir?” suaranya datar, namun dinginnya begitu dalam. “Setelah bertahun-tahun nggak ada kabar, kamu muncul dengan kejutan seperti ini.”Amir melirik Zeta yang berdiri kikuk di samping pintu. Gadis itu menunduk, jemarinya meremas ujung dasternya yang lusuh. “Masuk dulu, Ma,” kata Amir hati-hati. Ia membuka pintu dan mempersilakan keduanya.Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang cat dindingnya mulai pudar. Amir berusaha tampak tenang, tetapi peluh di pelipisnya menyingkapkan kegugupannya.“Jadi,” Mama membuka suara lagi, menatap Amir lurus, “kamu menikah diam-diam dengan… Zeta?” Tatapann

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   6. Minta Maaf

    Zeta menatap Amir dengan mata yang tiba-tiba basah. Ucapan lelaki itu barusan menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Kenapa Bapak ngomong gitu?” suaranya bergetar, pelan namun tegas. “Saya cuma… saya cuma pengin jadi istri yang baik. Bukan mau gantiin siapa-siapa. Saya ketiduran dan.... " Zeta tak sanggup melanjutkan karena ia terlalu syok. Terbangun paksa dari tidur, lalu diteriaki. Amir terdiam, wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya berubah sedikit. Namun Zeta sudah lebih dulu membuang pandang."Bapak egois!"Ia melangkah cepat menuju kamar, lalu membanting pintunya cukup keras hingga debu di kusen beterbangan.Di dalam kamar yang gelap, Zeta duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Ia merasa seperti udara di paru-parunya ikut pecah. Kata-kata Amir terus berputar di kepalanya: “Kamu ini bukan Shafa!”Zeta memeluk bantal, menekan wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Bukan berarti ia ingin melawan suaminya, hanya saja luka itu begitu mendadak. Selama ini ia su

  • Dinikahi Pria Seumuran Ayahku   5. Hidup Seperti Suami Istri Lainnya

    Pagi itu cahaya matahari masuk lewat celah jendela rumah Amir yang sudah lama jarang dibuka. Debu yang berterbangan di udara terlihat jelas, tapi suasana terasa lebih hidup dibanding semalam. Zeta sudah lebih dulu bangun. Dengan langkah pelan ia menyiapkan sarapan di dapur, meski Amir semalam bilang, “Kamu nggak usah repot, nanti aku masak sendiri.”Zeta tetap saja mengiris bawang, memotong sayur, lalu menyalakan kompor kecil yang bunyinya sedikit serak. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, melainkan karena belum terbiasa melakukan sesuatu di rumah yang bukan miliknya. Aroma tumisan bawang menyebar ke seluruh ruangan, mengusir bau debu yang melekat sejak rumah itu lama kosong.Tak lama kemudian Amir keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di ambang dapur, menatap punggung Zeta yang sedang mengaduk wajan.“Aku kan sudah bilang, nggak usah repot,” ujarnya, nada suaranya kali ini lebih datar daripada semalam.Zeta menoleh, tersenyum kecil. “Saya cuma bikin yang sederhana aja, Pak.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status