Ilona dan Anindya spontan menoleh ke belakang. Reinhard yang langkahnya masih terseok-seok menyusul di belakang kedua wanita berbeda usia. Melihat Reinhard yang kesulitan melangkah membuat Ilona spontan menghampiri lelaki itu dan berusaha membantu.
Momen tersebut tak luput dari perhatian Anindya. Wanita paruh baya itu memicingkan mata dan mendengus samar. Ternyata Ilona masih sama. Sering berpura-pura peduli pada putranya padahal sebenarnya hanya bersandiwara. Demi menarik perhatian dan menjerat putranya.“Untuk apa kamu ke sini? Tidak sadar kalau kamu masih kesulitan bergerak?” omel Ilona sembari memapah Reinhard yang beberapa kali nyaris tergelincir karena kurang keseimbangan.Ilona heran. Saat lelaki itu terobsesi ingin mengeksekusi dalang di balik kecelakaannya waktu itu, Reinhard tampak sudah sangat kuat. Namun, setelahnya lelaki itu tampak tumbang lagi. Mungkin karena ambisi besar lelaki itu, hingga kekuatannya terkumpul dalam sekejap.“Perut Ilona terasa sangat melilit dan seperti diremas-remas sangat kuat. Meskipun sudah beberapa kali mengalami pendarahan, sakitnya tidak pernah sampai seperti ini. Pinggangnya seperti akan patah dan bahkan untuk kembali berdiri tegak saja tidak bisa. Vania yang berdiri di samping Ilona langsung menanyakan apa yang terjadi. Tentu saja wanita itu tidak sanggup menjawab. Akhirnya Vania memilih langsung memapah Ilona ke dalam, sembari membantu Ilona duduk di sofa, ia berteriak memanggil semua orang. Sedangkan Ilona yang semakin kesakitan tak bisa menenangkan keadaan. Setelah Adrian dan Haura datang, Ilona langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah mendapatkan pemeriksaan, Ilona di diagnosa mengalami kontraksi palsu. Usai diberi obat, nyeri yang dirinya rasakan berangsur menghilang hingga benar-benar tak terasa lagi. “Ya ampun, Ilona! Aku hampir jantungan! Aku pikir kamu akan melahirkan hari ini juga. Apa sekarang sakitnya sudah benar-benar tidak ter
“Surprise!” seru orang-orang yang kini berdiri di depan pintu rumah Ilona dan Reinhard bersamaan. Kedua sudut bibir Ilona yang semula melengkung ke bawah kini tertarik ke atas. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang lagi, barangkali ada yang salah dengan penglihatannya. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di hadapannya tetap sama. Dan artinya ia tidak sedang berhalusinasi. Ilona spontan menoleh ke samping di mana suaminya berada. Tanpa perlu bertanya, ia sudah mengerti kalau kedatangan orang-orang ini karena campur tangan Reinhard. Manik matanya berkaca-kaca, hanya karena hal seperti ini saja, dirinya terharu. Reinhard tersenyum tipis sembari merangkul bahu Ilona. Pasangan itu pun malah seakan-akan asyik dengan dunia mereka sendiri dan mengabaikan tamu-tamu yang seharusnya mereka ajak masuk. Kalau bukan karena deheman seseorang, mungkin aksi saling tatap itu akan bertahan lebih lama lagi. “Hei, sampai kapan kalian akan saling tatap begini?
Ceklek!Ilona dan Reinhard langsung mengamankan posisi mereka karena pintu yang tiba-tiba terbuka tanpa ketukan sama sekali. Menarik selimut yang sudah tak beraturan bentuknya hingga menutupi bagian tubuh mereka yang terbuka. Namun, tetap saja orang yang tanpa permisi membuka pintu itu sudah terlanjur melihat ke dalam. “Ternyata kalian sudah berbaikan. Pantas saja suara berisiknya terdengar sampai luar. Aku pikir ada sesuatu yang terjadi,” tutur Akira yang tanpa tahu malu malah membuka pintu kamar Ilona dan Reinhard semakin lebar. Ilona yang wajahnya sudah memerah karena malu menjadi semakin merah padam saja. Wanita itu semakin mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya tanpa berani menatap orang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. “Sudah aku bilang ketuk dulu pintunya!” gerutu Gina sembari mencubit perut berotot Akira. Wanita itu tersenyum penuh permintaan maaf ke arah Ilona dan Reinhard yang pastinya merasa terganggu karena kehadiran mereka. “M
“Kamu ini apa-apaan?! Aku ingin istirahat, jangan mengganggu!” kesal Ilona sembari menarik kakinya kembali. Wanita itu melotot kesal karena Reinhard malah menahan kedua kakinya sampai sulit digerakkan. “Diamlah, aku harus melakukan sesuatu. Coba geser tubuhmu, jangan berbaring dulu, sandarkan tubuhmu di kepala ranjang,” sahut Reinhard sembari menyingkirkan selimut tebal yang biasanya mereka gunakan di bawah kakinya. Setelah menggeser paksa Ilona ke posisi yang dirinya inginkan, Reinhard langsung membuka laci di samping ranjang dan mengambil sesuatu dari sana. Ilona mengintip apa yang Reinhard ambil dengan tatapan penuh kecurigaan. Dan ternyata yang Reinhard ambil dari laci adalah sebuah salep yang masih terbungkus rapi. Ilona mengernyit heran. Tak menyangka Reinhard malah mengeluarkan benda seperti itu dari sana. Padahal ia sudah terlanjur berpikir ke mana-mana. Untung saja mulutnya masih bisa menahan pertanyaan yang berpotensi mempermalukan dirinya sen
Ilona semakin panik ketika lift tempat dirinya berada tiba-tiba terhenti. Sedangkan saat ini ia masih berada di lantai tiga. Ilona berusaha menekan tombol untuk membuka pintu lift, namun hasilnya nihil. Pintu lift tersebut tidak bisa terbuka. “Tolong! Aku terjebak di sini!” seru Ilona sembari menggedor pintu lift. Tangannya sampai berubah memerah karena ia terus menggedor pintu tersebut tanpa henti. Otaknya berpikir cepat bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini secepat mungkin. Wanita itu pun langsung menekan-nekan tombol bergambar alarm berwarna merah berulang kali. Berharap ada respon dari bagian keamanan mall ini yang bisa membantunya. “Siapa pun, tolong aku! Aku terjebak di dalam lift, pintunya tidak bisa dibuka dan aku masih berada di lantai tiga!” ucap Ilona cepat begitu terdengar sambungan dari seberang sana. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tut... Tut... Tut...“Hei! Apa kalian mendengarku?! Siapa pun to
“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan,” jawab Reinhard dengan suara pelan, bak seseorang yang sedang putus asa. “Sekarang waktunya kamu makan. Atau kamu ingin makanan yang lain? Katakan saja, mungkin aku bisa mencari makanan itu di luar?”Ilona cukup terkejut mendengar jawaban Reinhard. Biasanya lelaki itu selalu berusaha mencari pembelaan atau apa pun. Namun, saat ini Reinhard langsung menerima permintaan yang dirinya lontarkan begitu saja. Ilona memejamkan matanya sejenak, tidak apa-apa, malah bagus karena memang seperti inilah yang dirinya inginkan. Toh, memang seharusnya seperti itu juga. Kalau bukan karena janin dalam kandungannya ini, mereka tidak mungkin kembali bersama seperti sekarang. “Tidak perlu, aku makan itu saja,” jawab Ilona seraya menggeser tubuhnya dan menarik piring makanannya yang dibawakan oleh suster. Meskipun pasti rasanya aneh, tetapi tidak masalah. Ia juga tidak tahu ingin makan apa sekarang. Ilona masih terus teringat