Share

07. Sikap Aneh Zein

Author: Just Mommy
last update Last Updated: 2023-05-31 11:45:24

Sepanjang jalan intan melamun. Ia bingung mengapa Zein selalu membuatnya kesal. Seolah ia tidak memiliki hati nurani sedikit pun.

 

"Dia tuh kenapa, sih? Apa coba salahnya aku? Bahkan aku lagi sakit pun bela-belain datang ke rumah sakit biar dia gak marah dan ngatain aku pemalas. Tapi kenapa dia malah ngusir aku seenaknya? Dia pikir aku gak butuh usaha buat datang dari rumah ke rumah sakit?" Intan menggerutu sepanjang jalan.

 

Ia sangat kesal karena Zein tidak memiliki perasaan. "Ya Tuhan, gimana bisa aku harus hidup sama pria menyebalkan seperti dia? Lagian dia kenapa gak nolak aja waktu dijodohin? Ini benar-benar mimpi buruk buatku," keluh Intan.

 

Membayangkan harus hidup bersama pria yang paling ia benci itu rasanya membuat Intan gemas. Sebab, dari sikap Zein ia yakin bahwa pria itu tidak menyukainya. Namun mengapa ia tidak menolak ketika dijodohkan oleh orang tuanya.

 

Tiba di rumah, Fatma heran karena Intan sudah pulang. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia pergi.

 

"Kamu kok sudah pulang?" tanya Fatma.

 

"Gak tau, aku diusir sama Prof," jawab Intan, ketus. Ia masih sangat kesal pada Zein.

 

"Ooh, mungkin karena dia tahu kamu sedang sakit, Nak," ujar Fatma. Ia ingat bagaimana kekhawatiran Zein saat mengantarnya pulang.

 

Intan menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. 'Mending amat. Ibu gak tau aja kalau dia itu jahat,' batin Intan.

 

"Ya sudah kamu istirahat dulu, sana!" ucap Fatma. Ia melihat wajah anaknya masih nampak pucat.

 

"Iya, Bu. Masih ada yang perlu dikerjain, gak?" tanya Intan lagi. Meski sudah hampir menjadi dokter, tetapi Intan masih mau membantu ibunya.

 

"Gak ada, udah sana kamu istirahat aja!" sahut Fatma. Ia tidak ingin anaknya semakin drop jika tidak beristirahat.

 

"Ya udah aku tinggal ya, Bu," ucap Intan, sambil berlalu masuk kamar.

 

Tiba di kamar, Intan langsung mengganti pakaiannya. Kemudian ia membuka laptop karena Intan memang tidak terbiasa bersantai. Sehingga ia memilih untuk mengerjakan tugas atau mengetik jurnal untuk dikirim ke redaksi.

 

Saat sedang mengetik, ia tidak fokus karena terus terbayang harus menikah dengan profesor yang sangat menyebalkan itu.

 

"Argh! Kenapa harus dia, sih? Emangnya di dunia ini gak ada cowok lain lagi apa?" keluh Intan. Ia emosi sendiri.

 

Apalagi jika Intan ingat bagaimana tatapan sinis Zein terhadapnya. Rasanya ia sangat murka.

 

"Gimana rasanya hidup sama orang yang benci sama kita? Ya Tuhan, aku gak akan sanggup, hiks."

 

***

 

Keesokan harinya, Intan kembali datang ke rumah sakit untuk bekerja. Ia pantang menyerah. Meski kemarin telah diusir oleh Zein, tetapi bukan berarti hari ini dia tidak akan datang ke rumah sakit.

 

Tuk, tuk, tuk!

 

Intan mengetuk pintu ruangan Zein. Seperti biasa, ia harus menghadapnya sebelum mulai bekerja. Sebab, nanti Zein yang akan mengarahkan tugas apa yang harus Intan lakukan hari ini.

 

"Masuk!" ucap Zein tanpa menoleh.

 

Ceklek!

 

"Pagi, Prof," sapa Intan. Ia sangat gugup berhadapan dengan Zein. Sebab, bagaimana pun profesor galak itu akan menjadi suaminya.

 

Mendengar suara Intan, Zein menoleh ke arahnya. "Kenapa kamu sudah masuk? Memangnya kamu sudah sembuh?" tanya Zein.

 

"Alhamdulillah, sudah, Prof," jawab Intan. Saat ini ia berdiri di hadapan Zein.

 

"Oke, bagus kalau memang sudah sembuh. Tapi jangan sampai hal seperti itu terulang! Kamu itu dokter. Jika tidak menjaga kesehatan dengan baik, bagaimana pasien bisa percaya padamu?" tanya Zein.

 

Sebenarnya secara tidak langsung Zein menaruh perhatian pada Intan. Namun caranya salah. Sehingga Intan merasa Zein sedang menyindirnya.

 

"Baik, Prof. Kedepannya saya akan lebih aware lagi," jawab Intan.

 

"Ya sudah, sekarang kita visit ke ruangan VIP dulu, setelah itu kamu temani saya di poli, kemudian kita operasi!" ajak Zein.

 

Intan sedikit terkesiap. Tidak biasanya Zein meminta Intan untuk menemaninya seharian full. Biasanya Intan akan di tugaskan di bagian tertentu. Bahkan, untuk operasi pun sangat jarang Zein mengajak Intan karena selama ini Zein menganggap Intan tidak becus.

 

Bukan tidak mau. Intan justru senang jika memang bisa menghandle semuanya. Tugas yang Zein berikan membuat Intan merasa dipercaya oleh Zein.

 

"Baik, Prof," sahut Intan. Setelah itu Zein beranjak dan mereka pun meninggalkan ruangan tersebut.

 

"Sudah sarapan?" tanya Zein tanpa menoleh.

 

Intan terkesiap. Tidak biasanya Zein bertanya seperti itu.

 

"Heuh?" Intan khawatir dirinya salah dengar.

 

Zein pun menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kamu sudah sarapan?" tanya Zein lagi.

 

"Biasanya saya jarang sarapan, Prof. Nanti paling sekalian makan siang," jawab Intan.

 

Zein menggelengkan kepalanya. "Bagaimana kamu tidak mudah sakit? Saya tidak mau asisten saya lemah," ucap Zein. Kemudian ia melihat jam tangannya. "Kalau begitu, kita sarapan dulu. Mumpung masih ada waktu setengah jam lagi," ajak Zein. Kemudian ia langsung balik badan dan berjalan tanpa menunggu persetujuan Intan.

 

Intan menelan saliva. "Dia lagi kenapa, sih?" gumamnya, pelan. Ia tetap berjalan di samping Zein.

 

"Sarapan itu penting. Bagaimana kamu tidak kekurangan gizi kalau kamu saja tidak sarapan? Apa sih susahnya makan? Takut gemuk? Sarapan tidak akan membuatmu gemuk selama porsinya pas dan kamu aktif bergerak," nasihat Zein.

 

"Iya, Prof. Terima kasih sarannya," jawab Intan.

 

'Ni orang tadi pagi sarapan apa, sih? Mabok banget, deh,' batin Intan.

 

"Pagi, Prof!" sapa beberapa perawat dan dokter yang berpapasan dengan mereka.

 

"Pagi," sahut Zein, singkat.

 

"Kamu tahu? Kalau kamu pingsan itu akan merepotkan banyak orang. Jadi seharusnya kamu lebih peduli pada kesehatanmu sendiri. Dokter macam apa yang pingsan saat sedang bekerja?" cibir Zein.

 

"Maaf, Prof," ucap Intan.

 

Zein masih gengsi untuk menunjukkan perhatiannya pada Intan. Sehingga ia menasihatinnya dengan cara seperti itu. Padahal intinya Zein tidak ingin Intan sakit lagi.

 

"Kamu mau makan apa? Biar sekalian saya yang pesan," tanya Zein saat mereka tiba di kantin.

 

"Eh, jangan, Prof! Biar saya saja," sahut Intan. Ia tidak ingin merepotkan Zein. Ia pun merasa tidak pantas jika Zein yang memesankan makanan untuknya.

 

"Lalu kenapa kamu diam saja?" tanya Zein.

 

"Oh iya. Maaf," sahut Intan, gugup. Padahal saat tiba di kantin, ia diam bukan apa-apa. Tetapi karena Intan sedang bingung, ingin memilih makanan mana yang akan ia makan pagi ini. Namun ternyata Zein malah mengira Intan tidak mau makan, sehingga lansung berkata seperti itu.

 

Akhirnya Intan pun memilih random makanan yang ada di sana. 'Duh, aku belum lapar. Kenapa dia maksa aku makan jam segini, sih?' batin Intan. Biasanya Intan memang jarang sarapan. Paling ia hanya makan buah dan minum ketika sedang break.

 

Sambil menunggu Intan, Zein memesan secangkir kopi. Sebab, ia sudah sarapan di rumah. Ia pun tak mungkin hanya melihat Intan makan tanpa melakukan apa pun.

 

"Lho, Prof gak makan?" tanya Intan setelah kembali ke mejanya.

 

"Saya sudah makan," jawab Zein singkat. Kemudian ia menyeruput kopi yang ada di hadapannya.

 

"Terus kenapa ke sini?" tanya Intan lagi. Ia bingung mengapa Zein ikut ke kantin jika memang sudah sarapan. Secara Zein orang sibuk dan disegani oleh banyak orang. Rasanya sangat aneh jika profesor itu datang ke kantin untuk menemaninya makan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kartinazahri Ilyas
sangat luar biasa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dinikahi Profesor Galak   86. Bahagia (S2)

    Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany

  • Dinikahi Profesor Galak   85. Telat (85)

    “Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di

  • Dinikahi Profesor Galak   84. Berpamitan (S2)

    “Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua

  • Dinikahi Profesor Galak   83. Merengek (S2)

    “Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel

  • Dinikahi Profesor Galak   82. Terpaksa Pulang (S2)

    “Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka

  • Dinikahi Profesor Galak   81. Ini Bulan Madu (S2)

    “Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status