“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
Intan sangat membenci konsulennya yang galak itu, siapa sangka ternyata pria yang paling menyebalkan tersebut justru akan menikahinya.Malam itu Intan diminta untuk datang ke sebuah restoran oleh ibunya. Ia sempat heran, tidak biasanya Ibu Intan yang bernama Fatma itu pergi ke restoran sendiri.Hal itu pun membuat Intan khawatir. Ia bergegas menuju restoran setelah selesai bertugas di rumah sakit. Sebelumnya ia sempat izin pulang lebih awal pada Zein-konsulennya."Maaf, Prof. Saya mohon izin pulang lebih awal karena ada acara keluarga," ucap Intan saat berada di ruangan Zein. Sebenarnya ia takut, tetapi Intan terpaksa memberanikan diri demi ibunya."Ternyata selain teledor, kamu juga tidak profesional, ya?" sahut Zein yang sedang sibuk dengan komputernya itu.Bukan hal aneh bagi Intan saat melihat reaksi Zein seperti itu. Profesor tersebut memang tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Hampir setiap hari Intan dimarahi atau disindir dengan kalimat yang menyakitkan oleh Zein. Namun
Uhuk, uhuk!Intan yang sedang mengunyah makanan itu langsung tersedak. Bak tersambar petir di siang bolong, ia sangat terkejut mendengar bahwa dirinya akan dijodohkan dengan profesor yang paling ia benci itu.'Aku yakin ini pasti mimpi. Mana mungkin aku menikah dengan manusia jahat seperti itu? Oh no! Itu bagaikan musibah,' batin Intan sambil meneguk air mineral.Ia tidak berani mengatakan apa pun karena khawatir penyakit ibunya kumat.Sementara itu Zein masih berusaha bersikap tenang meski sebenarnya ia pun tak kalah terkejut dari Intan. 'Mimpi apa aku harus menikahi gadis manja seperti itu?' batin Zein. Ia tidak mengatakan apa pun, sehingga Muh dan Rani menganggap bahwa Zein setuju dengan perjodohan ini."Emm ... sepertinya kalian berdua tidak keberatan? Wajar, sih. Kalian kan sudah saling mengenal, jadi tidak sulit untuk membangun chemistery. Bukan begitu?" ujar Rani tanpa dosa.Padahal, jangankan chemistrery. Sekadar hubungan baik antara konsulen dan koas saja tidak ada. Mereka le
Zein menyeringai. "Kamu pikir apa yang akan saya lakukan? Jangan harap!" cibir Zein. Kemudian ia langsung meninggalkan Intan yang sedang mematung itu.Ia menganggap Intan seperti itu karena berharap dicium olehnya.Intan yang terkesiap itu langsung membuka matanya. "Huuuh! Dasar monster menyebalkan. Kalau bukan konsulen, udah pasti aku tendang dia tadi," gumam Intan, kesal. Napasnya menggebu karena terlalu emosi terhadap Zein.Ia tidak terima dianggap seperti itu oleh Zein. ‘Duh, kenapa tadi aku pake tutup mata, sih? Kan dia jadi salah paham,’ batin Intan, menyesal.Saat Intan hendak melangkah, Zein yang sudah berada di ujung koridor pun menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Intan kembali tercekat."Saya tunggu di ruang VVIP lima menit lagi," ucapnya. Kemudian ia membuka pintu koridor dan meninggalkan Intan begitu saja.Intan pun ternganga. Ia baru saja tiba di rumah sakit. Belum sempat menaruh tas dan bersiap. Sementara itu jarak antara ruangannya dan ruangan Zein cukup jauh. Akhi
"Enggak," ucap Intan."Iya," sahut Bian secara bersamaan.Jawaban Intan dan pria itu berbeda. Pria itu pun tersenyum karena Intan mengatakan tidak mengenalnya. Sementara Zein melirik sinis pada Intan, seolah Intan telah mengkhianatinya. Padahal, meski sudah dijodohkan, hubungan mereka tidak terlalu baik."Oh, sudah kenal," sindir Zein. Ia tak mengindahkan jawaban Intan."Iya, Prof. Tapi sebenarnya baru ketemu tadi, sih. Belum kenal nama," ucap pria itu. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada Intan."Bian," ucapnya, sambil tersenyum manis pada Intan. Ia merupakan seorang komandan angkatan darat yang selalu ramah pada siapa pun. Hal itu pun membuat Bian senang karena bisa mendapatkan kesempatan berkenalan dengan Intan.Saat ini Bian sedang menjenguk ayahnya yang sudah dirawat selama satu minggu di rumah sakit tersebut.Intan bingung bagaimana cara meresponnya. Terlebih di sana ada Zein yang sudah jelas akan menikah dengannya. Meski Zein tidak bersikap baik pada Intan. Namun gadis itu me