Share

Dinikahi Putra Kiai
Dinikahi Putra Kiai
Penulis: HaluMutu

Perjodohan

“Tidak ada yang mampu memaksa masuknya sebuah cinta dalam atma, pun tidak ada yag mampu merahasiakan cinta saat dia sudah merekah dan sudah siap menebarkan aromanya.”

***

Pov: Ans

“Gus!” panggil Umi.

“Enggeh, Mi.” Aku melipat sajadahku dan meletakkan peci di atasnya.

Aku pun berjalan menuju dapur, terlihat Umi sedang sibuk mengupas buah pepaya untuk dihidangkan sebagai makanan pembuka. Saat Umi menyadari bahwa aku sudah di dekatnya, Umi langsung menyampaikan sebuah pertanyaan yang membuatku syok bukan kepalang.

“Le... kamu kan sudah waktunya menikah, ada baiknya kamu menyegerakannya. Menyempurnakan separuh iman, lho.” Aku turut membantu Ummi menyiapkan sarapan pagi sembari menimang-nimang jawaban.

Aku menjawab dengan perasaan sedikit tak karuan, “Enggeh, Mi. Dalam urusan seperti ini. Ans pasrah sama Ummi, Ans belum ada calon yang pas untuk melangkah ke sana, Mi.”

Tampak sebuah senyum tersungging manis dari tubir bibir Umi, beliau menghampiriku yang sedang duduk di meja makan. “Gimana kalau Hanna?”

Aku terbelalak dan sontak tersedak padahal tidak sedang makan. Umi menepuk pundakku, tertawa ringan melihat tingkah aneh dari putranya ini. “Kenapa, Lee? Ada yang salah?” lanjut Ummi.

“Mboten, Mi. Hanna santri putri Dalbel kan, Mi?”

Umi mengangguk pelan, mengiyakan. “Ya sudah, berarti setuju ya? Dia anaknya baik, pintar, nasabnya juga baik kok.”

Aku hanya tertunduk. Entah apa yang sedang akau pikirkan, pikiranku mendadak melayang dan tidak tentu arah entah ke mana. Membuang pandangan ke bawah demi menutupi kegundahan. Hatiku bingung antara harus merasa bahagia ataukah duka.

Jika bahagia, aku tidak punya rasa cinta sama sekali padanya, kalaupun aku harus berduka, tidak ada yang melukaiku, aku yakin Umi memutuskan hal ini karena memang yakin bahwa Hanna yang terbaik untukku.

“Ya sudah, Mana Abahmu? Panggil sana, lalu kita makan bersama. Jangan pikirkan hal itu, jangan pikirkan hal itu, nanti kamu sholat istikharah dan meminta petunjuk kepada Allah. Kalau Umi dan Abahmu memang sudah mantap dengan Hanna.”

“Enggeh Mi.” Aku terdiam sejenak, kemudian memanggil Abah yang sedang menikmati syarah kitab Minhajul ‘Abidin di ruang tamu.

*Mboten: tidak

*Enggeh: iya

***

Aku termenung memikirkan perkataan Ummi di depan jendela kamar. Bingung harus memutuskan apa. Tidak berdaya jika harus mengecewakan Umi, tapi aku tidak pernah cinta pada Hanna. Apa aku bisa menjalani hidup dengan Hanna tanpa cinta sekecil biji zarrah pun.

Tiba-tiba terlihat dari jendela, Hanna bersama teman-temannya yang sedang berjalan menuju musholla, tempat aku mengajar kitab. Tak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk. Spontan aku menutup gorden kamarku dan menyahuti ketukan itu. Segera kuraih kitab dan memakai jas, sebab yakin kalau Umi pasti hendak mengingatkan kalau aku sedang ada jam ngajar santriwati detik ini.

“Enggeh, Mi,”jawabku sambil membuka pintu dalam keadaan sudah rapi dengan kitab kupeluk di dada.

“Wah-wah-wah, putra Umi yang sebentar lagi akan menikah sudah siap saja menjalankan tugas. Jika tugas mengajar saja dipenuhi, apalagi keinginan Umi yang tadi pagi,” seru Umi. Aku hanya tersenyum lalu mencium punggung tangan Umi. Beralih pamit untuk mengajar.

“Do’akan Ans, Mi, semoga bisa menjaga hati.” Umi tersenyum seraya mengangguk pelan.

Aku melangkahkan kaki melewati halaman menuju musholla, tempat santriwati sudah menunggu kajian dimulai. Namun hari ini ada sedikit berbeda, aku seakan tidak berani untuk melihat ke arah santriwati, hanya terfokus pada kitab dan papan putih.

Saat di akhir kajian, tiba-tiba ada santri yang mengangkat tangannya, pertanda dia hendak bertanya. Aku menelan air ludah dengan gugup, lantas mengucap basmalah dalam hati.

Untuk menanggapi siapa yang bertanya, aku tergerak untuk mendongak kecil. Sedikit terkejut saat tahu yang bertanya ialah Hanna. Dia memang santriwati yang cerdas, kritis terhadap penjelasan yang disampaikan.

“Afwan, Gus, saya mau bertanya,” ucapnya mengawali pertanyaannya. Semua kemusykilannya dia sampaikan, dan kujawab sependek pengetahuanku. Aku tidak kembali bertanya apakah dia puas dengan jawabannya ataukah tidak.

Selepas itu, aku langsung menutup kajian hari ini dengan perasaan yang penuh gemuruh, gerah. Waktu satu jam saja seakan sangat lama bagiku kali ini. Dari awal mengisi kajian hingga akhir, mungkin sudah hampir dua puluh kali aku diam-diam melirik jam tanganku.

*Afwan: Maaf

***

Sepulang dari mengisi kajian, tidak biasanya Umi sudah berada di ruang tamu, dan seakan sudah siap mengintrogasiku dengan segudang pertanyaan.

“Le!” Umi tersenyum sambil memberi kode agar aku duduk sebentar.

“Enggeh, Mi.” Aku mencium punggung tangan Umi, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Umi.

Umi tersenyum, hingga akhirnya aku juga tak kuasa menahan senyum. Mukaku medadak seperti udang rebus, seakan menjadi bagian dari peserta yang sedang gugup untuk melakukan interview dengan atasannya.

“Gimana Hanna menurutmu?” Lagi-lagi Umi tersenyum dengan senyum yang seakan menggodaku.

“Gimana yang gimana makudnya enggeh, Mi? Ans mboten paham,” Aku menjawab dengan perasaan yang saling berkecamuk antara akal dan hati.

Hendak menolak, tapi tidak mampu jika harus melihat guratan kecewa di paras beliau karena ujaranku. Dan lagi, aku memang sedang tidak mempunyai calon jika ingin beralasan demikian. Agaknya aku harus pasrah jika sudah seperti ini.

“Kamu sudah melihat Hanna kan? Hanna tadi bertanya tidak ?”

Tampaknya ini memang rencana Umi, menyuruh Hanna menyampaikan pertanyaan, Hanna memang santriwati yang patuh, selalu memenuhi apa yang Umi inginkan.

“Jadi Hanna tadi bertanya karena Umi yang suruh?”

“Loh, kok malah balik nanya sih, Umi kan tadi nanya. Lagian, Hanna memang suka bertanya kok, dia jeli pada setiap penjelasan yang disampaikan.”

Mukaku semakin tidak dapat aku gambarkan sudah seperti apa, gerah, dan entah harus merasa apa hari ini. Pikiranku kacau.

Tanpa menjawab pertanyaan Umi, aku pamit untuk mandi karena merasa gerah. Umi pun heran, padahal biasanya setelah ngajar aku tidak pernah mandi lagi, karena sebelum berangkat sudah mandi.

“Yasudah, sana mandi! habis ini temani Umi buat ngontrol pesantren daerah santriwati, ya!”

Lagi-lagi aku dibuat kaget karena permintaan Umi. Aku tidak banyak berkata, sebab jika Umi sudah meminta, dari kecil aku tidak pernah mampu untuk berkata tidak.

“Enggeh, Mi, Ans mandi dulu.”Aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku.

***

Saat berada di taman dekat daerah santriwati, tampaknya Umi sengaja agar aku bisa melihat Hanna yang sedang bersih-bersih kantin, sudah beginipun aku tetap aku tak kuasa melihatnya, sebab tetap saja tidak ada tanda-tanda dentam merah jambu itu hadir. Padahal Umi sudah banyak bercerita tentang Hanna.

Semua santriwati menunduk ketika kami lewat. Riuh ramai di kamar masing-masing setelah melenggang dari hadapan kami, sebab tida semua santriwati bisa dengan mudah melihatku. Aku hanya mengajar santriwati kelas Madrasah Tsanawiyah, jadi santri yang lain tidak pernah melihatku.

Umi malah memanggil Hanna untuk membantu memindahkan bunga yang beliau rasa kurang pas posisinya.

“Hanna!” Hanna tidak mengetahui niat perjodohan kami sebab Umi belum ke rumah Hanna, hanya saja pernah memberi kode pada kedua orang tuanya agar tidak menerima orang terlebih dahulu. Orang tua Hanna yang memiliki khidmat besar pada pesantren, tidak pernah berpikir yang lain kecuali hanya mengiyakan.

Hanna mendekat, tapi aku pun masih merasa tidak ada hal yang aneh dari hatiku, meski gadis polos itu sudah berdiri tepat di hadapanku dan umi. Sejatinya yang membuatku gugup bukan Hanna, tapi karena aku belum siap saja dengan kata ‘Nikah’. kata ini adalah kata yang sejatinya sama sekali belum terlintas dalam benakku.

Umi dan Hanna sibuk menata letak bunga, aku hanya membuntuti Umi dari belakang. Hanna tampak juga tidak ada pikiran apa-apa. Tidak tahu apa-apa bahkan.

Setelah dari pondok putri, Umi menyampaikan niatnya bahwa nanti malam akan berkunjung ke rumah Hanna. Mendengar itu, aku hanya bisa mengelus dada dalam angan. Debaran ini makin tidak karuan. Menikah dengan Hanna? satu kalimat yang terasa begitu asing di benakku.

Umi tanpa ragu mengajakku, sedang aku kembali dibuat dilema dengan perasaanku sendiri.

Jantungku mulai berdentam, menguarkan kegundahan.

Aku tidak siap medengar apa yang hendak Umi bicarakan dengan keluarga Hanna nantinya. Seandainya memang harus dengan Hanna, harus gadis itu yang menjadi teman hidupku kelak, setidaknya jangan sekarang ya Rabb. Hamba-Mu ini belum siap.

Bersambung...

Jangan lupa vote and komennya ya, guys.

Semakin banyak vote, makin cepet pula up ceritanya.

Happy reading :)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status