Indah menggeleng ketakutan, dia tetap saja mengelak meski sudah terpojok.“Benar-benar bukan saya yang membukakan pintu belakang, apalagi bersekongkol dengan penjahat. Saya mana berani,” kata Indah.Mata Bibi Jess menyipit penuh curiga.“Kalau kamu masih tidak mau mengaku, aku akan menggeledah kamarmu untuk mengetahui apakah yang kamu katakan benar atau tidak.”Indah sangat terkejut, apalagi Bibi Jess siap melangkah pergi.“Ya-ya geledah saja, saya sama sekali tidak takut,” tantang Indah.“Baik.” Bibi Jess mengangguk tanpa ragu.Bibi Jess menarik tangan Indah agar ikut, begitu juga dengan Thomas yang mengikuti Bibi Jess di belakang.Pelayan terkejut saat melihat Indah ditarik paksa oleh Bibi Jess. Bukankah tadi Indah diajak masuk untuk diberi hadiah, kenapa sekarang malah ditarik seperti penjahat?Bibi Jess, Indah, dan Thomas masuk ke kamar yang ditempati Indah dan Hera.Bibi Jess berpura-pura membuka lemari Indah untuk mencari bukti, lalu akhirnya dia berjongkok di samping ranjang, k
Indah seketika girang. Hanya memperagakan cara menggunakan masker seperti itu jelas sangat mudah karena dia sudah pernah menggunakannya. Indah mengangkat tangan, hingga tatapan semua orang tertuju padanya. "Pak saya mau bertanya?" Thomas mengangguk. "Hm ... apa yang mau kamu tanyakan?" balasnya. "Apa hadiahnya?" Indah bertanya penuh percaya diri. Thomas menoleh ke Bibi Jess yang berdiri di sampingnya lalu memberi perintah," Tunjukkan hadiahnya." Bibi Jess mendekat ke arah meja pajangan, di mana tak satupun dari pelayan yang menyadari bahwa di sana ada sebuah koper kecil. Bibi Jess kembali ke samping Thomas setelah mengambil dan langsung membuka untuk menunjukkan isi di dalam koper itu. Pelayan mulai saling senggol dan gaduh satu sama lain, tumpukan uang yang ada di dalamnya sangat menyilaukan mata. Tentu saja nilainya tak kurang dari sepuluh juta. Thomas menarik sudut bibir seraya menatap pada Indah. Gadis itu menatap tumpukan uang itu dengan mata berbinar. Ora
Risha menatap Arsen yang baru saja selesai bicara pada Lily yang masih tak merespon sama sekali, senyum getir tersemat di bibirnya yang berbalut kepiluan akan kondisi Lily sekarang. Risha meletakkan sendok makannya, lantas memandang ke arah Arsen. “Ars, coba nanti tanyakan ke perawat, apa boleh Audrey melakukan tummy time di dada Lily, siapa tahu itu bisa merangsang respon Lily,” kata Risha memberi ide. Bukankah tidak ada salahnya mencoba? Apapun akan Risha upayakan untuk membuat Lily bangun. Arsen menoleh pada Risha, lalu mengangguk kecil. Saat masih menggendong Audrey di samping ranjang, ponsel Arsen yang ada di saku celana terus berdering. Arsen menggendong Audrey dengan satu tangan, lalu tangan satunya merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Dia melihat nama Thomas terpampang di layar. Risha bangun dari duduknya, lalu menghampiri Arsen dan mengambil alih Audrey dari gendongan menantunya itu. “Jawablah dulu panggilannya, siapa tahu penting,” kata Risha. Arse
Mansion Arsen Indah dan Hera berada di kamar yang sama karena mereka memang sekamar. Malam itu saat Hera sudah bersiap beristirahat, Indah tiba-tiba duduk di tepian ranjang menatap padanya. “Tadi kamu pergi ke mana bersama Bibi Jess?” tanya Indah dengan tatapan menyelidik. “Belanja, seperti biasa memesan kebutuhan rumah dan yang lainnya ke toko langganan,” jawab Hera dengan tenang agar indah tidak curiga. Indah mengangguk-angguk kecil. “Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya setelah ponsel kita dicek ya, kenapa tidak ada info apa-apa?” tanya Indah. Hera mengedikkan kedua bahu. “Entahlah, aku juga tidak tahu.” “Apa mungkin Tuan Arsen mencurigai kita semua? Padahal kita bekerja sudah lama di sini dan setia,” ucap Indah lagi. Hera menatap pada Indah dengan rasa kesal di hati. “Kita tidak tahu bagaimana isi hati orang, jadi tidak tahu apa yang kita lihat benar atau tidak.” Indah mencebik, lalu dengan sengaja memainkan jemarinya di depan muka, untuk memperlihatkan cincin b
Arsen keluar dari kamar mandi dan kaget mendapati mertuanya sudah tidak berada di sana. Dia semakin terkejut saat melihat bayinya sudah berada di box lagi. Arsen berdiri cukup lama. Matanya hanya bisa melihat selimut yang menutupi tubuh bayi mungil itu. Dia membuang muka, terlihat jelas matanya berkaca-kaca. Arsen memilih melangkah keluar dari kamar rawat Lily. Hingga melihat Adhitama dan Risha sedang berada di luar. Adhitama dan Risha tampak kaget. Tak percaya Arsen memilih keluar. "Aku sudah beberapa hari tidak pulang, aku pamit pulang dulu, nanti aku ke sini lagi, tolong jaga Lily," ucap Arsen. Adhitama dan Risha hanya diam, tak bisa menjawab karena Arsen langsung pergi. Bahkan meski bayinya berada di dalam, Arsen hanya menitipkan Lily pada mereka. Risha tak menyangka hati Arsen akan sekeras itu. "Kenapa bisa Lily menikah dengan pria sedingin itu," ucap Risha. "Sha ... " Adhitama hanya bisa menyentuh tangan Risha untuk mengingatkan agar istrinya tak bicara s
Arsen segera menemui dokter di ruang ICU. Dia melihat Lily yang masih terbaring tak bergerak, lalu pandangannya beralih pada dokter yang siap bicara padanya. “Anda mau membicarakan apa, Dok?” tanya Arsen. “Saudari Lily bisa dipindah ke ruang inap biasa, tetapi tetap akan dilakukan pemantauan. Secara keseluruhan kondisinya stabil, tapi tetap butuh observasi kenapa pasien dalam kondisi vegetatif,” ujar dokter menjelaskan. “Lakukan saja apa yang terbaik untuknya,” balas Arsen tanpa berpikir panjang. Dokter mengangguk lalu meminta perawat untuk segera memproses pemindahan Lily ke ruang inap biasa. Saat sore hari. Lily benar-benar dipindah ke ruang inap VVIP. Arsen dan Adhitama menemani Lily dari ICU sampai dipindah ke ruang inap. Sekarang mereka berdiri di sisi kanan kiri ranjang Lily sambil menatap Lily yang benar-benar tak memberikan reaksi apa pun. Risha duduk sambil memandangi wajah Lily. Bibirnya tersenyum getir begitu pilu. “Dia seperti sedang tidur,” ucap Risha sambi