Maaf geng Up nya kemalaman 🫣
Hari berikutnya. Juna dan Dini pergi ke villa tempat Lily berada. Dini begitu senang, bahkan menunjukkan foto sekilas foto bayi Lily pada Juna yang sedang menyetir. “Anak Lily sangat cantik, kan? Bahkan pipinya begitu menggemaskan,” ucap Dini. “Ya, dia cantik,” balas Juna, ‘tapi sayang, dia takkan bisa melihat dunia lebih lama, dia akan mati di tanganku,’ batin Juna kemudian dengan senyum licik di wajahnya. Juna menoleh sekilas pada Dini, tidak ada sedikitpun rasa sungkan ataupun bersalah karena sudah memanfaatkan gadis itu. Setelah beberapa saat perjalanan. Dini dan Juna akhirnya sampai di villa. Saat memasuki halaman, Juna terkejut melihat banyaknya pengawal di sana, ada empat orang berjaga di depan. “Sepertinya Pak Arsen memperketat keamanan Lily,” ujar Dini sambil memandang pengawal yang berjaga di gerbang utama. “Iya harus, Pak Arsen pasti takut kalau nanti Lily diculik lagi,” timpal Juna dengan nada candaan. Dini mengerutkan kening mendengar ucapan Juna. Di
Hari ini Juna kembali menjemput Dini di ARS. Mobil Juna sudah berhenti di dekat lobby, menunggu Dini keluar dari gedung ARS. Tak beberapa lama, Dini akhirnya muncul dari balik pintu lobby bersama dengan beberapa karyawan lain. Juna langsung keluar dari mobil, dia melambaikan tangan ke arah Dini, lantas membuka pintu mobil begitu Dini sudah menghampirinya. Dini bersikap biasa. Dia tetap masuk mobil Juna, lalu menunggu pria itu mengemudikan mobil meninggalkan ARS. "Ini boneka yang sejak kemarin kamu tanyakan, tadi sengaja kubawa ke kantor lagi." Dini mengulurkan boneka pemberian Juna kepada pria itu lagi. Juna terkejut. Dia melirik pada boneka yang ada di tangan Dini. Pandangan Juna tertuju pada mata boneka beruang itu, memastikan apakah kamera yang terpasang di beruang masih terpasang atau tidak. Begitu memastikan kamera masih terpasang seperti sebelumnya, Juna berpikir jika kamera itu pasti rusak sehingga hanya ada warna hitam di rekaman pada aplikasi ponselnya. "Ke
Dini memastikan Juna pergi meninggalkan halaman rumahnya sebelum dia masuk. Dini buru-buru menutup pintu dan menguncinya, hingga sempat membuat ibunya bingung. Dia tak menjelaskan dan langsung masuk ke kamar. Dini mengambil ponsel pemberian Thomas untuk menghubungi pria itu. “Halo.” Suara Thomas membuat Dini lega. Dia menceritakan semuanya ke Thomas, termasuk Lily yang mengirim pesan padanya. “Saat mengirim pesan Lily sedang bersamaku dan Pak Arsen, jadi semua itu memang sudah direncanakan.” Jawab Thomas. Dini membuang napas lega, dia kemudian bertanya bagaimana kondisi Lily sekarang, dan apa yang bisa dia lakukan untuk membantu. “Tidak bisa dibicarakan lewat telepon, tapi aku juga khawatir Juna diam-diam masih mengawasimu, jadi besok aku akan menjemputmu setelah memastikan Juna tidak bisa ke mana-mana,” kata Thomas. Dini mengerutkan kening, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Thomas. “Anda tidak berniat membuatnya cidera ‘kan Pak?” tanya Dini sedikit ragu. “Kenapa? Ap
Dini seketika diam. Dia menghentikan gerakannya makan karena pertanyaan Juna barusan. “Apa aku belum bilang?” tanya Dini. “Bilang apa?” Juna meletakkan alat makannya melihat wajah Dini berubah serius. “Orang tuaku melarangku membawa pria ke rumah jika datang tanpa orang tuanya. Maaf kalau mereka terdengar kolot, tapi selama ini memang tidak ada pria yang diperbolehkan datang ke rumahku,” balas Dini. Juna tak langsung menjawab. Dia tampak diam menatap Dini yang serius. “Baiklah kalau begitu, tidak apa-apa,” jawab Juna. Dia menunjukkan wajah kecewa di hadapan Dini. “Maaf, aku tidak berani melanggar aturan orangtuaku. Terserah kalau kamu mau menganggap aku kuno,” ujar Dini. “Tapi aku tahu alasannya karena mereka sayang padaku,” imbuhnya. Dini berharap mendengar ini Juna langsung mengakhiri hubungan mereka. Namun, tak Dini sangka, Juna malah memulas senyum dan meraih tangannya. Hingga dia tersentak kaget. “Tidak apa-apa, orangtuamu sangat menjagamu, aku yakin mereka sang
Sore hari Jam pulang kerja tiba. Dini buru-buru mengemas semua barangnya karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Lily. Dini berjalan cepat keluar ruangan divisi pemasaran, dia yang biasanya santai saat pulang, sampai rela berdesak-desakan dengan staf lain agar bisa segera pergi menemui Lily. Namun, tak Dini sangka. Saat keluar lobby menunggu Thomas, dia malah melihat Juna datang menjemputnya. “Dia? Kenapa tiba-tiba berada di sini? Apa dia mengirim pesan dan tidak aku baca?” gumam Dini di dalam hati. Dia merogoh ponselnya untuk mengecek, dan tidak ada satupun pesan dari Juna. Saat Dini masih diam memandang ponsel, Juna sudah lebih dulu mendekat padanya. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Dini Dini melihat Juna tersenyum mendengar pertanyaannya. Pria itu bahkan dengan santai menyematkan rambut Dini yang sedikit berantakan ke belakang telinga Dini. “Aku ingin menjemput pacarku, apa ada alasan lain?” Dini menelan ludah susah payah mendengar jawaban Juna. Saat dia mas
Di Gedung ARS Arsen baru saja datang untuk kembali bekerja hari itu. Dia tampak berjalan tegap menuju lift khusus diiringi tatapan para staf yang menyadari bahwa akhirnya Arsen kembali ke ARS. Di belakangnya Thomas sibuk dengan ponsel. Mulai menyusun jadwal juga membalas beberapa pesan penting. Bibir Thomas tertarik samar saat mendengar suara staf yang membicarakan Arsen. “Pak Arsen memang pria idaman, lama tidak datang bekerja hanya untuk menemani istrinya melahirkan.” “Benar-benar beruntung bisa mendapat suami seperti Pak Arsen.” Thomas geleng-geleng kepala. “Apa mereka tidak bisa mengecilkan volume suara? Bisa-bisanya membicarakan atasan dengan terang-terangan begitu,” gumam Thomas. Arsen hanya melirik ke belakang tanpa bicara kemudian masuk ke dalam lift untuk pergi ke ruangannya. Saat hampir tiba di ruangan, Thomas mendahului Arsen untuk membuka pintu. Dia buru-buru menutupnya setelah Arsen masuk. Thomas diam sampai Arsen selesai melepas jas dan duduk di kurs