Arsen duduk diam menatap wajah Lily yang masih tak sadarkan diri. Perawat baru saja mengganti kantong darah untuk yang kesekian kali. Berharap kantong ini adalah kantong terakhir sehingga kondisi Lily sudah bisa dikatakan melewati masa kritis. Waktu satu kali dua puluh empat jam yang dokter ucapkan juga sudah terlewat, tapi Lily masih sama. Tertidur lelap seolah tak ingin lagi melihat Arsen yang terus berada di sampingnya sepanjang hari. Aturan rumah sakit tak Arsen penuhi. Dia hanya ingin terus berada di dekat Lily, meski istrinya itu tak bergerak, dan tak lagi bisa merengek manja padanya, tapi sesekali dia masih mengajak Lily berbicara. Arsen baru saja mengusir Thomas pergi, saat asistennya itu berkata dokter ingin bicara dengan pihak keluarga. ‘Sudah ada Papa dan Bunda.’ Begitu jawaban Arsen. Nada suaranya lemah, tak bersemangat. Bahkan makanan yang dibawakan oleh Thomas hanya dia geletakkan begitu saja di kursi tunggu depan ICU. “Mau tidur berapa lama lagi? Apa kamu
Di rumah sakit. Dokter baru saja mengecek kondisi Lily yang masih dirawat di ruangan khusus karena masih dalam masa kritis.Arsen mengikuti Dokter berjalan keluar, karena Dokter berkata ingin menyampaikan sesuatu padanya. “Ini sudah hampir satu kali dua puluh empat jam, jadi Anda harus bersiap menerima apa pun kondisi pasien nantinya,” kata dokter sambil mengalungkan stetoskop di leher. “Apa mungkin istriku bisa dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?” tanya Arsen lalu menoleh ke pintu ruang ICU. “Pak, mau di rumah sakit mana pun, kalau pasien mengalami koma, tidak ada yang bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu reaksi tubuh dari pasien itu sendiri,” jawab dokter menjelaskan, “untuk obat-obatan, rumah sakit bisa menyediakan obat-obatan standar internasional seperti di rumah sakit luar negeri jika keluarga berkehendak.” “Tapi, ini hanya saran saya sebagai dokter. Jika Anda tidak percaya, Anda bisa menghubungi dokter atau rumah sakit lain untuk memastikan,” imbuh dokter itu.
Hari Berikutnya Di kafe. Dini sedang makan siang bersama Juna. Mereka duduk berhadapan, tetapi Dini hanya mengaduk-aduk makanannya. Sejak kemarin Dini tidak bisa tenang, dia terus mencemaskan keadaan Lily. Dini meletakkan sendoknya, tanpa menatap ke arah Juna dia membuka pembicaraan setelah sejak tadi hanya diam. “Apa Lily baik-baik saja? Sampai sekarang tidak ada kabar, aku sudah menghubungi ponsel Lily dan Pak Thomas, tapi tetap saja nihil." “Tunggu saja,” balas Juna dengan enteng, “lagi pula Pak Arsen orang hebat, dia pasti akan segera menemukan keberadaan Lily,” imbuh Juna. Senyum samar nyaris tak terlihat terbit di wajah Juna, dalam hatinya berkata, ‘Beberapa hari lagi pasti akan ada berita penemuan mayat wanita hamil dan identitasnya adalah Lily yang akan langsung menggemparkan seluruh negara.’ “Lily pasti diculik, aku yakin itu karena kita semua tiba-tiba pingsan dan Lily menghilang,” ucap Dini. Suaranya sedikit bergetar. “Apalagi Pak Arsen begitu bingung dan
Thomas tampak berdiri bersama perawat di depan ruang ICU. Perawat itu baru saja berkata bahwa sebaiknya Arsen tidak terlalu lama berada di dalam, karena ada jam-jam tertentu untuk keluarga pasien membesuk.“Maaf, tapi aku mohon biarkan saja dia,” kata Thomas. “Aku takut kalau …. “Kata-kata yang ingin Thomas ucapkan terasa tersangkut di tenggorokan. Dia menelah ludah kemudian mengalihkan topik di kepala dengan berkata,”Aku ingin menanyakan ini, tapi apa benar kondisi Nona Lily seburuk itu?”Thomas cemas saat melihat raut wajah si perawat berubah.“Sebenarnya…. “ Perawat itu tampak ragu-ragu. “Sebenarnya saya tidak boleh mengatakan ini, tapi kondisi pasien memang sangat buruk. Dokter awalnya sangat pesimis, obat yang diminum pasien benar-benar keras, memang tidak sampai merusak rahim, tapi …”“Tapi apa?” tanya Thomas penasaran. “Katakan saja semuanya, aku tidak akan membocorkan apa-apa.”Perawat itu mengangguk.“Karena obat itu pasien kemungkinan akan susah mendapatkan anak lagi,” ucapn
Arsen merasakan kakinya tiba-tiba lemas, dia limbung lantas menoleh Thomas yang memegang lengannya untuk menopang. "Satu hal lagi, Istri Anda menelan sejenis obat keras, ada kandungan misoprostol dengan dosis tinggi, inilah penyebab pendarahan hebat, meskipun sudah siap lahir, tapi bayi Anda juga harus mendapatkan perawatan intensif." Arsen tak bisa berkata-kata. Dia hanya diam lalu Adhitama yang melanjutkan pembicaraan itu dengan dokter. Beberapa saat kemudian, perawat membawa keluar box inkubator berisi bayi yang baru saja Lily lahirkan. Bayi mungil berbalut selimut itu terlihat tidur dengan alat bantu pernapasan terpasang di hidung.“Pak, putri Anda.”Arsen memalingkan muka saat Thomas memberitahu. Dia hanya berdiri diam mendengarkan ucapan perawat yang berkata bahwa bayi itu harus mendapatkan perawatan di NICU.Risha memandang Arsen, dia mengusap matanya yang sembab dan tahu apa yang mungkin sedang dipikirkan oleh sang menantu. Risha lantas melangkah agar bisa melihat lebih d
Arsen terdiam, kepalanya terasa seperti dihantam batu besar. Dia menggeleng lagi. “Kalian tenaga medis dan tugas kalian menyelamatkan istri dan anakku, bagaimana bisa kalian malah memberiku pilihan?!” Suara Arsen begitu lantang, tatapan matanya penuh kesedihan berbalut ketakutan yang begitu kentara. “Kondisi istri Anda benar-benar buruk, Pak. Saya memahami perasaan Anda, tapi sekarang kita benar-benar harus membuat pilihan,” ucap dokter dengan tatapan iba pada Arsen yang frustasi. Arsen menggeleng kuat, suaranya tersekat di tenggorokan dengan bibir kelu yang membuat kata-kata hilang dari lidahnya. “Anda bisa masuk dan melihat kondisi istri Anda, pasien masih sadar," ucap dokter agar Arsen bisa segera membuat keputusan. Tanpa bicara lagi, Arsen segera masuk ke ruang tindakan begitu dokter membuka jalan untuknya. Langkahnya terseret, tatapan matanya langsung tertuju ke ranjang pesakitan yang penuh dengan bercak darah dan beberapa tenaga medis yang menunggu di sana. Arsen