Di perkemahan. Setelah Arsen menarik Lily pergi tadi, suasana di perkemahan menjadi hening sesaat. Semua mata tertuju pada Thomas seolah menuntut penjelasan soal rumor mengenai hubungan CEO mereka dengan putri tunggal keluarga Mahesa. "Kenapa Pak Arsen menarik tangan Lily?" Seorang karyawan memberanikan diri bertanya, memecah keheningan. Thomas terkesiap. Ia harus memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. "Seperti yang dikatakan Pak Arsen tadi," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan, "ARS dan Mahesa Group akan bekerja sama. Jika terjadi sesuatu pada putri tunggal Adhitama Mahesa, apa yang akan dilakukan Pak Adhitama? Beliau pasti menuntut ARS!" Semua orang mengangguk-angguk, mengerti. Benar juga, pasti ada keputusan bisnis di antara dua Perusahaan itu. Mereka mulai membubarkan diri, kembali ke kegiatan masing-masing. Namun, Juna tak beranjak. Ia menghadang langkah Thomas. "Lily, dia akan baik-baik saja, ‘kan?" Ada nada khawatir dalam suaranya. "Tidak perlu khawatir,"
Arsen terperanjat dan terdiam di tempat duduk saat melihat Lily tiba-tiba berlari ke kamar mandi. Ia kemudian bangkit dari duduknya menyusul Lily dan berhenti di depan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Hening. Arsen tak mendengar suara apa pun dari dalam. Apa anak itu baik-baik saja? “Kamu kenapa?” tanya Arsen lalu mengetuk pintu kamar mandi. Lama tak ada jawaban. Arsen mulai khawatir. Ia mengetuk lagi lebih keras. "Aku kedatangan tamu!" Akhirnya, Lily berteriak dari dalam. Dahi Arsen berkerut. Tamu? Ia melongok ke arah pintu kamar untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana. "Tamu? Siapa?" tanyanya, bingung. Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Kepala Lily menyembul dari balik pintu. "Tamu bulanan. Aku lupa mengantisipasinya," katanya dengan wajahnya yang memerah. Arsen membeku. Situasi macam apa ini? "Maksudku ... bisakah kamu membelikan ... pembalut?" Suara Lily terdengar sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Tetapi, senyum malu-malu terukir di wajahny
Di vila.Hujan deras tiba-tiba mengguyur vila, Thomas, di salah satu sudut vila, sedang berbicara dengan Arsen melalui telepon, memberikan laporan tentang situasi terkini di perkemahan."Semua staf sudah kembali ke vila karena hujan deras, Pak,” lapor Thomas. “Anda tidak perlu khawatir, saya sudah memberikan alasan yang masuk akal tentang kepergian Anda dan Nona Lily.”Di seberang panggilan Arsen menjawab, "Lily akan pulang bersamaku. Kalau ada yang bertanya, katakan saja dia dijemput orang suruhan papanya.”Thomas mengangguk, meskipun Arsen tak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Oh ya, apa Anda sudah melihat rekaman video yang saya kirim?" tanyanya, memastikan Arsen mengetahui detail kejadian tadi."Ya.""Kemungkinan besar Nona Lily dan Sonia bertengkar lagi.” Thomas menjeda ucapannya sejenak, sebelum melanjutkan dengan hati-hati. “Saya menduga Sonia meninggalkan Nona Lily sendirian di hutan.”Hening sejenak. Arsen tak menanggapi."Menurut saya, sebaiknya Anda meminta klarifikasi dari Soni
Esok harinya. Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah gorden samar-samar menerangi kamar hotel.Lily membuka mata dan terkesiap mendapati Arsen masih terlelap di sampingnya.Jantung Lily berdebar kencang. Dengan perlahan ia menoleh lalu menatap wajah Arsen yang tenang dalam tidurnya. Senyum tipis terukir di bibirnya.‘Biasanya dia sudah bangun lalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, sekarang dia terlihat seperti bayi,’ batin Lily.Senyumnya melebar. Ia terus mengamati Arsen, terpaku pada ketampanan pria itu.Mata Arsen perlahan terbuka.Lily tersentak. Buru-buru ia memejamkan matanya lagi, berpura-pura tidur.Namun, terlambat. Arsen sudah melihatnya."Hari ini, kamu tidak perlu kembali ke vila," kata Arsen seraya bangkit perlahan dari tempat tidur. Suaranya terdengar serak khas seseorang yang baru bangun tidur.Mata Lily membelalak. Pipinya memerah malu karena ketahuan. ‘Kenapa aku jadi bodoh begini?’"Ke ... kenapa tidak usah kembali?" tanyanya bingung dan berusaha untuk men
Mereka tiba di depan sekolah TK Lily. Mereka hanya duduk di dalam mobil, tak ada niatan turun dari mobil dan masuk ke sekolah itu. Lily menghela napas panjang, menatap bangunan sekolahnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mengenang masa lalu. “Dulu, waktu TK, aku punya teman dekat. Tapi, karena aku sering sakit, Bunda harus membawaku pindah ke Jakarta untuk berobat. Kami pun berpisah,” cerita Lily, tanpa diminta. “Sakit apa?” tanya Arsen. “Dulu aku belum tahu. Aku hanya ingat sering mimisan. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter selalu mengambil darahku, menusukku dengan jarum besar. Itu mengerikan jika diingat,” jawab Lily, bergidik ngeri. “Setelah itu, baru aku tahu. Aku diduga mengidap leukemia.” “Apa?” Arsen terkejut, menatap Lily tak percaya. Lily menoleh pada Arsen. “Tapi, aku baik-baik saja. Kata Bunda, itu hanya akal-akalan Kakek Buyut. Dia membayar dokter untuk berbohong.” Dahi Arsen berkerut. Kenapa Kakek Buyut Lily melakukan itu? “Kenapa harus berbohong? Kesehat
Lily tak menyangka Arsen akan menanyakan hal itu. Ia jadi salah tingkah, tak tahu harus menjawab apa.Lily kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menutupi kegugupannya. "Itu ... karena aku merasa kalau ... kamu seperti orang asing."Arsen tertegun. Dahi Arsen berkerut samar ketika perasaan tidak senang tiba-tiba muncul di hatinya setelah mendengar ucapan Lily barusan.Ia menatap Lily yang asyik makan, setelah menghela kecil lalu bertanya, "Apa sekarang aku masih terasa asing bagimu?"Lily mengulum bibirnya, menjilat sisa es krim di sana, lalu menatap Arsen. "Sekarang … aku merasa kamu lebih seperti kakakku." Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Karena aku yakin kamu juga menganggapku seperti adik, atau mungkin malah keponakanmu?"Namun, senyum itu lenyap seketika.Tiba-tiba ada rasa sakit yang aneh di dadanya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Ada apa dengannya?Lily menggeleng kecil, berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Arsen ingin menangg
Arsen mengemudikan mobil tanpa banyak bicara, sesekali melirik Lily yang duduk di sampingnya. Jari-jari Lily tak lepas dari liontin kalung yang kini melingkar apik di lehernya. Arsen mengalihkan pandangannya ke kaca spion samping, pura-pura mengecek kendaraan di belakang. Meskipun sebenarnya, ia sedang memikirkan jawaban Lily tadi. "Kalung ini ... dari Kak Audrey. Pengawalku dulu." Lily menjawab jujur pertanyaannya, seolah tidak ada lagi rahasia yang perlu dia sembunyikan. Arsen larut dalam ingatan, hingga suara Lily menyadarkannya. "Sekarang kita mau ke mana? Apa mau kembali ke hotel?" Arsen menoleh, lalu menjawab, "Katakan saja jika ada tempat yang ingin kamu datangi lagi, sebelum kita benar-benar kembali ke hotel." Lily terdiam sejenak, berpikir. Lalu, senyum mengembang di wajahnya. "Aku ingin membeli oleh-oleh untuk Bunda. Bunda pasti senang kalau aku bawakan makanan khas Jogja. Bunda juga sudah lama tidak ke Jogja." “Jadi, setelah dari sini, kamu akan langsung menemui Bund
Lily tak begitu mendengar ucapan Arsen. Ia menoleh, namun tak menangkap maksudnya. "Ada apa?" tanyanya. Ia melihat ke arah pandang Arsen. Seketika, Lily salah tingkah. ‘Apa Arsen melihatku dan aktor itu saling pandang? Apa dia … cemburu?’ Lily menggigit sedotan minumannya. ‘Tidak mungkin,’ batinnya. ‘Mana mungkin pria sedingin balok es ini punya perasaan padaku?’ "Kalau sudah selesai, ayo kembali ke hotel. Aku lelah," kata Arsen sambil menghentakkan gelasnya ke meja. Lily tersentak, menatap Arsen yang juga sedang menatapnya. "Apa … kamu baik-baik saja?" tanya Lily, melihat wajah Arsen yang memerah. "Berikan kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir." Lily buru-buru meletakkan minumannya saat Arsen bangkit berdiri. Namun, Arsen tak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya, memberikan kunci mobil pada Lily, tanpa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, mereka tak bicara. Lily fokus menyetir, sementara Arsen duduk di sampingnya, tangan terlipat di depan d
Lily duduk di kursinya, menatap datar Sherly yang berdiri gemetar. "Tutup pintunya." Lily memberi perintah, meski begitu dia tidak menyuruh Sherly menutup gorden ruangan direktur yang berdinding kaca. Lily sengaja melakukan itu agar semua staf bisa melihat apa yang dia dan Sherly lakukan terutama Sonia. "Duduk!" titah Lily seraya menunjuk kursi dengan jarinya. Lily lalu meraih lembaran perjanjian yang sudah dia buat. Melihat mana yang untuk Sherly dan Sonia. Lily tidak berbasa-basi. Dia langsung menyodorkan kertas milik Sherly. "Aku tahu kamu suka menjilat orang demi keuntunganmu. Pun kepada Sonia, aku tahu kamu tidak sepenuhnya setuju dengan perbuatannya," ucap Lily. Sherly hanya diam, matanya terus menatap ke arah dokumen di hadapannya. "Menjebakku saat berkemah, mengunciku di kamar mandi saat pemilihan akhir direktur, bukankah semua itu Sonia yang menyuruhmu?" Lily bertanya dengan santai. Lily melihat Sherly gemetar lalu meminta wanita itu membalik lembaran ber
Arsen duduk menyandarkan punggungnya ke sofa sambil bersedekap. Dia memandang dingin Lily dan Thomas yang duduk tepat di depannya. Percuma dia sempat meminta Lily pindah tadi. Sekarang istrinya itu malah duduk bersisian dengan Thomas. Atas izin Arsen tadi, Lily meminta Thomas membantunya membuat sebuah surat perjanjian untuk Sonia dan Sherly. Lily memandang layar laptop di mana Thomas sedang membantunya menyusun isi perjanjian itu. Lily menjelaskan apa yang dia mau agar Thomas bisa segera mengetiknya. "Apa itu tidak terlalu kejam? Bagaimana kalau mereka nantinya malah jadi beban masyarakat?" Arsen membuang napas sambil memejamkan matanya sejenak melihat Thomas menoleh pada Lily saat bicara. Dia tidak suka melihat ada pria yang menatap istrinya sedekat itu. Thomas pasti lupa aturan tiga detik yang Arsen berikan. "Biar saja! Lagi pula aku memberi mereka pilihan, bukankah aku masih baik?" balas Lily. "Ayo lanjutkan lagi!" Lily meraih tangan Thomas lalu meletakkanny
Lily tidak berbohong menerima pesan dari Arsen hanya untuk menghindari Sonia dan Sherly.Dia benar-benar mendapat pesan dari Arsen yang memintanya datang ke ruangan pria itu. Lily pergi dengan gaya angkuh. Meskipun bukan sifatnya, tapi Lily harus melakukannya di depan Sonia dan Sherly. Lily tidak ingin dianggap enteng oleh dua wanita itu. Setelah Lily pergi, Sonia dan Sherly terlihat saling tatap. Sherly kesal karena Sonia sudah membuatnya terluka, tapi tidak mau meminta maaf. Dia mengancam Sonia, kalau sampai Lily melaporkannya ke polisi. Maka dia juga akan melaporkan perbuatan Sonia ke polisi. Sherly membuang muka lalu kembali ke meja kerjanya. Dia bahkan tidak sudi bicara lagi pada Sonia. *** Lily tiba di ruangan Arsen. Dia tidak melihat Thomas di meja kerjanya, hingga dia pun langsung mendekat ke arah pintu. Lily mengetuk pintu ruangan Arsen dan terdengar suara suaminya itu mempersilahkannya masuk. "Anda memanggil saya Pak?" tanya Lily. Thomas yang sedang du
Lily melihat tatapan beberapa staff yang melihatnya tampak berbeda, meski begitu Lily mencoba percaya diri karena ini sudah resiko yang harus dihadapinya. Lily naik bersama Arsen, dia turun di divisi pemasaran dan langsung disambut oleh Dini. “Kangennya.” Dini langsung memeluk Lily erat. “Bagaimana kabarmu? Apa kamu sudah sehat?” tanya Dini memastikan lalu dia melepas pelukannya pada Lily. “Aku sudah sehat, kalau tidak, aku tidak akan berangkat ke kantor,” balas Lily. Dini tertawa kecil. Dia lega melihat Lily baik-baik saja. Saat keduanya sedang bicara, staff HRD datang dan meminta Lily untuk pergi ke ruang HRD. 'Sepagi ini?' Lily bergumam dalam hati. Lily lalu pamit sebentar pada Dini untuk segera menghadap kepala HRD. Saat masuk ke ruangan itu, Lily melihat kepala HRD yang tersenyum canggung seperti sungkan padanya. “Karena kamu sudah terpilih menjadi direktur pemasaran, jadi ini kontrak baru untukmu. Bacalah dulu, barangkali ada yang tidak sesuai,” kata kepala HR
Lily diam tak menjawab Arsen, hingga akhirnya menggeleng. "Aku percaya, dia pasti baik-baik saja 'kan?" Lily bertanya seraya menatap Arsen. Akan tetapi pria itu hanya diam memandangnya. Arsen tampak meredam perasaannya lalu berkata," Sebaiknya tidak usah terlalu memikirkannya, kamu fokus saja dengan kesehatanmu dan calon anak kita." Lily mengangguk kemudian menunduk. Dia kaget saat Arsen meraih tangannya lalu menautkan jemari mereka. Lily tersenyum simpul, mengikuti langkah Arsen yang menggandengnya berjalan menuju kamar. ** Hari berikutnya Lily senang karena Arsen mengizinkannya pergi bekerja. Meski begitu masih ada sedikit ketakutan di hati Lily. Dia melamun di depan meja rias. Bagaimana menjawab dan menghadapi pandangan orang-orang padanya nanti? Bisakah dia percaya diri dan mengabaikan semua hal buruk yang orang katakan? Lily tanpa sadar meletakkan lipstiknya secara kasar ke meja rias. Dia kaget, lalu menatap cermin dan mendapati Arsen sedang menatap pad
Thomas sangat terkejut. Dia menatap Arsen yang kembali diam dan malah sibuk dengan berkas lain di meja. “Lalu, kenapa Anda ….” Thomas menjeda ucapannya karena Arsen sudah lebih dulu bicara lagi. “Aku ingin tahu, sejauh apa istriku akan terus berbohong memintaku untuk mencarikan pengawalnya itu.” Thomas diam. Dia menatap Arsen yang sudah lama dia kenal, bahkan dulu dia sempat iri karena ayahnya lebih peduli ke pria itu ketimbang dirinya. "Tapi dalam satu hubungan apalagi pernikahan, kejujuran dan keterbukaan adalah kunci." Thomas masih menatap Arsen yang sibuk dengan berkas. Dia berani bicara seperti ini karena tahu Arsen tidak akan marah. "Aku hanya menguji istriku," balas Arsen. "Lalu bagaimana kalau dia juga menguji Anda? Saya hanya tidak ingin sampai hubungan Anda dan Nona Lily retak karena kesalahpahaman." Thomas bicara dengan nada serius. Dia agak gemetar juga melihat Arsen menutup berkas lalu meletakkannya ke tumpukan berkas lain di atas meja dengan sedikit k
Risha menoleh mendengar suara pintu mobil yang tertutup di belakangnya. Dia sangat terkejut melihat Monica juga datang ke rumah Arsen.Risha melihat Monica berjalan menghampirinya, sampai wanita itu berdiri di hadapannya. “Ternyata benar kalau Lily sudah menikah dengan Arsen,” kata Monica, “jadi, apa selama ini kalian sudah membohongi keluargaku? Jangan-jangan perselingkuhan Bryan hanya alasan yang dibuat-buat untuk memutus pertunangan saja.” Risha terkejut mendengar tuduhan Monica. “Kenapa kamu bicara seperti itu?” tanya Risha dengan ekspresi tak percaya.“Sebaiknya introspeksi lebih dulu sebelum menuduh yang tidak-tidak.”Dia menatap Monica dengan tatapan kesal lalu kembali bicara, “pertama, iya memang benar kalau Lily sudah menikah dengan Arsen, bahkan sekarang Lily sedang hamil.” Monica sangat syok mendengarnya. “Kedua, tidak ada yang berbohong. Kami hanya tidak mau berkoar-koar memberitahu ke semua orang seperti orang gila kalau Lily sudah menikah, dan malah menimbulkan kega
Hari itu Lily diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukannya senang. Lily tampak murung. Dia sama sekali tak bicara pada Arsen sejak masuk mobil. Lily terus menatap keluar jendela, dia memikirkan pesan Bryan yang membuatnya terbebani. Ya. Ibunda Arsen. Lily memang tidak pernah mendengar sedikitpun tentang wanita yang melahirkan suaminya itu. Bahkan, namanya pun tidak pernah Arsen sebut. "Ada masalah?" Arsen menyentuh tangan Lily saat mobilnya berhenti di lampu merah. Arsen mengamati Lily sejak keluar dari rumah sakit. Dia merasa ada yang aneh tapi tidak berpikir macam-macam. Dokter bilang wanita hamil sering mengalami perubahan suasana hati yang cukup drastis. Mungkin Lily sedang mengalami hal itu. "Ada yang kamu inginkan? Makanan? Kita beli sebelum sampai rumah." Arsen menawari Lily. Dia melepas genggaman tangannya dari Lily saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. 'Aku ingin kamu menceritakan tentang keluargamu.' Lily menoleh Arsen.
Beberapa saat kemudian dokter akhirnya datang ke kamar rawat Lily membawa mesin USG seperti apa yang Arsen minta. Dokter tampak sungkan, seumur hidupnya berkarir menjadi dokter kandungan, tidak pernah sekalipun dia merasa tertekan seperti ini saat melakukan pemeriksaan. Dokter itu mulai melakukan pemeriksaan kandungan dengan menyentuhkan alat USG di perut bagian bawah Lily. Tangannya menggeser alat itu pelan dengan tatapan tertuju pada monitor. “Janinnya normal sesuai usianya, ukuran panjang dan beratnya juga sesuai,” kata dokter menjelaskan. Arsen dan yang lain memerhatikan monitor. Mereka melihat bayangan kecil berbentuk seperti kacang di lingkaran besar yang terdapat di sana. “Di usia kandungan yang masih sangat muda, sebaiknya hindari stres dan jangan melakukan pekerjaan terlalu berat,” kata dokter memberi penjelasan. Dokter juga memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh Lily lakukan selama kehamilan trimester pertama ini. “Bagaimana dengan pusing yang membuatnya s