1. Lamaran Dadakan"Bagaimana, Sofia, apa kamu menerima lamaran kami?"Sofia tidak tahu harus menjawab apa karena mendapat lamaran di hari kepulangannya ke tanah air tercinta. Terlebih, lamaran tersebut diajukan oleh sosok yang punya andil besar di hidupnya.Mr. Amstrong, pria bule yang memutuskan untuk menetap di Indonesia beberapa tahun silam, berusia akhir 50-an. Pria itu, mengulurkan tangan, memberikan bantuan kepada ibunya yang lumpuh kala usia Sofia masih 14 tahun. Di usianya yang masih muda, kecil, dan rapuh, Sofia sudah harus mengurus ibunya yang sudah tidak bisa apa-apa lagi bahkan untuk sekedar buang air kecil, ibunya membutuhkan bantuan orang lain.Sedang ayahnya, Doni Setiawan, pergi entah ke mana usai meninggalkan beberapa masalah dan hutang piutang. pria yang mempunyai andil besar atas lahirnya Sofia ke dunia ini. Tapi tidak cukup memiliki andil dalam perjalanan hidup Sofia. Yang Sofia tahu, Ayahnya tidak pernah lepas dari masalah.Setelah semua kebaikan yang ditawarkan
"Pergi! Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan, Pelacur!" Terdengar gema kemarahan dari sosok pria yang tengah duduk di atas kursi roda. Tatapannya dingin, sedingin kabut di musim salju. Penampilannya berantakan dengan hanya mengenakan jubah mandi di tubuhnya yang sudah tidak terpasang dengan benar. Dan sialnya tetap terlihat mengagumkan meski tubuhnya tidak bisa dikatakan indah. Tetesan air mengalir dari rambutnya yang mulai gondrong menambah kesan maskulin pada pria berwajah bak dewa tersebut.Aland Amsrtong, pria yang dulunya kekar mempesona, kini hanya bisa duduk tidak berdaya di atas kursi roda. Ya, walau kelumpuhannya tidak memudarkan kadar ketampanannya sama sekali. Hanya saja dengan kondisinya yang sekarang, ia bahkan tidak bisa menyelamatkan diri saat para perawat yang menjaganya berlaku kurang ajar padanya dengan cara melecehkannya. Aland tidak bisa melindungi dirinya, ia merasa malu, jijik dan juga merasa hina terhadap dirinya sendiri.Aland, pebisnis hebat di usianya y
Sofia spontan mengembuskan napas begitu ia keluar dari dalam kamar Aland. Tubuhnya bersandar di daun pintu sambil memegangi dadanya. Degupannya begitu terasa di tangan. Sumpah demi apa pun, dia begitu gugup, panik, takut dan juga iba. Aland begitu berbeda, sangat berbeda dari yang ada di dalam ingatannya. Yang sama, hanya ketampanannya, tidak berubah sama sekali. Bahkan Sofia menganggap bahwa Aland semakin menawan dengan tatapan bengis dan aura yang menakutkan itu. Konyol emang."Apa dia membuatmu takut?"Sofia berjengkit kaget, "Uncle!!" Memekik dengan suara tertahan."Sepertinya Aland memang membuatmu takut." Mr. Amstrong terlihat kecewa. Jika Sofia takut begini sangat memungkinkan bahwa Sofia akan menolak lamarannya untuk Aland.Sofia buru-buru menggelengkan kepala, "Tidak benar-benar membuatku takut, aku hanya kaget, terkejut dengan penampakannya. Dia... Hmmm... Aland sangat berbeda."Sofia tidak melihat lagi sisa-sisa kejenakaan di tatapan Aland. Dulu, mata itu sering menggoda da
Aland sudah bersiap hendak menyemburkan makian begitu mendengar pintu kamarnya dibuka lagi. Begitu melihat sahabatnya, Zoe, ia hanya mendengus, memalingkan wajah."Hei, Dude...""Kenapa kau lama sekali, aku hampir mati kedinginan.""Yang kulihat justru sebaliknya," Zoe sengaja memancing dan tepat sasaran. Aland mengapresiasi pancingannya itu dengan tatapan super maut andalannya."Aku bertemu Sofia di depan pintu kamar," Zoe tertawa, tidak terusik sama sekali dengan tatapan Aland yang mematikan."Tarik tirainya!" Aland memberi titah. Perintah yang tidak berarti apa-apa, karena Zoe hanya menanggapinya dengan tawa.Zoe melenggang santai menuju ruang ganti untuk mengambil pakaian bos yang merangkap sebagai sahabatnya itu."Zoe, kau tidak mendengarku?! Matikan juga lampunya! Zoe, sialan, Zoe... Kau ingin kupecat!"Zoe muncul membawa pakaian Aland. "Kau tahu apa yang dikatakan Sofia, Bung?""Aku tidak mau tahu! Tarik tirai dan padamkan lampunya!""Dia mengatakan bahwa kau tidak mungkin meme
"Dia terlihat menyedihkan, Ibu." Yang dimaksud Sofia adalah Aland. "Pria itu terlihat seperti singa yang kehilangan kuasanya. Aland benar-benar menderita kurang gizi.""Ya," sahut Ibu Rahayu dari seberang telepon. "Mr. Amstrong selalu mengatakan hal yang sama setiap kami bertemu. Apa dia mau bicara padamu. Biasanya dia menolak berbicara dengan siapa pun.""Dia bahkan memakiku," ucap Sofia sambil tertawa."Oh ya?" Ibu Rahayu ikut tertawa."Ibu, kau sungguh tidak keberatan aku harus mengabaikanmu lagi?""Kau tidak pernah mengabaikanku, Sayang. Tidak pernah sama sekali. Aland lebih membutuhkan bantuanmu. Ibu bisa menunggu dan Ibu akan baik-baik saja. Sementara Aland sudah sekarat. Sementara aku sedang menikmati hidupku dengan teman-temanku di sini." Yang dimaksud di sini adalah di panti sosial. Sejak dua tahun lalu, Ibu Rahayu memang memutuskan tinggal di panti sosial dimana Mr. Amstrong adalah donatur tetap di sana. Ibu Rahayu merasa lebih hidup karena di sana ia membantu menyiapkan ma
"Aku mendengar Aland berteriak."Sofia yang baru menutup pintu kamar pasien barunya berbalik, menatap wajah pria yang sudah tua itu mengkhawatirkan putranya."Ya, dia memakiku, Uncle."Seketika Sofia melihat helaan napas lega di wajah Mr. Amstrong."Biar kutebak bahwa kau baru saja mengumumkan akan menjadi perawatnya yang baru."Sofia mengangguk semangat, "Dan dia marah, memandangku tidak percaya. Uncle, aku membutuhkan gimnasium. Apakah kita bisa membuatnya di dekat kolam berenang. Beberapa alat olahraga diperlukan guna menunjung kesembuhannya.""Tentu saja bisa. Aku akan meminta Zoe menyiapkan semuanya.""Terima kasih, Uncle.""Apakah ada harapan?" Mr. Amstrong bertanya penuh harap. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Sarapan Aland juga harus diganti. Tidak akan ada kopi. Sofia akan memberikan daftarnya pada pelayan."Selalu ada harapan, Uncle." Sofia tersenyum hangat. "Paling cepat enam bulan, InsyaAllah, Aland akan bisa berjalan kembali."Mr. Amstrong tidak bisa menyembunyikan bin
Hawa masih dingin saat Sofia menurunkan kaki dari ranjang. Dia sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Sofia selalu bangun dengan segera, alasan kenapa dia bisa menjadi terapis handal, jika dibutuhkan pasien, dia selalu bersedia, sekalipun tengah malam, tidak akan ada jalan sempoyongan atau menguap sambil menggosok-gosok mata. Sofia selalu melakukan apa pun yang dibutuhkan dari dirinya.Ia mengayunkan kaki menuju toilet. Mandi dan mengenakan pakaian seefesien mungkin.Ia sudah siap untuk melakukan pekerjaannya dengan pasien yang ia ketahui cukup keras kepala.Sofia tersenyum saat memasuki kamar Aland setelah mengetuk dua kali."Selamat pagi," sapanya seriang mungkin. Kakinya berjalan menuju balkon, menyingkap tirai dengan satu kali tarikan. Cahaya matahari seketika memenuhi ruangan.Terdengar makian lirih dari arah ranjang. Aland berbaring telentang, kakinya sedikit canggung seolah pria itu mencoba menggerakkan tungkainya tadi malam.Sofia memperhatikan Aland membuka mata, pria itu berusa
"Dia sungguh menggerakkan tangannya?" Manik Mr. Amstrong berkaca-kaca. Ini kabar bagus, amat sangat bagus menurutnya. "Katakan jika bocah tengil itu sungguh bisa menggerakkan tangannya, Sofia?"Sofia tersenyum, ia sudah biasa menghadapi keluarga pasiennya yang langsung bersemangat begitu ada kemajuan pada diri pasien walau hanya setitik. "Uncle, dari awal, Aland mengatakan bahwa tangannya memang tidak mempunyai masalah. Hanya suka kebas dan terasa berat. Akhirnya ia memilih untuk tidak menggerakkan tangannya. Seperti yang Uncle katakan, Aland tidak mempunyai semangat untuk hidup, bunuh diri secara perlahan adalah misinya dan ia berpikir untuk melumpuhkan dirinya secara total. Cara yang dia lakukan mungkin hampir berhasil, nyatanya dia tidak menggunakan tangannya selama ini. Ini kali pertama dalam satu tahun terakhir, tangan itu kembali melakukan apa yang dia inginkan." Tidak seperti kakinya yang sudah lumpuh setelah hampir tiga tahun, nasib tangan Aland memburuk satu tahun terakhir