Kecelakaan mengerikan membuat Aland Amstrong mengalami kelumpuhan. Membuatnya kehilangan semangat hidup. Ia pesimistis akan bisa pulih kembali seperti semula sehingga menolak semua bentuk perawatan yang disarankan. Sofia Angelica, perempuan yang memiliki utang budi terhadap keluarga Amstrong. Pengabdian seumur hidup tidak akan mampu membalas kebaikan keluarga tersebut. Rela melakukan apa pun untuk keluarga Amstrong. Hanya saja, dilamar menjadi menantu dan dipercaya bisa membuat Aland pulih kembali jelas berbeda dengan pengorbanan yang ia maksud. Akankah Sofia menerima lamaran tersebut, mengabdikan diri pada pria yang memohon kematian setiap detiknya?
View More1. Lamaran Dadakan
"Bagaimana, Sofia, apa kamu menerima lamaran kami?"Sofia tidak tahu harus menjawab apa karena mendapat lamaran di hari kepulangannya ke tanah air tercinta. Terlebih, lamaran tersebut diajukan oleh sosok yang punya andil besar di hidupnya.Mr. Amstrong, pria bule yang memutuskan untuk menetap di Indonesia beberapa tahun silam, berusia akhir 50-an. Pria itu, mengulurkan tangan, memberikan bantuan kepada ibunya yang lumpuh kala usia Sofia masih 14 tahun. Di usianya yang masih muda, kecil, dan rapuh, Sofia sudah harus mengurus ibunya yang sudah tidak bisa apa-apa lagi bahkan untuk sekedar buang air kecil, ibunya membutuhkan bantuan orang lain.Sedang ayahnya, Doni Setiawan, pergi entah ke mana usai meninggalkan beberapa masalah dan hutang piutang. pria yang mempunyai andil besar atas lahirnya Sofia ke dunia ini. Tapi tidak cukup memiliki andil dalam perjalanan hidup Sofia. Yang Sofia tahu, Ayahnya tidak pernah lepas dari masalah.Setelah semua kebaikan yang ditawarkan pria itu kepadanya, jawaban apa yang harus ia berikan kepada Mr. Amstrong atas lamaran dadakan ini? Haruskah ia menerima atau menolak.Sofia terkekeh untuk menutupi rasa gugup dan tidak enaknya.“Uncle terdengar sedang melamarku untuk dijadikan sugar baby.”Mr. Amstrong tertawa mendengar kelakar Sofia. Tentu saja, kalimat Sofia tidak terjadi. Sebab, Mr. Amstrong melamarnya untuk Aland Amstrong, putra semata wayangnya yang sedang lumpuh.“Aku sudah tua, Nak. Pikiranku sekarang hanya dipenuhi oleh Aland.” Mata yang sudah penuh kerutan itu memancarkan kesedihan.Sofia tersenyum canggung. Pikirannya terlempar kembali kala pertama ia bertemu Aland. Saat itu, Aland berusia 26 tahun, baru keluar dari dalam toilet mengenakan jubah mandi sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil. Melintasi ruangan, berdiri di depan cermin besar, mengagumi pahatan wajahnya yang luar biasa indah.Aland memang dianugerahi rupa yang mampu membuat wanita enggan berpaling. Selain itu, ia juga dianugerahi sifat mudah menyesuaikan sikap. Ditambah lagi, rekening gendut menjadi modal penguat magnet bagi para gadis matre yang tidak pernah puas dengan dunia.Sofia harus akui, Aland memang sempurna untuk dirinya kala itu. Namun, yang membuat ingatannya mengakar soal pertemuan pertama mereka adalah reaksi Aland kala melihatnya tengah bergelantungan di dahan pohon mangga yang tengah berbuah.Sofia tiba-tiba tergelak."Apa yang membuatmu tertawa?" Pertanyaan Mr. Amstrong mengembalikannya ke masa kini. Untuk sesaat dia lupa bahwa di hadapannya ada Mr. Amstrong yang baru saja melamarnya."Aku teringat saat pertama kali kami bertemu, Uncle. Dia begitu marah karena aku mencuri mangganya.” Sofia tidak menutupi kenangan nostalgia dari Mr. Amstrong. “Sekarang, bagaimana rupanya? Apakah aku tetap jadi seekor monyet betina di matanya?"Mr. Amstrong ikut tertawa, "Tidak ada monyet secantik dirimu.""Oh, Uncle." Sofia tersipu malu."Jadi, bagaimana?" tanya Mr. Amstrong kembali pada topik utama mereka."Uncle, aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini … terlalu tiba-tiba.""Kamu tidak harus buru-buru menjawabnya," Mr. Amstrong tersenyum hangat. "Kamu juga tidak harus merasa tertekan dengan lamaran kami, Sofia. Uncle tidak memaksamu harus menerima lamaran ini. Semua keputusan kembali padamu. Tidak akan ada yang berubah, andai kau menolak lamaran ini. Kau tetap putriku," ucap pria tua itu dengan nada yang sangat menenangkan.Ya, Mr. Amstrong sudah menganggap Sofia seperti anak keduanya."Bagaimana dengan Aland?"Sofia perlu tahu pendapat pria itu sebelum memberi jawaban. Apalagi masa lalu Aland yang agaknya tidak terlalu mulus jika berurusan dengan hal pernikahan.3 tahun lalu, usai kecelakaan terjadi dan menyebabkan Aland lumpuh, sang istri meninggalkannya begitu saja. Ia yang dulu punya teman banyak pun, sekarang memilih mengurung diri dari dunia luar, ditemani sepi yang berkepanjangan."Aland?" Mr. Amstrong sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut."Uncle belum menanyakan hal ini padanya?" tebak Sofia. "Kurasa Aland juga tidak menyukai ide ini, Uncle."Sofia yakin itu. Sama seperti dirinya, Aland akan menganggap tawaran pernikahan ini adalah hal yang konyol dan gila. Bagaimana ceritanya dia dan Aland akan menikah? Aland jelas tidak menyukainya. Setidaknya, Aland tidak pernah menganggapnya sebagai wanita."Bagaimana jika kita mendengar keputusanmu dulu, Sofia? Setelah itu baru Uncle akan bertanya padanya.""Dan dia akan tertawa mengejekku.""Bisakah kusimpulkan bahwa kamu menerima lamaran ini, Sofia?""Oh, tidak... tidak... Bukan seperti itu, Uncle. Aku masih perlu waktu. Ini terlalu mengejutkan dan jujur kukatakan, Aland bukan tipeku, bukan suami yang kuimpikan. Maksudku..." Buru-buru ia meralat sebelum Mr. Amstrong salah sangka. "Bukan karena kondisinya, bukan begitu maksudku, Uncle.” Sofia menarik napas dalam dan menatap Mr. Amstrong sungguh-sungguh. “Ada banyak pertimbangan yang harus kupikirkan. Kuharap, kamu mengerti maksudku, Uncle.""Baiklah, kami menunggu kabar baik darimu, Nak.""Seingatku, ini tidak ada unsur paksaan."Mr. Amstrong tertawa, inilah yang ia sukai dari Sofia. Ketegasan dan keberanian wanita itu."Kamu benar, tapi aku sebagai seorang ayah, hanya mengutarakan keinginan terbesarku. Masalah kamu mau menerima atau tidak, sepenuhnya adalah hakmu. Kebahagiaanmu, hanya kamu yang tahu, Nak. Aku juga tidak ingin melihatmu sengsara, percayalah.""Akan kupikirkan.""Maafkan aku, sudah membebani pikiranmu di hari kepulanganmu. Harusnya, aku tidak terburu-buru dan membiarkanmu istirahat terlebih dahulu.""Bagiku sama saja. Lamaran ini disampaikan hari ini atau besok atau mungkin lusa, tetap berhasil membuatku terkejut, Uncle."Mr. Amstrong kembali tertawa, "Ya sudah, sebaiknya kamu istirahat. Aland belum tahu tentang kepulanganmu. Apakah kamu akan menjenguknya sekarang?""Kurasa, saat ini tidur lebih kubutuhkan, Uncle. Aland juga mungkin tidak ingin melihat wajahku yang lecek dan penuh minyak.""Kamu terlihat cantik, dia pasti pangling.""Aku meragukannya.""Berani bertaruh?" Tantang pria tua itu."Oh, Uncle, aku lelah sekali. Bolehkah aku kembali ke kamar. Aku merindukan ranjangku yang super empuk."Mr. Amstrong mengangguk, "Kita akan bertemu saat makan malam. Istirahatlah yang cukup."Sofia mengangguk dan segera berdiri dari kursi."Sofia..." Panggil Mr. Amstrong saat dirinya sudah hampir mencapai pintu. Sofia berbalik, menunggu Mr. Amstrong menyelesaikan kalimatnya."Aku berharap kau benar-benar mempertimbangkan lamaran ini.""Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments