Share

4. Aku Menolak

Aland sudah bersiap hendak menyemburkan makian begitu mendengar pintu kamarnya dibuka lagi. Begitu melihat sahabatnya, Zoe, ia hanya mendengus, memalingkan wajah.

"Hei, Dude..."

"Kenapa kau lama sekali, aku hampir mati kedinginan."

"Yang kulihat justru sebaliknya," Zoe sengaja memancing dan tepat sasaran. Aland mengapresiasi pancingannya itu dengan tatapan super maut andalannya.

"Aku bertemu Sofia di depan pintu kamar," Zoe tertawa, tidak terusik sama sekali dengan tatapan Aland yang mematikan.

"Tarik tirainya!" Aland memberi titah. Perintah yang tidak berarti apa-apa, karena Zoe hanya menanggapinya dengan tawa.

Zoe melenggang santai menuju ruang ganti untuk mengambil pakaian bos yang merangkap sebagai sahabatnya itu.

"Zoe, kau tidak mendengarku?! Matikan juga lampunya! Zoe, sialan, Zoe... Kau ingin kupecat!"

Zoe muncul membawa pakaian Aland. "Kau tahu apa yang dikatakan Sofia, Bung?"

"Aku tidak mau tahu! Tarik tirai dan padamkan lampunya!"

"Dia mengatakan bahwa kau tidak mungkin memecatku. Awalnya aku tidak berpikiran demikian. Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan, tapi setelah dipikir-pikir, Sofia ada benarnya. Jika memecatku, siapa yang akan membantumu mengenakan pakaian." Zoe kini berdiri di hadapan Aland yang menatapnya seperti singa kelaparan yang tidak berdaya.

Zoe mengabaikan tatapan tajam sedingin salju yang dilaserkan ke arahnya. Dengan santai Zoe melepaskan jubah Aland. Memasang pakaian pada tubuh kurus itu.

"Ck! Tubuhmu kering kerontang, Dude. Aku tidak percaya kau akan mampu bertahan hidup lebih lama lagi."

"Itulah yang kunantikan," Aland menjawab murung. Dia benar-benar putus asa. Tidak memiliki alasan untuk bertahan hidup. Tiga tahun, bukanlah waktu yang singkat.

Aland pria yang luar biasa. Dia pebisnis hebat. Bahkan dia merakit sendiri pesawat terbangnya. Bepergian sebagai pilot penguji untuk menerbangkan pesawat-pesawat rahasia milik pemerintah di luar negeri. Aland aktif dalam bidang olahraga. Dia mendaki gunung, menyelam laut dalam. Dia pria yang betah di darat, di laut dan di udara. Tapi sekarang, dia hanya bisa duduk di kursi roda dan hal itu membunuhnya.

Kecelakaan itu memporak-porandakan dunianya.

"Kau ingin berjalan-jalan?" Zoe memilih pura-pura tidak mendengar keputusasaan yang begitu kentara.

"Aku hanya ingin kau menutup tirainya. Itulah yang kubutuhkan."

"Aku tidak ingin berurusan dengan Sofia."

"Siapa dia?!" Aland kembali melayangkan tatapan membunuh. "Aku lah bossmu, aku yang harus kau dengarkan!"

"Aku akan meminta Sofia melakukannya. Kau butuh sesuatu?"

"Aku bersumpah akan membunuhmu, Zoe!"

"Aku akan meminta Monica mengantar secangkir kopi."

"Pergilah ke neraka!"

Rentetan makian terdengar, Zoe menulikan pendengaran. Tahun pertama menjalani hidup sebagai pria lumpuh, membuat Aland histeris dan selalu mengamuk, meluapkan amarah setiap detik. Namun, dua tahun terakhir ini, dia lebih banyak diam, kecuali saat berurusan dengan perawat. Ini pertama kalinya, Aland meluapkan amarahnya kepada Zoe.

Zoe tersenyum. Sepertinya kedatangan Sofia memang akan membuat hidup Aland kembali kacau.

Zoe menuruni tangga, berharap ia bisa bertemu Sofia sebelum ia kembali ke kantor. Keinginannya terkabul, di ruang utama Sofia sedang berbincang dengan Mr. Amstrong.

"Hai," Sofia menyapa dengan ramah.

"Duduklah bersama kami," Mr. Amstrong menawarkan. Zoe yang memang ingin berbincang dengan Sofia segera duduk tanpa diminta dua kali.

Sofia menuangkan kopi untuknya.

"Terima kasih," ucap Zoe seraya membawa cangkir kopi ke mulutnya.

"Apa dia masih berteriak, menyebut ingin membunuhku?"

Zoe tergelak, hampir-hampir tersedak.

"Dia memintaku ke neraka. Menurutmu, mana yang lebih buruk?"

Sofia tertawa kecil, "Dua-duanya tidak ada yang baik. Aland pengumpat yang buruk."

"Kau sudah membuat keputusanmu, Sofia?" Mr. Amstrong meski mengatakan tidak akan memaksa Sofia atas permintaanya, tetap saja berusaha mendesak Sofia untuk memberi keputusan.

Sofia sadar betul bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda waktu untuk memberi jawaban.

"Apa jawabanku akan mempengaruhi kadar rasa sayangmu padaku, Uncle?"

"Tentu saja tidak," Mr. Amsrtong menjawab bijak, walau sorot matanya menyiratkan harapan yang begitu besar.

Sofia mengutuk dirinya karena tidak bisa memenuhi keinginan pria baik itu. Tapi, dia juga memiliki prinsip dalam hidup yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Pernikahan bukan sesuatu yang mudah. Pernikahan adalah babak awal kehidupan baru yang penuh lika liku yang menguji iman. Dan sepertinya dia memang tidak akan bisa menikah.

"Maaf, Uncle, aku tidak bisa menerima lamaran ini."

Mr. Amstrong menarik napas panjang. Sementara, Zoe yang menyimak dari tadi juga terkejut dengan penolakan tegas Sofia.

"Tapi aku tetap akan merawatnya, Uncle." Janji Sofia. Ucapannya itu berhasil membuat manik Mr. Amstrong berbinar. Terlihat secercah harapan di sana dan Sofia tidak akan sanggap lagi mematahkan harapan tersebut.

"Aku akan menjadi terapisnya." Ya, Sofia seorang terapis fisik. Pekerjaan yang ia ambil dengan harapan bisa membantu ibunya untuk pulih. Kepulangannya, semata ingin merawat ibunya. Bukan untuk menjadi menantu rumah ini.

Mr. Amstrong lah yang membiayai semua pelatihan yang ia dapatkan. Dia cukup handal dalam bidang ini. Rasanya tidak adil jika dia mengabaikan Aland begitu saja mengingat pencapaiannya tidak lepas dari campur tangan Mr. Amstrong.

"Terima kasih, Nak. Kutahu ini akan sulit bagimu mengingat dia sangat keras kepala. Walau sebenarnya aku masih berharap kau menerima lamaranku. Mungkin dengan menjadi istrinya, kau tidak perlu menjaga batasanmu. Kau memiliki kuasa penuh atas dirinya." Mr. Amstrong masih mencoba peruntungannya dengan mengemukakan alasan yang terdengar logis yang lebih masuk akal. Tapi alasan hanya lah sebuah alasan. Ada makna sebenarnya di balik ucapan itu. Sofia tahu kemana arahnya. Dan hanya Mr. Amstrong dan dirinya yang tahu.

Sofia tersenyum kecil. "Aku bekerja cukup profesional, Uncle. Pasienku bukan hanya terdiri dari wanita saja. Ada pria dan juga anak-anak. Pria dewasa, remaja, aku menangani mereka dengan cukup baik."

Mr. Amstrong menatap manik Sofia dengan hangat juga prihatin. Zoe menangkap sinyal itu. Keningnya berkerut bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang disembunyikan keduanya. Zoe menyanggah pemikirannya itu. Memangnya apa yang bisa disembunyikan Mr. Amstrong dan Sofia?

"Wow! Benarkah ini Sofia si pemanjat tebing?" Zoe memutus aksi tatapan penuh makna keduanya.

"Pemanjat mangga, Zoe." Sofia mengalihkan tatapannya pada pria itu. "Bagaimana tadi, seru tidak?"

"Apa?"

"Aksi pembangkangan yang kau lakukan terhadapnya."

Zoe tertawa, "Dia pasti akan memotong bonusku. Aku masih tidak percaya kau seorang terapis. Apakah Aland tahu?"

"Memangnya apa yang dia ketahui tentangku." Selorohnya setengah bergurau. "Well, aku butuh catatan medisnya untuk kupelajari."

"Aku akan membawanya untukmu." Janji Zoe.

"Bisakah aku mendapatkannya hari ini, Zoe."

"Tentu saja." Zoe berdiri. "Satu jam lagi kau akan mendapatkannya."

"Terima kasih."

"Sama-sama." Zoe berpamitan pada Mr. Amstrong. Catatan medis Aland ada padanya dan benda itu selalu dibawa setiap ia berdiskusi dengan terapis lain. Dan sejauh ini, para terapis itu gagal dan memilih mundur karena tidak tahan dengan lidah Aland yang tajam dan sikap keras kepala pria itu.

Akankah Sofia mampu menghadapi Aland. Zoe jelas tahu seperti apa kekuatan Aland. Meski pria itu lumpuh, jiwa kekuasaannya tidak luntur sama sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status