"Dia terlihat menyedihkan, Ibu." Yang dimaksud Sofia adalah Aland. "Pria itu terlihat seperti singa yang kehilangan kuasanya. Aland benar-benar menderita kurang gizi."
"Ya," sahut Ibu Rahayu dari seberang telepon. "Mr. Amstrong selalu mengatakan hal yang sama setiap kami bertemu. Apa dia mau bicara padamu. Biasanya dia menolak berbicara dengan siapa pun.""Dia bahkan memakiku," ucap Sofia sambil tertawa."Oh ya?" Ibu Rahayu ikut tertawa."Ibu, kau sungguh tidak keberatan aku harus mengabaikanmu lagi?""Kau tidak pernah mengabaikanku, Sayang. Tidak pernah sama sekali. Aland lebih membutuhkan bantuanmu. Ibu bisa menunggu dan Ibu akan baik-baik saja. Sementara Aland sudah sekarat. Sementara aku sedang menikmati hidupku dengan teman-temanku di sini."Yang dimaksud di sini adalah di panti sosial. Sejak dua tahun lalu, Ibu Rahayu memang memutuskan tinggal di panti sosial dimana Mr. Amstrong adalah donatur tetap di sana. Ibu Rahayu merasa lebih hidup karena di sana ia membantu menyiapkan makanan untuk para jompoSofia menatap amplop besar yang ada di atas meja. Amplop yang berisi catatan medis yang diberikan Zoe kepadanya. Sofia belum membukanya."Besok aku akan mengunjungimu. Aku merindukanmu, Ibu.""Ibu yang akan datang ke sana. Kau pasti sangat lelah.Setelah kesepakatan bahwa Ibu Rahayu lah yang akan datang, panggilan pun terputus."Mari kita lihat apa yang terjadi dengan tubuhnya." Sofia mengambil amplop, mengangkat hasil rontgen ke arah matahari dan dia meringis melihat kerusakan yang dialami tubuh seorang pria yang ia kenal tangguh dan kuat. Sungguh suatu mukjizat, Aland tidak tewas di tempat.Hasil rontgen yang diambil setiap kali operasi berjalan sukses memperlihatkan tulang-tulang yang mengalami kesembuhan lebih baik daripada seharusnya, sendi-sendi tulang kembali tersambung. Sofia mengeluarkan hasil rontgen terakhir menunjukkan detail menakjubkan. Entah dokter yang menangani Aland adalah seorang ahli bedah genius, atau ini sebuah keajaiban nyata. Sofia tidak melihat ada kendala fisik yang menghalangi Aland bisa berjalan kembali, saraf-saraf pria itu tidak rusak sepenuhnya.Lalu Sofia beralih pada catatan laporan yang diberikan dokter. Membaca dengan penuh khidmat, mempelajari setiap detail. Di sana tertulis bahwa kendalanya ada pada Aland sendiri sehingga tidak ada kemajuan berarti. Aland terlalu pesimis. Minimnya keinginannya untuk bangkit kembali. Aland terpuruk dan mengalami depresi. Sofia menyelesaikan pekerjaannya, berakhir pada kesimpulan bahwa Aland menolak bekerjasama untuk kesembuhannya sendiri.Well, ini akan menjadi tantangan tersendiri untuk Sofia dan gadis itu suka tantangan.Dulu, ia mengingat bahwa Aland sangat aktif, kondisi tubuh sempurna, tipe pria sejati penggemar tantangan. Sofia bisa merasakan betapa frustasinya pria itu yang kehidupannya kini hanya berada di seputar kursi roda. Gerakan terbatas yang seolah membunuh jiwa pria itu. Dan faktanya, Aland memang tidak peduli lagi apakah dia masih hidup atau sudah mati.Keesokan paginya, Sofia bangun tepat jam lima. Selalu seperti itu. Tanpa ada alarm sama sekali. Entah dia sedang begadang atau pun tidak. Tubuhnya akan tetap bangun dengan sendirinya di jam yang sama.Sofia melakukan kewajiban sebagai seorang hamba, lalu kemudian mengerjakan apa yang dibutuhkan tubuhnya demi kesehatannya. Berolahraga selama dua puluh menit. Jam enam, dia sudah siap untuk bertemu dengan Aland. Apakah pria itu sudah bangun? Jika tidak, ia harus mempersiapkan diri untuk mendapat makian dari Aland.Sofia masuk ke dalam kamar yang masih gelap gulita. Dia menyalakan lampu. Aland masih tidur. Sofia memperhatikan sosok tersebut. Terlihat menyedihkan. Kemarin Sofia tidak terlalu memperhatikan, ternyata Aland banyak kehilangan bobot tubuhnya dari yang ada di dalam ingatan Sofia.Sofia menebak, Aland kehilang bobot kurang lebih 25 kilo. Dulu, Aland memang ramping, tapi tubuhnya penuh otot. Tatapan Sofia beralih pada rambut hitam kelam yang terlihat kusam karena kekurangan gizi. Berantakan, sepertinya sudah lama tidak dipotong. Kulit Aland pucat, pipinya cekung.Sofia kini merasakan apa yang dirasakan Mr. Amstrong. Hatinya seperti tersayat sembilu. Kemana Aland yang dulu? Aland yang seakan bisa melakukan semuanya tanpa celah.Sofia merasakan batinnya retak, hancur menjadi ribuan kepingan yang rapuh. Sofia meyakinkan dirinya bahwa yang ia rasakan ini karena ikatan batin antara dirinya dengan pasien.Namun sebelumnya, dia tidak pernah merasakan seolah sedang sekarat. Ia tidak pernah merasakan amarah menggerogoti dirinya melihat ketidakadilan ini, ketidakberdayaan Aland. Penderitaan dan keputusasaan terpahat di wajah Aland.Bulu mata lebat nan lentik itu tiba-tiba bergerak. Perlahan mata itu terbuka. Sofia menunggu reaksi Aland. Untuk sesaat keduanya saling menatap. Sepertinya Aland sedang berusaha mengumpulkan nyawa dan kesadarannya."Kupikir ini mimpi buruk, ternyata kenyataan pahit." Suara pria itu serak dan berat. Khas bangun tidur."Selamat pagi," Sofia menyapa dengan senyum lebar."Matikan lampunya!" Aland memalingkan kepalanya, entah karena malu atau memang tidak sudi melihat Sofia. Sofia bertaruh alasannya adalah yang kedua."Lupakan tentang lampu. Saatnya bangun, pemalas!""Apa yang kau lakukan di kamarku?!""Mulai hari ini aku adalah terapismu." Sofia mengumumkan dengan nada riang yang menurutnya sedikit berlebihan.Berhasil, Aland mengembalikan tatapan ke arahnya dan senyum Sofia masih terpatri di kedua sudut bibirnya."Terapis?" Aland menatap tidak percaya. Lalu detik berikutnya, pria itu menyunggingkan bibir dengan gaya mencemooh. "Kau seorang terapis?""Itulah yang baru kuumumkan. Uncle secara khusus mempekerjakanku untuk menjadi terapismu. Jadi, kau harus bekerjasama."Aland kembali menggerakkan matanya memperhatikan Sofia. "Tidak perlu, aku tidak butuh terapis dan aku tidak ingin diganggu.""Karena aku sudah mengenalmu, kau pun demikian, jadi aku akan menanggalkan sikap formal diantara kita. Pertama, aku menyesal kau harus mengalami ini, Aland. Kedua, aku akan tetap di sini karena antara aku dan Mr. Amstrong sudah menyetujui kontrak dan aku tipikal orang yang menghormati sebuah perjanjian.""Kau kubebaskan dari kontak tersebut." Gumamnya seraya kembali memalingkan wajah."Aduh, kau baik sekali. Masalahnya, aku yang tidak akan membebaskanmu dari kontrak ini. Uncle lah yang memberi kuasa padaku. Kontraknya sah dan sulit dibatalkan.""Aku tidak ingin melihatmu di sekitarku!" Lagi, Aland menoleh ke arahnya dengan tatapan bengis. Jika dulu, mungkin Sofia akan langsung berlari melihat tatapan Aland.Pernah satu kejadian, Sofia tidak sengaja menumpahkan minuman ke baju Julia, mantan istri Aland. Julia beraksi berlebihan dan mengadukan hal itu pada Aland. Aland marah dan tatapannya sama persis saat seperti sekarang ini."Kau harus membiasakan diri." Sofia menyahut santai. "Karena mulai hari ini, aku akan menjadi bayanganmu. Aku akan tinggal di sini, di kamar sebelah.""Brengsek! Pergilah ke neraka, sialan!""Satu-satunya cara untuk bisa menyingkirkanku, adalah berjalan sendiri ke pintu dan dorong aku keluar. Pertanyaannya adalah apa kau mampu?" Sofia menunggu reaksi pria itu. Alanda hanya melayangkan tatapan sengit. "Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya untukmu, Aland."Sofia kembali menantikan reaksi Aland. Pria itu hanya diam."Berhenti lah melayangkan protes tidak berarti. Lihatlah dirimu yang menyedihkan, Aland. Otot-ototmu berubah menjadi bubur. Tidak heran kau tidak bisa berjalan!"Pupil pria itu bergerak, berkilat marah. "Persetan denganmu." Suara Aland seperti tercekik."Dengan kondisimu sekarang, kau bahkan kalah telak jika berkelahi dengan mi. Kau masih suka mie instan?""Kau memiliki tongkat sihir yang bisa langsung membuatku bisa berjalan seperti semula?""Tongkat sihir? Kau terlalu tua untuk berfantasi seperti itu. Kau harus bekerja keras jika ingin bisa berjalan lagi. Kau harus berjuang, kesakitan, berkeringat dan aku akan membantumu bisa berjalan lagi.""Kau tidak perlu melakukan itu, Nona. Satu-satunya yang harus kau lakukan adalah menjauh dari kamarku! Aku tidak peduli kontrak seperti apa yang kau setujui. Ini kamarku dan aku akan membayarmu untuk menyingkirkanmu. Bukankah itu yang kau harapkan? Uang dan uang. Sama seperti ayahmu yang penipu itu!""Aku tidak menerima bayaran apa pun. Dan aku tidak memberimu pilihan." Sofia menanggapi dengan santai."Bukan kau yang memberi pilihan, tapi aku lah yang mengambil pilihan!"Sofia terdiam sejenak, ia perhatikan wajah Aland yang merah karena geram. Dan Sofia berniat membuat pria itu semakin marah, kemudia ia melontarkan kalimat yang cukup kejam."Sepertinya kau memang sangat menikmati tatapan kasihan yang dilayangkan orang-orang padamu.""Tutup mulutmu, pelayan sialan!!""Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela