Share

6. Sarapan Pagi

"Aku mendengar Aland berteriak."

Sofia yang baru menutup pintu kamar pasien barunya berbalik, menatap wajah pria yang sudah tua itu mengkhawatirkan putranya.

"Ya, dia memakiku, Uncle."

Seketika Sofia melihat helaan napas lega di wajah Mr. Amstrong.

"Biar kutebak bahwa kau baru saja mengumumkan akan menjadi perawatnya yang baru."

Sofia mengangguk semangat, "Dan dia marah, memandangku tidak percaya. Uncle, aku membutuhkan gimnasium. Apakah kita bisa membuatnya di dekat kolam berenang. Beberapa alat olahraga diperlukan guna menunjung kesembuhannya."

"Tentu saja bisa. Aku akan meminta Zoe menyiapkan semuanya."

"Terima kasih, Uncle."

"Apakah ada harapan?" Mr. Amstrong bertanya penuh harap. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Sarapan Aland juga harus diganti. Tidak akan ada kopi. Sofia akan memberikan daftarnya pada pelayan.

"Selalu ada harapan, Uncle." Sofia tersenyum hangat. "Paling cepat enam bulan, InsyaAllah, Aland akan bisa berjalan kembali."

Mr. Amstrong tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaan di wajahnya. Selama ini, para terapis yang ia tanya hanya akan memberi jawaban tidak pasti.

"Aku akan berdoa untuk keberkahan hidupmu, Nak."

"Doa siapa lagi yang kuharapkan jika bukan doa orang tua. Jadi, mulai sekarang, kau juga harus memperhatikan kesehatanmu. Begitu Aland sembuh, kau dan dia sudah bisa bermain tennis lagi."

"Oh Tuhan, membayangkannya saja sudah membuatku bahagia."

"Ini akan menjadi kenyataan atas izin yang Kuasa, Uncle."

Mr. Amstrong mengangguk, kemudian mengusap hijab yang menutupi mahkota Sofia.

"Mungkin ucapanku akan sedikit menekanmu, Nak, tapi sungguh aku sangat berharap putraku kembali seperti dulu."

"Aku mengerti perasaanmu, Uncle. Itu hal yang normal mengingat betapa kamu sangat putus asa. Untuk permulaan, aku harus mengubah sarapannya dan harus mengantarnya sekarang. Tidak ada makanan kesukaannya untuk sarapan pagi." Sofia memberikan daftar yang sudah dia catat kepada pelayan dapur.

Sembari menunggu, dia dan Mr. Amstrong juga memilih untuk sarapan. Tidak berapa lama, Ny. Nomi datang membawa nampan sesuai perintahnya.

"Aku yang akan mengantarnya." Sofia mengakhiri sarapannya, mengambil alih nampan dan berpamitan pada Mr. Amstrong. Di atas nampan, Sofia juga meletakkan beberapa butir pil.

"Aku datang lagi," serunya setelah mengetuk pintu dua kali.

Aland melayangkan tatapan sinis kepadanya.

"Waktunya sarapan. Kau pasti sudah lapar." Mengabaikan tatapan membunuh yang dilayangkan Aland padanya.

"Daripada terapis, kau lebih cocok menjadi pelayan. Sangat sesuai." Cemooh pria itu.

"Katakan apa pun yang membuatmu senang, Al." Sofia meletakkan nampan, bergegas ke dekat jendela.

"Jangan menyentuh tirai sialan itu!"

Sreeekkk!!

Sofia tidak peduli. Sinar matahari langsung memenuhi ruangan.

"Sialan kau, Sofi!"

"Saatnya menikmati sarapanmu. Akan kubantu kau duduk. Omong-omong, sejak kapan tanganmu tidak bisa bergerak."

"Aku lupa."

"Bagaimana dengan jarimu? Bisakah kau menggerakkannya."

Entah setan apa yang merasuki Aland, dia menuruti apa yang dikatakan Sofia. Pria itu menggerakkan kesepuluh jarinya. Ternyata pria itu mampu.

"Aku bisa menggerakkan tanganku, hanya saja terasa berat," Aland menjelaskan tanpa diminta dan Sofia harus menahan senyum mendengar penuturan tersebut.

"Nanti aku akan memberikan pijatan ajaib di sana. Kau akan mendapatkan kekuatan tanganmu kembali." Sofia membantu Aland untuk duduk. Mengatur posisi pria itu senyaman mungkin. "Apa kau lebih suka duduk di kursi roda?"

"Di sini saja."

Sofia mengambil wadah berisi obat dan meletakkannya di hadapan Aland. Katakan lah Sofia kejam, ia sangat menikmati ekspresi Aland yang terkesan jijik melihat sarapannya.

"Sampah apa ini?" Protes sengit kembali terlontar dari mulut pria itu.

"Pil." Sahut Sofia kalem. Sebelum Aland berubah marah, Sofia buru-buru menambahi. "Tentu saja sarapanmu bukan itu. Hanya saja mulai lah dari meminum beberapa vitamin."

"Aku tidak akan menelannya!" Raung Aland seolah yang di piringnya itu adalah binatang melata yang menjijikkan.

"Kau akan menelannya karena kau sangat membutuhkannya. Tidak akan ada sarapan sebelum kau menelannya."

"Bajingan..." Desis pria itu.

"Aku bisa membantumu, buka mulutmu."

"Aku ingin mencekik lehermu!"

"Ya, aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu. Untuk mempunyai tenaga mencekikku, mula-mula kau harus menelan ini, Al."

"Masukkan semuanya ke dalam mulutku!" Desisnya seraya membuka mulut. Sofia melakukannya dan membantunya minum air.

"Nah, kau puas! Pil keparat itu sudah bersemayam di perutku."

"Terima kasih. Kau pasien yang cukup manis."

"Tutup mulutmu!"

"Sekarang waktunya kau nikmati sarapanmu." Sofia bersiap menikmati pertunjukkan kedua. Jika menu sarapan Aland belum berubah sejak dulu, bisa dipastikan pria itu akan kembali murka melihat apa yang Sofia sajikan untuknya. Anggur, roti gandum bakar, telur dan susu.

"Apa-apaan ini? Kau sedang melucu?!" Tebakan Sofia benar. "Aku mau wafel bluberi."

Sofia mengidik, "Ini sarapanmu. Wafel terlalu manis. Makan anggurnya." Sofia menyodorkan anggur ke dalam mulut pria itu.

"Aku tidak suka anggur!" wajahnya merah menahan amarah, dan Sofia tahu itu. Ia justru berharap kemarahan Aland bisa membuat pria itu mengangkat tangan dan melempar sarapannya.

"Kau butuh vitamin C."

"Apa kau lupa bahwa baru saja aku menelan jatah vitamin untuk satu tahun penuh!"

Harapan Sofia terlalu tinggi rupanya, meski mengamuk, pria itu membuka mulut dan mengunyah kasar anggur yang dimulutnya.

"Padahal aku menunggu kau melempar nampan ini." Sofia melontarkan apa yang ada di pikirannya.

"Aku akan melakukannya jika aku bisa mengangkat tanganku."

"Sekarang minum susunya tanpa protes. Kau butuh kalsium."

"Kopiku mana?"

"Tidak ada kopi."

"Apa secangkir kopi akan membuatku mati?"

"Kurasa tidak, tapi juga tidak membantu penyembuhanmu sama sekali."

"Kalau begitu aku mau kopi." Aland bersikeras.

Sofia juga tidak ingin bertindak terlalu keras, "Mau membuat kesepakatan?"

"Aku ingin kopiku!"

"Kau akan mendapatkan secangkir kopi jika kau meminum susumu."

Aland menatapnya, lalu menghela napas panjang. Kemudian memberi isyarat agar Sofia mendekatkan gelas susu tersebut ke mulutnya. Dia menenggaknya sampai habis.

"Ternyata kau cukup patuh daripada yang ada di bayanganku. Latihan akan resmi dimulai besok pagi. Persiapkan dirimu. Karena ini akan menyakitkan. Tapi hasil yang didapat juga akan membuat kehidupanmu yang hilang selama tiga tahun kembali lagi."

Aland terdiam sejenak, meresapi apa yang dikatakan Sofia. "Omong kosong!"

"Kita akan bertemu besok pagi." Sofia mengambil nampan dan membanya keluar. Di ambang pintu, perempuan itu berhehti dan berbalik. "Omong-omong, aku sudah pindah ke kamar sebelah. Jika ada yang kau butuhkan, kau tinggal memanggil namaku."

"Aku tidak butuh apa pun darimu."

"Selama tiga jam ke depan, mungkin aku akan sibuk dengan ibuku. Dia akan datang berkunjung."

Aland tidak menanggapi lagi, jadi Sofia pun memilih keluar. Di luar kamar, ia menyandarkan tubuhnya daun pintu. Menarik napas panjang seolah dia baru saja keluar dari goa kematian. Meski Aland melontarkan kata-kata tajam dan menohok, Sofia bisa melihat manik pria itu memancarkan sedikit harapan.

Sofia sudah terbiasa melihat pasien seperti Aland. Sofia akan lebih bersemangat jika ia sudah melihat harapan di mata pasiennya. Aland berbeda, justru ketakutanlah yang menyerangnya. Bagaimana jika pria itu memilih menyerah dengan serangkaian latihan yang melelahkan? Jika dia gagal, Aland pasti tidak bersedia untuk mempercayai terapis lagi. Selamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status