Share

Sebelum Subuh

"Uweek...uweek... uughh.. huweek..."

Suara itu memekak sekali, sampai-sampai aku yang terlelap di alam mimpi langsung terbangun dan secepat kilat melihat ke arah kamar mandi. Ruang di sebelahku yang biasanya terisi ustadz tampan, kini kosong.

Aku rasa itu suaranya.

"Akang..." Buru-buru aku turun dari kasur dan menghampiri suamiku yang sedang berjongkok di kloset kamar mandi.

"Akang kenapa? Sakit?"

Uweek.. ohok.. uwek..

"Gak tau Ay, aku tiba-tiba mual dan isi perutku keluar semua." Tubuhnya lemas dan terduduk di lantai kamar mandi yang untungnya saja kering. Aku melihat saliva nya tersisa di sudut bibir dan kulap menggunakan tissue toilet. Maaf ya Akang, ini darurot. Kuambil yang terdekat saja.

"Akang ada makan apa hari ini? Masuk angin? Makan yang kadaluarsa?" Aku menerka-nerka dan mungkin dia salah makan.

"Saya tadi sih makan gado-gado Ay, jadi ini banyak yang keluar kacangnya," tutur suami berparas subhanallah itu.

"Berarti Akang lagi gak bisa makan kacang. Yaudah yuk ke kasur, aku balur pakek minyak angin ya."

Dengan lemas, dengan sisa tenaga dan perjuangan, dia mengangkat tubuhnya untuk kembali ke atas kasur sementara aku membersihkan kloset dan menyiram sisa-sisa baunya. Sebelumnya Akang memang tidak masalah dengan kacang atau gado-gado, mungkin saja ada sayuran yang basi atau kacangnya kurang matang jadilah seperti ini.

Kubaringakan tubuh kekar berlapis kaos hitam itu dan kubaluri dengan minyak telon si kembar. Katanya sih rada enakan, dan sepertinya keenakan.

"Gimana, agak baikan?" tanyaku seraya tangan memijat bagian ulu hati yang pasti sakit, namun anehnya kata Akang itu tidak terasa apa-apa.

"Kalau magh, pasti di sini sakit. Lalu ini kenapa ya?"

"Masuk angin paling, atau yaitu tadi salah makan."

Dengan lincahnya tangan berminyak ini berkelana di atas perut Akang sampai ke daerah dada dan leher. Biasanya kalau si kembar sakit perut, suka aku ginikan. Semoga saja ini mempan untuk bayi besar aku.

Hening, hanya terdengar suara detik jam dinding karena ini pukul satu malam. Aku pun menguap beberapa kali, namun mataku masih kupaksa untuk melek.

"Ay... ibadah yuk.." Tangannya menghentikan tanganku yang sedang memijat lembut perut kotak-kotaknya.

Duh rasanya pengen ku jejeli pakek botol minyak telon ini deh. Barusan aja dia ngeluh lemes, sekarang apa katanya? Ibadah.

Aku bukan anak kecil yang gak tau artinya. Setiap dia ngajak ibadah, ya artinya pasti 'itu'

"Akang yakin? Emang masih kuat? Barusan habis ngapain coba Rey tanya?"

Dia itu ustadz yang kurasa emang kelebihan hormon sejak dua bulannan yang lalu. Pengennya gitu terus sampai kadang aku kelelahan. Apa lagi fasenya, ya? Menolakpun tidak bisa karena itu dosa, jadi apakah aku harus menjawab iya sekarang?

"Ay, itu justru obatnya. Daster kamu kesingkap tuh, saya langsung tegang."

Cuph~

Kagetnya aku ketika dia menjatuhkan kecupan di bibir tanpa aba-aba, mataku terbuka lebar memperoses apa yang barusan terjadi.

"Up to you lah Kang, Rey juga gak bisa nolak kan??" Yah padahal aku niatnya mau tidur cepat karena subuh nanti jadwal aku hafalan surah-surah sama Akang, tapi apa daya kalau gurunya ngajak ya semoga aja nanti dapat korting.

"Duh, makin cinta aja saya. Yuk wudhu dulu." Dia menggandeng tanganku, membawa tubuh kita berdua ke kamar mandi. Dia menyalakan air keran dan berwudhu terlebih dahulu.

Setelahnya disusul aku yang melakukan hal sama, lalu ketika aku keluar kamar mandi, dia duduk menunggu aku di tepi kasur.

"Sini!"

Dia menarik tubuhku dan sekejap aku duduk di pangkuannya, kakiku kubawa melingkar di pahanya. Ada sesuatu yang memang sudah menegang dan sangat mengganjal tempat dudukku.

"Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa. Istriku, aku ingin menunaikan hajatku padamu. Bersediakah engkau?"

Pffftt.. mau ketawa tapi gak bisa. Dia itu selalu saja bisa membuat aku melayang hanya dengan kata-katanya. Bagaimana bisa nolak? Wajahnya yang tampan ini, membiarkan hormon tubuhku bekerja dua kali lipat.

"Dengan senang hati, daddy!"

"What's? Daddy?"

"Heeum, lalu apa? Uncle?"

"Rey, jangan minta berhenti. Desahkan nama saya ya. Kamu milik Allah yang lagi dititipkan pada saya."

Service dimulai. Tangannya mulai berkelana di seluruh tubuh yang sudah tak berpakaian sejak beberapa menit yang lalu. Entah ke mana, dan di mana semua itu, aku tidak tahu. Ciumannya memabukkan, bisikannya membuat aku ingin terus dan terus dijamah olehnya.

Dengan kalimat-kalimat cinta itu, aku melayang tanpa beban. Gerakan dan hentakannya, berhasil membuat aku tak berdaya. Sentuhannya membuat aku bahagia, bercinta dengan Akang, aku selalu mendambanya.

"Rey, istriku.. maaf kalau sakit, aku minta maaf. Gigit tanganku ini."

Aku menahan tawa, "Sudah berulang kali dan sakitnya bisa.. ahhhhm... bisa aku tahan.."

Matanya yang sayu dan bibirnya melengkungkan senyuman, aku sungguh menyukainya.

"Rey, cantikku.."

"App...apahh ... Akang??"

"Desahkan namaku, Rey!"

"Tapi nanti haf.. ahh.. hafalannyaahh.. eumhh... kuranginnh yaah.."

"Tidak! Pokoknya, eughh....hafalan tetapphh hafalan.. sssh.."

(Udah mblo udah, jangan tegang..!)

****

Persiapan sekolah Zulfikar dan Zulaikha sudah hampir selesai. Tahun ini, mereka sudah masuk ke sekolah taman kanak-kanak karena usianya sudah 4 tahun. Aku juga tidak gegabah, aku masukan ke sekolah islami yang khusus anak-anak penghafal Alquran. Meski minim pengetahuan, aku denger bahwa kalau ingin anaknya penghafal Alquran, maka didiklah sejak usia dini, dan aku tertarik dengan metode itu.

Dengan izin suamiku tentunya, aku mantap memasukkan kedua buah hatiku itu ke sana.

"Assalamualaikum Rey, ada apa?"

Aku menelpon suamiku karena aku harus pergi ke suatu tempat karena urusan pendaftaran sekolah telah selesai.

"Waalaikumsalam. Pendaftaran si kembar udah selesai Akang, Aku sedang dalam perjalanan pulang tapi aku mau mampir ke apotek dulu karena persediaan obat telag habis dan lagipula aku takut kamu muntah-muntah seperti malam lagi."

"Oh iya alhamdulilah, saya kira ada apa. Hati-hati ya, semoga Allah melindungi kamu sayang. Sambil nyetir, lantunkan ayat Alquran yah, biar semakin lancar. Tadi subuh kebalik kan ayat 29 dengan 30."

"Hehe, itukan karena gak fokus! Habis ada yang merenggut kewarasan aku sih, pas malamnya."

"Itu bukan alasan sayangku. Sudah, menyetir dengan aman. Kami tunggu di rumah."

"Oke Suamiku, bye.. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam. "

Sedikit saran bagi yang ingin rumah tangganya harmonis, selalu kabari pasangan kalian setelah melakukan kegiatan. Terlihat sepele dan merepotkan sih, tapi itu mampu membuat pasangan kita merasa dihargai dan dibutuhkan. Itu yang selalu kami lakukan, dan terbukti hingga hari ini, kami baik-baik saja.

Setelah bergumam tak jelas, mobilku berhenti di sebuah apotek dan langsung ku sebut obat yang aku butuhkan. Paracetamol, obat nyeri, obat lambung, obat mual, penurun demam anak, dan... aku mau itu juga satu mba." Tanganku menunjukkan satu benda lain, di dala etalase namun masih bisa terlihat.

Kurasa aku sudah telat dua Minggu. Mengenai apa yang Akang bilang di mobil kemarin, kemungkinan saja itu terjadi.

***

"Assalamualaikum, Uma pulang.." Ketika sampai, yang pertama aku lihat adalah anak-anak yang sedang duduk di ruang televisi bersama Abinya. Terlihat juga toples dan tiga cangkir jus jambu di atas meja menemani kegiatan mereka itu. Gemas, alhamdulilah ya Allah, terima kasih sudah menghadirkan keluarga penuh cinta seperti ini.

"Waalaikumsalam, Umaa..." Dua-duanya berlarian menghampiri aku di depan pintu, memeluk kakiku dengan penuh rasa bahagia. Ditinggal sebentar aja, mungkin rasanya seperti ditinggal setahun. Beda banget kalau bapaknya, pergi seharian juga mereka bodo amat.

Tapi enggak sih, Zulaikha pasti jadi anak yang paling risau kalau Abinya belum pulang. Dia itu paling dekat dengan ayahnya, paling tidak suka ayahnya pergi. Butuh waktu sekitar satu jam hanya untuk pamit pergi dakwah agar Zulaikha mengizinkannya. Berarti benar kata orang bahwa cinta pertama anak wanita adalah ayahnya, dan aku merasakannya sendiri.

"Uma, tadi Abi nakay, masa Upi di kasih sambel." Wajahnya ditekuk sambil menunjuk Abinya yang asyik mengunyah di sofa.

"Hah, sambel? Masa sih Abi begitu?" Aku berlutut mensejajarkan tinggi anakku.

"Bukan begitu, aku tadi sedang pegang sambel dan Zulfi minta di lap mulutnya, aku lupa mencuci tangan dan ya, jadinya kena pedes deh," papar Akang di sofa sambil memangku rujak dengan sambel.

"Oh.. Abi gak sengaja Zulfi, maafin yah.." Si mungil itu mengangguk lucu, kembali ke sofa.

"Uma, Uma, tadi Ula pintay. Ula gambay ucing wayna oyen, bagus deh.." Kini anak gadisku yang bercerita, mereka berlomba menarik perhatianku dengan wajah imutnya.

"Oh ya? Boleh Uma lihat gambarnya?"

"No.. no.. beyum jadi, nanti Ula kacih yiat ya.."

"Oke.." Usai berbincang Zulaikha kembali ke pangkuan Abinya.

Penasaran dengan apa yang Akang makan, aku pun jalan ke sofa ruang tengah dan ya! Aku dibuat marah seketika.

"ASTAGHFIRULLAH!"

"Duh Gusti, apa sih Ay? Kaget?!"

"Akang ih, itu gak kepedesan? Itu apa, banyak banget cabenya. Gak inget tadi malam muntah-muntah?"

Mataku terbelalak melihat rujak yang Akang makan seperti menghabiskan satu ons cabe.

"Gak pedes ih, beneran. Tadi saya liat cabe di kulkas kayaknya kok seger banget, dan saya liat timun jadi saya langsung bikin rujak deh."

Aku menggeleng jengah, Suamiku ini udah mulai aneh deh. Jarang-jarang dia suka pedes apalagi sebanyak itu, tapi sekarang malah seperti lagi nyari penyakitnya sendiri.

"Awas aja kalau nanti malam muntah-muntah lagi, jangan harap minta aku buat-"

Ups, aku hampir keceplosan. Dua anakku menolah spontan saat suaraku yang lantang tiba-tiba terhenti.

"Minta apaa Uma?"

Lidahku kelu, tapi aku harus tetap menjelaskannya, "Hehe Abi gak minta apa-apa, cuma Abi tadi malam merepotkan aja. Sudah ya, Uma mau masak buat makan siang. Kalian nonton aja dulu, nanti Uma panggil kalau sudah matang. Oke?"

"Oke.." Ketiganya menjawab dengan serentak dan itu membuat hatiku senang. Aku tidak perlu apa-apa lagi, hanya ingin keluargaku selalu bahagia seperti ini. Jauhkan kami dari hal yang menyakitkan Ya Allah, hambamu ini lemah dan masih membutuhkan cinta dari ketiga manusia itu.

Aku berjalan menuju dapur dan membawa kresek belanjaan tadi, yang isinya obat dan benda itu.

Besok aku coba deh, apapun hasilnya di syukuri, karena itu yang terbaik dari Allah.

"Masak apa ya? Capyai udang sosis deh, kesukaan si kembar." Baiklah kita berperang dengan wajan.

***

Sebelum sholat subuh, saat aku buang air kecil, aku pun mencobanya. Mencelupkan benda itu dan menunggu kurang dari 5 menit, saat itu aku sudah tahu hasilnya.

"Alhamdulilah, hikss... Akang pasti bahagia."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status