Share

Suara Yang Kukenal

Hari senin ini, aktivitas aku lebih sibuk dari biasanya karena hari ini hari pertama si kembar masuk sekolah. Sedari bangun tidur dan sholat subuh, aku masih berkutat di dapur menyiapkan sarapan. Aku juga menyiapkan snack sebagai cemilan karena makan siang disediakan dari sekolahnya.

Jujur akulah yang paling excited banget karena aku gak sabar lihat mereka berlarian di sekolahnya. Pasti lucu, dan aku bakal mengabadikan momen itu.

"Anak-anak udah gede ya Kang, kangen mereka yang masih merangkak, apalagi pas belajar jalan, Rey sampai nangis sangking bahagianya."

Ketika terasa sebuah tangan melingkar di pinggangku, buru-buru kuajak bicara karena aku tahu itu pasti Akang. Ya iyalah siapa lagi yang berani memelukku selain dia? Masa Suga BTS, kan gak mungkin. Lagian dia lagi Tour kali di New York. Kok tahu? Iyalah, dia kan suami halu saya. Awokwowk.

"Kamu nangis? Sama saya juga, saya nangisnya itu karena dua hal. Pertama ya karena mereka sudah bisa jalan, yang kedua karena saya jauh, saya tidak bisa melihatnya secara langsung." Akang mengecupi leherku dan itu jelas terasa sangat geli. Bulu-bulu halus berdiri di sekitar telinga.

"Iya sih, soalnya tiga tahun itu adalah masa golden age bagi anak-anak, di masa itulah mereka beradaptasi dengan dunianya. Sabar ya, mungkin nanti Akang bisa melihat perkembangan anaknya yang lain."

"Iya benar itu... Eh apa katamu?"

Akang membalik tubuhku dan membuat kami berhadapan. Kuberi dia sebuah kotak kecil berhias pita dan membiarkan dia menerka apa isinya. Hmm, aku tidak sabar untuk segera memberitahukan hasilnya. Aku mau Akang jadi yang pertama tahu soal ini.

"Dibuka!" kataku, membuat Akang memaku di tempatnya. Dengan gemetar, tangannya terangkat membelah kotak persegi bewarna coklat dengan tutupnya itu.

Penglihatannya melebar, ada sebuah benda berwarna putih dengan hiasan dua garis merah di sana dan itu yang ingin kukasih tahu.

"MasyaAllah, ini maksudnya?" Dia kehilangan kata-katanya gaes, karena mungkin ini terlalu mengejutkan dia di pagi indahnya.

"Alhamdulillah, kita diberi kepercayaan lagi untuk memiliki buah hati. Itu kado ulang tahun untuk Akang, selamat ulang tahun meski udah berlalu dua bulan kemarin."

Akang menunduk, mengusap perut rataku dan membacakan doa juga sholat nabi. Ia kecup perut ini dengan lembut dan mesra.

"Alhaumma sholli 'ala muhammad, Ay, ini adalah kado terbaik untuk saya. Terima kasih istriku." Terlihat air matanya menetes di pipi Akang saat tubuh dia memelukku kembali.

Alhamdulillah, Allah memberikan Akang kesempatan untuk berada di sampingku mengurusku, menjagaku dalam keadaan hamil. Waktu itu dia jauh, tapi akhirnya Akang bisa ada di sampingku sekarang.

"Sayang dengar, akan saya pergunakan waktu ini sebaik mungkin. Katakan, kamu mau apa? Ngidam apa? Aku turuti semuanya."

"Bener? Hmm aku pengen tiket konser Suga dong Akang, di Tanggerang nanti."

Dia diam, terlihat berpikir ragu dan aku suka ekspresi kesalnya.

"Jangan minta itu lah Ay, yang lain kek. Maksudnya makanan gitu, jangan minta pergi jauh apalagi sendirian, saya khawatir."

Hehe akuu ketawa aja, karena ekpresi Akang bener-bener lucu, dan aku suka ngerjain dia.

"Canda atuh Akang, mana mungkin Rey mau pasedek-sedek sama banyak orang, apalagi lagi hamil. Mending baca Alquran supaya anaknya soleh."

"Alhamdulilah, good. Kalau gitu selama hamil hafalan surahnya diperbanyak ya sayang, tambah surah Maryam saja."

"Ih, kirain kalau hamil hafalannya dikurangin!" Dia menggerutu manja memukul dada saya.

"Jangan dong, ketika hamil justru perbanyak membaca Alquran, agar anak kita bisa mendengarnya. Siapa tahu pas brojol langsung jadi Tahfiz, kamu langsung disediakan tempat di surga Allah karena melahirkan anak Tahfiz."

"Iya sih, tapi kalau nanti pas mual-mual, jeda dulu ya!"

"Iya sayang, kalo pas mual-mual ganti saja sama murotal quran, yang penting sehari jangan sampai anak kita tidak mendengar asma Allah. Terima kasih sayangku, istriku, semoga kita berdua, anak-anak, dan yang ada di dalam sini, bisa terus bersama-sama hingga surganya Allah."

"Aamiin, ya Allah. Terima kasih suamiku, sudah membawa aku dari lembah kegelapan, dari impian yang mudharat itu, dari dunia yang fana, sampai Reynata mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Tolong tetap bersama Rey yah, sampai istrinya Akang menutup mata."

"Baik, insyaallah kita akan selalu bersama."

Aku memberikan senyuman termanis, saat dia membawa tangannya naik, menyentuh pipiku.

"Kalau gitu, Rey mau antar mereka dulu ya. Akang dakwah jam berapa?"

"Jam delapan. Saya mau mandi dulu, hati-hati ya. Titipkan mereka dengan ikhlas agar ilmu yang didapat bermanfaat. Hormati guru anak kita, karena itu juga guru kita. Oke."

"Siap bos!" Tanganku hormat padanya dan kegiatan itu menjadi penutup cengkrama kita pagi ini. Zulfi dan Zula pamit salim pada abinya, lalu mereka berlarian masuk ke dalam mobil. Aku tidak sendiri, Retno juga ikut karena untuk menjaga dua malaikat kecil itu.

"Mba, nanti Retno aja yang nyetir anak-anak. Kemarin Retno udah lulus tes mobil, dan lancar. Setelah dapet sim A, biar Retno aja yang bawa mobilnya."

"Oke, mba juga perlu bantuan Ret.. soalnya kalau nanti udah gede, pasti ustadz Husein lebih protective." Aku menyahut di kursi depan.

"Maksudnya gede mba? Waw... jadi?" Sedetik kemudian dia paham maksud dari ucapanku.

"Mba ya Allah selamat.. tuh kan bener kataku, Ustadz Husein muntah-muntah dan sering makan rujak itu karena dia yang ngidam dan Mba yang hamil. So sweet banget sih kalian."

"Makanya nikah dong. Mba juga heran, kok bisa dia yang mual-mual."

"Itulah arti dari Allah maha adil Mba, hihi." Aku ikut tertawa mendengar lelucon dari Retno, soalnya aku sendiri masih nggak nyangka kalau Akanglah yang mengalami tanda-tanda kehamilan itu.

Percakapan kita selesai tepat ketika mobilku berhenti di depan gedung sekolah islami yang menjadi tujuanku untuk membina akhlak anak-anakku di sini. Retno membawa Zulfikar sedangkan aku membawa Zulaikah. Kami berempat berjalan beriringan dengan begitu antusias, sampai kami berhenti di depan seorang guru lelaki yang sedang mengalungkan ID card nama semua murid baru di sekolah Al-Ihsan ini.

"Uma.. itu guyu Ula kan?"

"Benar, itu gurunya Zula. Yang pintar ya, yang soleh dan nurut ke gurunya. Oke anak pintar!!!" Aku mencubit hidung mungil Zulaikha dengan senyuman lebar sebelum sebuah suara memanggil dan mengalihkan atensiku

"Rey....?"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status