Aku sengaja berlama-lamaan di dalam kamar mungkin sampai ketiduran pun tidak masalah. Biar kapok itu bu Mariyah, nggak utang-utang lagi sama aku. Memangnya aku emaknya kalau berhutang nggak dikembalikan?"Bu! Bu, Munah!" teriaknya setelah setengah jam aku tinggal berbaring di dalam kamar.Beberapa kali dia berteriak memanggilku, namun sama seperti sebelumnya tidak aku jawab. Biarkan saja setelah ini dia bakalan capek sendiri. Kalau sudah capek sendiri pasti juga akan pulang.Setelah sekitar lima menitan lamanya Bu Mariyah berteriak memanggil namaku, suaranya sudah tidak terdengar lagi. Dengan cepat aku memastikan dari balik jendela."Makan tuh hutang!" Aku berhasil membuat Bu Mariyah pulang dengan menelan pil pahit.Awalnya aku meminjamkan uang kepada bu Mariyah karena kasihan tapi lama kelamaan aku merasa dimanfaatkan. Makanya aku stop untuk kasih utangan lagi ke bu Mariyah.Mungkin kalau bukan tetangga aku juga tidak akan mau berteman dengan beliau ini.***Aku mengernyitkan keningku
Ini sudah hari ke tujuh setelah aku mengunjungi rumah Rina. Ingin rasanya aku melihat cucuku kembali. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja di sana.Jujur rinduku ini sangat tidak tertahan. Mau bagaimanapun dia cucu pertamaku dari anak lelaki satu-satunya. Mumpung hari ini hari minggu, jadi aku bisa mengajak Adit berlama-lamaan pergi menemui Romi, cucu lelakiku."Ayo, Dit kita pergi ke rumah Rina! Ibu kangen sekali dengan Romi.""Sekarang, Bu?""Ya sekaranglah! Masak kamu tidak kangen dengan anak kamu sendiri?""Kangen sih, Bu. Tapi kan ....""Tapi apa? Kamu takut diompoli, takut kamu nggak bisa menenangkan saat anak kamu sedang rewel? Tenang, ada ibu di sini. Biar ibu saja yang menggendong Romi nanti."Mengingat Adit selama punya anak dia belum mahir dalam menggendong bayi. Selama ini dia percayakan bayinya dalam pengasuhan kepada Rina, ibunya."Pokoknya kali ini kita harus berhasil membawa Romi pulang ke rumah, Dit. Aku ingin cucu ibu pulang ke sini lagi. Aku tidak ingin kalau Romi
Tak kuasa aku menitihkan air mata. Karena benar-benar hati ini sudah hancur. Tega sekali mereka memisahkan aku dengan cucu lelakiku. Aku ini kan tidak bersalah, yang bersalah kan Rina, anak dari Pak Fuad dan Bu Nuria yang tak tahu diri itu."Mbak Sulastri beneran nggak tahu ke mana perginya Rina?"Kini Adit bertanya kembali ke tetangga yang masih setia melihat kami di pagar tembok rumah Rina."Beneran nggak tahu saya Mas Adit. Waktu pergi itu Rina dan keluarganya terlihat seperti terburu-buru. Mungkin sekitar empat jaman setelah Mas Adit pulang dari sini, saat menjenguk Romi pulang dari rumah sakit."Jadi mereka pergi setelah aku diusir Pak Fuad. Berarti sebelumnya mereka sudah berencana untuk pindah rumah gitu, kurang aj*r memang."Lha memangnya Rina nggak izin dulu sama Mas Adit, kalau mau pergi ke mana begitu?" Tanpa berkata Adit menggelengkan kepalanya."Waduh kok bisa seperti itu? Harusnya kan istri kalau pergi ke mana-mana harus minta izin dulu ke suaminya. Berarti Mas Adit sudah
Mungkin aku sedang bermimpi sampai harus ketemu dengan wanita kur*ng aj*r itu. Ku cubit lenganku dengan keras ternyata beneran sakit. Jadi ini bukan mimpi."I-itu, bukannya dia perempuan yang sering datang ke rumah kita, Dit?" tanyaku ragu.Ku tunjuk beberapa poto yang terpasang di dinding rumah ini."Iya, Bu. Dia adalah sahabat Rina sejak di bangku sekolah."Waduh bisa malu aku kalau aku ketemu dia sekarang ini. Aku yakin dia bakalan memarahiku seperti tempo dulu saat Rina baru saja melahirkan. Atau mungkin dia bakalan menertawakanku kalau semua yang dibicarakan itu benar."Ibu ini gimana? Masak orang setelah melahirkan harus diatur terus makannya. Jangan makan ini jangan makan itu. Yang diperbolehkan cuman makan pakai sayur kulup (sayur yang hanya direbus dan saat menyantapnya tanpa menggunakan kuah) saja dan bawang merah goreng sebagai pelengkapnya. Memangnya ibu tidak kasihan dengan menantu dan cucu Ibu sendiri?" katanya waktu itu."Yang nggak kasihan itu kamu. Anak muda tahu apa?
"Sudah keterlaluan itu yang namanya Prita. Kurang aj*r sama orang tua. Kalau dia tadi berdiri lebih dekat sudah dipastikan ibu pasti sudah menjamb*k-jamb*k rambut pirangnya itu.""Sudahlah, Bu. Jangan, emosi terus begitu!" ucap Adit mencoba menenangkan aku."Gimana nggak emosi? Wanita yang masih bau kencur itu sudah merendahkan aku yang lebih tua dari dirinya. Itu kan sudah nggak sopan namanya. Kayak aku ini nggak punya harga diri saja.""Apa pantas mengusir orang yang ingin meminta bantuan darinya? Benar-benar kurang aj*ar!" lanjutku yang masih terus saja ku luapkan emosiku ini."Kalau Ibu marah-marah terus, Ibu nanti bisa kena darah tinggi. Ini saja kepala Adit jadi tambah puyeng setelah mendengar ocehan Ibu.""Diam kamu, Dit! Jangan sok menasehati ibu. Sekarang cari akal gimana kita bisa menemui Rina. Bayangkan, Dit, bayangkan! Aku ini lagi seneng-senengnya punya cucu terus sekarang dijauhkan gitu. Hati nenek mana yang kuat dengan cobaan begini, Dit?""Iya, Bu. Adit paham dengan mak
"Kalau jauh gini gimana Romi, Bu Munah. Jadi cuman minum Asi saja dong, ya?" tanya Bu Kasih."Iya kayaknya Bu. Yang penting saya tiap hari mengingatkan Rina untuk tetap kasih makan Romi kerokan pisang gitu. Kalau digunakan atau tidak omongan saya itu saya udah pasrah. Soalnya juga rumah kita tidak dekatan. Kalau dekat mungkin setiap hari saya bakal kontrol itu si Rina. Soalnya saya nggak tega kalau lihat cucu saya kelaparan," terangku."Iya, Bu, bener itu sing penting diingatkan. Perkara dipakek atau nggak itu biar urusan dia. Yang penting kewajiban kita sebagai orang tua sudah dijalankan.""Aku juga setuju itu, Mbak kasih," ucap Bu Sayuti."Maaf, Bu-Ibu. Saya tinggal masuk dulu. Soalnya badan saya lagi capek."Kalau tidak cepat aku masuk ke dalam, pasti aku terus ditanyain perkara Rina dan Romi. Daripada salah bicara, lebih baik aku istirahat saja di kamar.Ku jatuhkan bobotku ke kasurku yang begitu empuk ini. Rasanya lega sekali setelah bertemu dengan kasur."Rin, Rina. Kamu itu suda
Pov Ibu Mertua"Bude!" teriak keponakanku dari ambang pintu.Aku sekarang sedang memasak di dapur. Membuat beraneka macam makanan yang akan aku kirim ke sawah untuk sarapan pekerja."Ada apa, Nang? Kok pagi-pagi sekali sudah sampai sini.""Lihat ini, Bude! Ini kan fotonya adik Romi. Adik Romi memangnya sakit apa ya, Bude?" Nanang menunjukkan ponselnya dari arah agak jauh."Mana sih? Bude nggak pakai kaca mata jadi nggak kelihatan."Diberikannya ponsel yang dia pegang kepadaku.Terlihat Romi sedang digendong oleh Bu Nuria, besanku. Kayaknya ini rumah sakit yang kemarin itu, Rumah sakit tempat Romi dirawat. Mungkin Romi sedang kontrol ke sana. Ku lihat status itu sudah diposting kemarin siang."Kasihan banget cucuku pasti dia masih belum sembuh total," batinku."Kamu dapat foto ini dari siapa?""Ini di status keponakannya Mbak Rina, Bude. Dia kan temanku sekolah," jawab Nanang.Setelah melihat foto Romi, membuat dadaku bergemuruh. Ada rasa marah dan senang di dalam hatiku.Marah karena
Aku hanya bisa tersenyum saja mendengarkan omelan ibu mertua. Namun aku tak sedikitpun bergeser dari tempat dudukku. Karena kalau sampai lengah sedikit pasti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.Tapi saking pintarnya taktik ibu mertuaku hingga penjagaanku yang ketat ini bisa tembus juga. Entah mungkin saat aku mandi atau saat aku mencuci baju Romi berhasil diberi kerokan pisang.Ya, bagaimana lagi, semenjak aku hamil aktivitas mencuci baju aku kerjakan seorang diri. Terlebih setelah aku melahirkan. Mas Adit tidak pernah membantuku karena katanya sudah capek bekerja. Sungguh mengenaskan menjadi istri seorang Adit anak laki-laki satu-satunya yang paling disayang oleh ibunya, yang tak boleh capek-capek melakukan aktifitasnya. Tak jarang aku pun meneteskan air mata karena saking letihnya mengerjakan apa-apa seorang diri.Kalau mengingat masa-masa itu aku sangat sedih sekali. Untung saja Allah masih sayang kepadaku hingga aku bisa melewatinya dengan baik walaupun tak sedikit beruarai