Pov Adit"Memang Zaskia perempuan manja gitu saja sudah lapor ke bapaknya, si*l!" kataku sambil ku pukul-pukul pahaku.Dengan cepat aku mengendarai sepeda motorku ke arah rumah. Jika aku tidak cepat sampai di rumah, ibu pasti semakin marah denganku."Cepetan masuk, Mas! Ibu sudah marah besar," kata Lia sambil terlihat ketakutan saat menyusulku ke depan.Dengan cepat aku memarkirkan sepeda motorku. Dari kejauhan ku lihat ibu sudah menyambutku di pintu masuk.Ingin rasanya pergi jauh dari sini, kalau ujung-ujungnya aku yang jadi seperti ini. Dulu yang aku pikir hanya kerja dan kerja. Kalau sekarang harus ngertiin perempuan segala. Dulu Rina nggak begini banget. Kenapa juga sih Zaskia itu nggak kayak si Rina saja sih? Rina itu selalu nurut dengan ibu untuk ngertiin aku.Saat aku hendak mencium punggung tangan ibuku, ibuku malah menaruh sambal pedas yang bekasnya jari lima nempel di pipiku."Panas sekali rasanya," batinku sambil ku pejamkan mataku. Zaskia-zaskia lihat nanti akan aku balas
"Rina! Kenapa sih kamu itu tidak nurut sama ibu?! Ibu sangat yakin kalau Romi itu sedang lapar. Cepat kasih makan kerokan pisang sana! Di mana-mana namanya manusia dilahirkan ke dunia itu butuh makan, bukan Asi saja! Asi saja yang tidak akan kenyang!" Ibu mertua berteriak dari depan kamarnya.Aku yakin beliau pasti terganggu karena tangisan Romi. Apalagi ini sudah tengah malam.Aku baru melahirkan lima hari yang lalu. Biasanya bayiku kalau malam bangun cuman minta ASI saja. Setelah kenyang juga langsung tidur kembali. Entah kenapa, baru malam ini Romi begitu sangat rewel. Sudah ku pastikan sebelumnya kalau dia tidak sedang mengompol dan buang air besar. Dikasih Asi juga tidak mau. Hingga membuatku bingung sampai membawanya ke luar kamar untuk aku tenangkan."Nih, kasih ke Romi!" Ibu memberikanku satu buah pisang kepok dan satu buah sendok berukuran kecil."Maaf, Bu. Romi masih belum waktunya makan," tolakku."Payud*ra kamu itu kecil, ASI kamu itu dikit nggak bakal bisa buat dia kenyan
Terpaksa aku taruh Romi di atas kasur yang jaraknya tak jauh dari jangkauanku.Sedangkan Mas Adit menutup telinganya rapat-rapat. Dia tidak ingin suara tangisan dari darah dagingnya ini sampai lolos menembus telinganya."Kejam, sungguh sangat kejam kamu, Mas. Dengan anak sendiri kamu sekejam ini. Lihat saja nanti," gumamku.Dengan cepat aku masukkan beberapa baju Romi ke dalam tas. Diam-diam aku mengambil uang di dompet Mas Adit. Biarkanlah aku mencuri uang suamiku sendiri. Bukannya uang suami adalah uang istri juga? Toh uang ini tidak aku gunakan untuk foya-foya.Apalagi selama ini aku juga tidak diberi uang sepeserpun dari hasil kerjanya. Semua uang hasil keringat suamiku selalu diberikan ke pada ibunya. Katanya agar aku tidak boros-boros dalam berbelanja. Ibu mertua lebih berpengalaman dariku untuk mengatur urusan rumah tangga dan masih banyak lagi.Entah berapa lembar uang yang sudah berhasil aku masukkan ke dalam kantong celanaku. Yang jelas kini dompet mas Adit sudah aku kuras h
Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di rumah bidan. "Bu! Tolong, anak saya, Bu!" Ku gedor-gedor pintu rumah Bu Yayuk, bidan desa yang paling terkenal sabar dan telaten di wilayah kampung sini."Ada apa ini Bu Rina?" tanya beliau yang kaget melihatku bercucuran air mata sambil menggendong bayiku yang terus saja menangis."Anak saya, Bu ....""Ayo sini, Bu. Baringkan putranya, akan saya periksa!" Bu Yayuk mengarahkan aku ke ruang pemeriksaan."Bu, anak saya dikasih makan kerokan pisang oleh ibu mertua. Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya, Bu."Bu Yayuk mengangguk-angguk sambil memeriksa perut Romi. Perut Romi terlihat sangat jelas lebih besar dari ukuran biasanya. Bahkan sekarang terlihat sangat keras.Bu Yayuk membalurkan minyak telon ke perut Romi. Setelah itu melakukan pijat ILU, dan gowes (melakukan gerakan seperti mengayuh sepeda). Tak lama kemudian, Romi pun kentut, dan tercium bau menyengat khas kent*ut bayi. Setelah itu, Romi pun langsung tenang."Sepertinya yang masu
"Wanita itu kalau sudah menikah harusnya patuh dengan suami. Apalagi kamu masih numpang di rumah mertua." Ku lihat ibu nampak begitu sangat emosi.Netra yang biasa ku lihat teduh kini berubah menyeramkan. Tutur kata yang biasanya menyejukkan kini berubah seperti auman singa. Takut, aku sungguh sangat takut dengan kemarahan ibuku.Selama ini aku memang tidak pernah memberitahukan kepada ke dua orang tuaku mengenai perlakuan mas Adit dan ibu mertuaku. Selama ini aku hanya menceritakan kalau kehidupanku bersama dengan mas Adit sangat bahagia. Karena aku tak ingin beliau berdua sedih jika mengetahui kalau anaknya ini tersiksa.Aku malu pada diriku sendiri karena aku dulu pernah memohon kepada ayahku agar merestuiku menikah dengan mas Adit. Seorang laki-laki yang berhasil merebut hatiku namun ditolak oleh ayahku.Mungkin inilah balasannya karena tidak menurut kepada beliau. Ternyata apa yang dikatakan beliau adalah benar adanya. Mas Adit ternyata lelaki yang kurang tanggung jawab. Apalagi k
Panik! Semua sangat panik melihat keadaan bayiku. Sekarang suara tangisannya juga sudah melemah. Dengan cepat ayah mengendari mobil buntut hadiah dari almarhum kakakku, saat masih bekerja menjadi TKW di negeri singa putih."Bangun, Nak. Bangun!" Ku tepuk-tepuk lembut pipinya. Namun nyatanya dia terus saja memejamkan matanya."Jangan tinggalkan ibu, Nak!"Di sepanjang jalan aku terus saja berteriak seperti orang tidak waras. Nafasku sudah mulai tak beraturan.Mas Adit mau menyusul atau tidak aku sudah tak peduli. Yang jelas waktu kami berangkat ke rumah sakit dia masih meringkuk di depan televisi. Bahkan orang tuaku saja sampai tidak ingat kalau ada menantunya di sana. Karena memang saking paniknya.Ku baringkan bayiku di pembaringan pasien setelah sampai di ruang UGD."Kenapa dengan bayinya, Bu?" "Anak saya muntah-muntah dan perutnya keras dokter. Tanpa sepengetahuan saya, kemarin neneknya memberikan dia kerokan pisang," tuturku."Kenapa Nenek bisa setega ini dengan cucunya? MPASI di
Pov Ibu Mertua Aku terpaksa memberikan kerokan pisang kepada cucuku secara diam-diam. Karena aku malas berdebat dengan Rina, menantuku.Dikit-dikit kata bidan. Dikit-dikit kata dokter. Sampai panas telingaku mendengarkan perkataannya.Dan sekarang apa yang terjadi? Cucuku nangis jejeritan, kan? Sudah terbukti apa yang aku bilang itu benar. Bayi lahir ke dunia itu butuh makan. Asi saja mana cukup? Yang ada bayi tidak bisa tidur dengan tenang bahkan sering rewel karena lapar.Aku sampai heran, kenapa menantuku itu tidak mau menurut dengan orang yang lebih tua dengannya ini. Mau bagaimanapun ilmu mengasuh bayiku lebih baik daripada dia.Masih terekam jelas di ingatanku. Setelah pulang dari tempat bidan, sehari setelah melahirkan. Dia semakin berani menentangku. "Nanti bayi kamu nggak akan kenyang loh Rin kalau cuma dikasih Asi saja. Di dapur ada pisang, nanti berikan dia kerokan pisang biar tidak lapar," kataku saat mengetahui Rina hanya memberikan Asi kepada cucuku itu."Insya Allah ke
Pagi ini aku sedang sibuk mencabuti rumput liar yang ada di halaman rumah. Ya mau gimana lagi aku tidak punya rewang jadi aku sendiri yang harus turun tangan."Semalam saya denger Romi menangis, Bu. Kok sekarang tidak terdengar suaranya. Apa dia sedang tidur?" tanya Bu Sayuti yang datang bersamaan dengan Bu Mariyah.Sudah seperti kebiasaan di sini kalau sudah selesai masak dan bersih-bersih rumah ibu-ibu suka berkumpul untuk saling menyapa. Tak jarang juga mereka bergosip, ya selayaknya ibu-ibu seperti pada umumnya kalau sedang berkumpul begitu."Iya suara Romi juga kedengaran dari rumahku, Bu. Tapi setelah itu kayak ada suara mobil berhenti di depan rumah Njenengan. Aku pikir semalam ada apa gitu kok tak lihat dari jendela Mbak Rina pergi bersama mobil putih. Setelah itu tak berselang lama Mas Adit juga menyusul.""Oh itu kemarin ibunya Rina sedang masuk rumah sakit. Jadi mau tidak mau dia harus pulang ke rumahnya. Sudah aku bilangin nggak perlu karena punya anak bayi tapi tetep saja