Share

Bab 5

Panik! Semua sangat panik melihat keadaan bayiku. Sekarang suara tangisannya juga sudah melemah.

Dengan cepat ayah mengendari mobil buntut hadiah dari almarhum kakakku, saat masih bekerja menjadi TKW di negeri singa putih.

"Bangun, Nak. Bangun!" Ku tepuk-tepuk lembut pipinya. Namun nyatanya dia terus saja memejamkan matanya.

"Jangan tinggalkan ibu, Nak!"

Di sepanjang jalan aku terus saja berteriak seperti orang tidak waras. Nafasku sudah mulai tak beraturan.

Mas Adit mau menyusul atau tidak aku sudah tak peduli. Yang jelas waktu kami berangkat ke rumah sakit dia masih meringkuk di depan televisi. Bahkan orang tuaku saja sampai tidak ingat kalau ada menantunya di sana. Karena memang saking paniknya.

Ku baringkan bayiku di pembaringan pasien setelah sampai di ruang UGD.

"Kenapa dengan bayinya, Bu?"

"Anak saya muntah-muntah dan perutnya keras dokter. Tanpa sepengetahuan saya, kemarin neneknya memberikan dia kerokan pisang," tuturku.

"Kenapa Nenek bisa setega ini dengan cucunya? MPASI dini bahaya, Nek. Nyawa anak jadi taruhannya." Terlihat dokter sangat kesal setelah mengetahui sebab anakku menjadi seperti ini.

"Bukan neneknya yang ini, Dok. Tapi ibu mertua saya," jawabku.

Terlihat mata ibu terbelalak bahkan dia masih diam terpaku di tempatnya.

Dengan cepat bayiku ditangani. Kini di tubuh mungilnya sudah terpasang alat medis.

"Banyak berdoa, Bu. Semoga anaknya selamat."

Hancur sehancur-hancurnya perasaanku ini. Anak yang seharusnya sehat-sehat saja kini harus berbaring lemah tak berdaya di rumah sakit.

Ku kepalkan tanganku dengan erat. Rasanya ingin aku cakar-cakar suamiku itu. Terutama ibu mertuaku pelaku utama dari kejadian ini.

"Heran aku. Di zaman serba canggih kok masih ada pikiran ibu yang kolot semacam ini."

"Aku ini juga sudah tua tapi kalau ada update perkembangan tentang kesehatan, aku selalu mengikuti. Bahkan anak-anakku semua ku suruh untuk mengikuti saran dari dokter. Karena mereka lebih ngerti, dan banyak ilmunya daripada kita."

"Betul itu, Bu. Kalau sudah kayak gitu kan kasihan."

"Iya, Bu. Anak tetanggaku juga ada yang meninggal gara-gara tersedak saat diberi kerokan pisang."

Deg!

Tak sengaja telinga ini menangkap suara sumbang tentang pengasuhan anakku. Air mataku yang semula kering sekarang langsung bercucuran dengan deras. Bayangkanku sudah nggak karuan.

Sekarang aku hanya bisa menangis dan dalam hatiku terus saja ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku. Kebahagiaan yang harusnya aku rasakan, kini berubah menjadi duka. Luka jahitan di jalan l*hir saja belum sepenuhnya kering, malah sekarang mendapatkan tambahan luka yang lebih dalam lagi.

Dengan pengawasan dokter, kini anakku dirawat secara intensif di rumah sakit ini. Bahkan kami pun tidak diperbolehkan masuk ke ruangan itu. Jika diizinkan masuk pun aku juga tidak akan sanggup melihat kondisi bayiku sekarang ini.

Kepalaku nyut-nyutan dan pandangan mataku menjadi kabur. Rasanya sudah tak tahan kaki ini menopang badanku. Rasanya tubuh ini sangat lemas. Serta dada ini terasa sangat sesak.

"Pelan-pelan, Nak. Hati-hati." Ayah membantuku untuk duduk.

"Kamu yang sabar. Semua ini adalah ujian. Bapak yakin kamu pasti kuat menghadapinya, Nak. Kita doakan sama-sama semoga Romi bisa segera sembuh dan pulang ke rumah dengan selamat." Ayah mencoba menenangkan aku.

"Ayo, minum air putih dulu, Nak. Biar kamu tidak lemas seperti ini."

Hanya seteguk air putih yang bisa masuk ke dalam tenggorokanku. Walau hanya air putih tapi rasanya tenggorokanku susah sekali untuk menelannya.

"Awas kamu, Mas! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku akan aku bawa masalah ini ke jalur hukum! Kalau perlu kamu dan ibumu akan aku jebloskan ke penjara sampai akhir hayat." Ku ucapkan dengan kasar kepada mas Adit sambil ku tarik bajunya.

"Kamu sungguh kejam kepada darah daging kamu sendiri, Mas. Menikah dengan kamu bukannya bahagia. Malah kau buat aku kayak orang gila!" Tangisanku semakin pecah karena kehadirannya.

Lelaki yang barusan datang itu pun hanya bisa terdiam mendengarkan ocehanku.

Beberapa pasang mata melihat ke arah kami tapi aku tak peduli. Kini rasa kecewaku lebih besar dibandingkan dengan rasa maluku itu.

Mau dibilang sudah putus urat malu pun aku tak keberatan. Toh mereka tidak tahu sepahit apakah kehidupanku setelah menikah dengan mas Adit. Ditambah anakku sekarang dirawat juga gara-gara dia. Walau bukan dia pelaku utamanya.

Plak!

Tak ku sangka bapak mengayunkan tangannya kepada suamiku. Yang sebentar lagi akan aku panggil dengan mantan suami itu.

Mungkin karena saking marah dan kecewanya bapak hingga berani menamp*r mas Adit.

"Dasar laki-laki kurang ajar! Sudah berani kau buat sengsara anak dan cucuku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" Dengan wajah yang menyeramkan ayah mengusir suamiku, lelaki yang tak bisa diandalkan.

"Pak, sabar, Pak. Baca istighfar. Sekarang kita sedang ada di rumah sakit, Pak. Bapak jangan ribut di sini. Nanti yang lain bisa terganggu, kasihan mereka." Ibu menengahi pertengkaran ini.

"Ayo, duduk dulu, Pak. Bapak yang sabar."

Bapak menurut dengan apa yang ibu minta. Walau pandangannya masih terlihat tajam melihat ke arah mas Adit.

"Pantas kamu mendapatkan itu dari bapak, Mas," batinku puas atas tindakan bapak kepada menantunya itu.

Ku lihat lelaki yang tak berdaya itu hanya berdiri dan menundukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status