Panik! Semua sangat panik melihat keadaan bayiku. Sekarang suara tangisannya juga sudah melemah. Dengan cepat ayah mengendari mobil buntut hadiah dari almarhum kakakku, saat masih bekerja menjadi TKW di negeri singa putih."Bangun, Nak. Bangun!" Ku tepuk-tepuk lembut pipinya. Namun nyatanya dia terus saja memejamkan matanya."Jangan tinggalkan ibu, Nak!"Di sepanjang jalan aku terus saja berteriak seperti orang tidak waras. Nafasku sudah mulai tak beraturan.Mas Adit mau menyusul atau tidak aku sudah tak peduli. Yang jelas waktu kami berangkat ke rumah sakit dia masih meringkuk di depan televisi. Bahkan orang tuaku saja sampai tidak ingat kalau ada menantunya di sana. Karena memang saking paniknya.Ku baringkan bayiku di pembaringan pasien setelah sampai di ruang UGD."Kenapa dengan bayinya, Bu?" "Anak saya muntah-muntah dan perutnya keras dokter. Tanpa sepengetahuan saya, kemarin neneknya memberikan dia kerokan pisang," tuturku."Kenapa Nenek bisa setega ini dengan cucunya? MPASI di
Pov Ibu Mertua Aku terpaksa memberikan kerokan pisang kepada cucuku secara diam-diam. Karena aku malas berdebat dengan Rina, menantuku.Dikit-dikit kata bidan. Dikit-dikit kata dokter. Sampai panas telingaku mendengarkan perkataannya.Dan sekarang apa yang terjadi? Cucuku nangis jejeritan, kan? Sudah terbukti apa yang aku bilang itu benar. Bayi lahir ke dunia itu butuh makan. Asi saja mana cukup? Yang ada bayi tidak bisa tidur dengan tenang bahkan sering rewel karena lapar.Aku sampai heran, kenapa menantuku itu tidak mau menurut dengan orang yang lebih tua dengannya ini. Mau bagaimanapun ilmu mengasuh bayiku lebih baik daripada dia.Masih terekam jelas di ingatanku. Setelah pulang dari tempat bidan, sehari setelah melahirkan. Dia semakin berani menentangku. "Nanti bayi kamu nggak akan kenyang loh Rin kalau cuma dikasih Asi saja. Di dapur ada pisang, nanti berikan dia kerokan pisang biar tidak lapar," kataku saat mengetahui Rina hanya memberikan Asi kepada cucuku itu."Insya Allah ke
Pagi ini aku sedang sibuk mencabuti rumput liar yang ada di halaman rumah. Ya mau gimana lagi aku tidak punya rewang jadi aku sendiri yang harus turun tangan."Semalam saya denger Romi menangis, Bu. Kok sekarang tidak terdengar suaranya. Apa dia sedang tidur?" tanya Bu Sayuti yang datang bersamaan dengan Bu Mariyah.Sudah seperti kebiasaan di sini kalau sudah selesai masak dan bersih-bersih rumah ibu-ibu suka berkumpul untuk saling menyapa. Tak jarang juga mereka bergosip, ya selayaknya ibu-ibu seperti pada umumnya kalau sedang berkumpul begitu."Iya suara Romi juga kedengaran dari rumahku, Bu. Tapi setelah itu kayak ada suara mobil berhenti di depan rumah Njenengan. Aku pikir semalam ada apa gitu kok tak lihat dari jendela Mbak Rina pergi bersama mobil putih. Setelah itu tak berselang lama Mas Adit juga menyusul.""Oh itu kemarin ibunya Rina sedang masuk rumah sakit. Jadi mau tidak mau dia harus pulang ke rumahnya. Sudah aku bilangin nggak perlu karena punya anak bayi tapi tetep saja
Harusnya hari-hariku sebagai seorang nenek disuguhkan dengan kesenangan menimang cucu. Apalagi Romi adalah cucu pertamaku. Saking sayangnya aku padanya sejak Romi di dalam kandungan, aku selalu memperhatikan asupan makanan untuknya. Apa saja yang harus dimakan dan apa saja yang harus dipantang oleh ibunya.Semua aturan yang diberikan oleh orang yang lebih tua selalu aku dengar. Dari yang nggak boleh makan ikan, menjahit baju, atau apa pun itu yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil selalu aku terapkan kepada Rina. Namun sayang seribu sayang semua perhatianku tidak diterima dengan baik oleh menantuku.Yang kata dokter inilah kata bidan yang itulah. Bikin pusing kalau mendengarkannya. Bahkan dia diam-diam juga berani mengambil ikan dan lauk pauk yang harus dia pantang. Hidung Rina itu kayak hidung kucing, mau aku simpan di manapun dia selalu tahu.Apalagi setelah melahirkan, Rina begitu angkuh. Sayur yang aku masakin jarang sekali disentuh. Entah dari mana datangnya, dia bisa membeli m
"Coba, Ibu lihat ini!" Ku buka amplop coklat yang ada di dalam tas ransel."Uang? Kok banyak sekali uang kamu, Nak? Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" Ibu terlihat kaget."Sudah, Ibu nggak perlu banyak bertanya. Yang penting Ibu sudah tahu kalau uang untuk berobat Romi sudah ada," kataku lagi."Alhamdulillah kalau kamu sudah ada uang. Kalau begini kan ibu juga sedikit tenang."Uang? Hanya demi uang ibu sudah berani mengambil keputusan yang salah. Bahkan tidak peduli dengan harga diri keluarga diinjak-injak oleh ibu mertua. "Pokoknya Rina sekarang nggak mau dengar lagi ibu menyuruh Rina untuk mengambil uang dari mas Adit lagi. Aku harap, jangan, lakukan itu lagi, Bu! Rina tidak suka."Mendengarkan perkataanku ibu langsung diam seribu bahasa.Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Prita. Jasanya tidak akan pernah aku lupakan. Setelah aku melahirkan dialah yang setiap hari selalu mengirimkan aku makanan. Padahal aku tidak pernah cerita apapun yang sedang aku alami selama di
"Lihat, itu! Masih ingin membela menantu dan ibunya itu? Anak kita itu Rina, Bu, bukan Adit. Kenapa kamu malah membela menantu yang tidak tahu diri itu? Jika tadi kamu tidak mencegahku mungkin dia sudah aku jadikan perkedel," ucap bapak."Sudahlah, Pak. Jika sebelumnya aku tahu cerita yang sebenarnya, mana mungkin aku sampai tega menamp*r Rina," ucap ibu tak ingin bapak meneruskan omelannya."Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sangat bersalah kepada kamu, ibu menyesal. Ibu tadi benar-benar terpancing emosi karena Adit sudah berkata yang tidak-tidak mengenai kamu," ucap ibu seraya mengelus pundakku."Makanya, Bu, kalau ada orang mengadu itu dicari kebenarannya dulu jangan asal percaya saja. Apalagi Rina selama ini adalah anak yang jujur tidak mungkin Rina berbohong kepada kita."Kini bapak menyahut lagi terlihat jelas bapak masih belum bisa melupakan kejadian yang telah aku alami."Sudahlah, Pak. Jangan dibahas lagi masalah itu. Itu kan sudah berlalu. Sekarang kita fokus saja dengan kesembuhan Ro
"Ibu tidak ingin kehilangan cucu lagi, Pak. Ibu tidak ingin kehilangan Romi," kata beliau dengan berderai air mata."Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah banyak bersalah kepada kamu dan Romi, Nak. Ibu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Romi.""Tolong, maafin ibu, Nak! Ibu menyesal," ucap beliau lagi.Ibu terus saja meminta maaf ke padaku. Namun entah rasanya aku masih enggan untuk memaafkan beliau.***"Ya Allah selamatkan anakku ya, Allah." Tak ada hentinya ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku tersayang.Hari demi hari aku tetap di sini menjaga anakku yang sedang melawan maut.Silih berganti tetangga dan beberapa saudara datang ke rumah sakit untuk menjenguk Romi. Tak jarang ada juga tetangga yang julid kepada kami."Anak zaman sekarang ini nggak kayak dulu, ya, Bu. Dulu zamannya kita, sejak lahir juga sudah diberikan makan. Lha mau gimana? Bayinya rewel terus. Sedangkan sekarang, baru dikasih makan sedikit saja sudah sakit, dan langsung dilarikan ke rumah sak
Hari-hariku kini aku habiskan di rumah sakit. Bahkan rasanya mulut ini menolak untuk makan walaupun hanya sesendok. Karena hatiku ini sedang benar-benar hancur hingga tidak perduli dengan badanku sendiri.Ku kuatkan jiwa ini apapun nanti jalan yang dipilihkan Tuhan pasti itu yang terbaik untukku. Akan aku terima dengan ikhlas."Rin, aku suapin, ya," kata Prita mengagetkanku. "Tidak usah Prita. Biar aku makan sendiri nanti," jawabku."Tapi nasi ini sudah sejak tadi kamu anggurin. Nanti keburu nggak enak dimakan," katanya lagi.Sampai tak sadar nasi yang sudah aku buka sejak tadi tidak kunjung aku makan. Entah aku sekarang jadi sering melamun."Eh, iya. Aku makan kalau gitu." Dengan malasnya aku pun mulai menyendok nasi yang dibawakan Prita."Kamu yang sabar ya, Rin. Aku yakin kamu dan Romi adalah manusia yang kuat. Kalian bakal bisa melewati semua ini," tuturnya pelan."Makasih ya, Prit," jawabku singkat. "Ngomong-ngomong besok mau dibawakan makanan apa lagi?" tanyanya lagi."Tidak u