Share

Bab 4

"Wanita itu kalau sudah menikah harusnya patuh dengan suami. Apalagi kamu masih numpang di rumah mertua." Ku lihat ibu nampak begitu sangat emosi.

Netra yang biasa ku lihat teduh kini berubah menyeramkan. Tutur kata yang biasanya menyejukkan kini berubah seperti auman singa. Takut, aku sungguh sangat takut dengan kemarahan ibuku.

Selama ini aku memang tidak pernah memberitahukan kepada ke dua orang tuaku mengenai perlakuan mas Adit dan ibu mertuaku. Selama ini aku hanya menceritakan kalau kehidupanku bersama dengan mas Adit sangat bahagia. Karena aku tak ingin beliau berdua sedih jika mengetahui kalau anaknya ini tersiksa.

Aku malu pada diriku sendiri karena aku dulu pernah memohon kepada ayahku agar merestuiku menikah dengan mas Adit. Seorang laki-laki yang berhasil merebut hatiku namun ditolak oleh ayahku.

Mungkin inilah balasannya karena tidak menurut kepada beliau. Ternyata apa yang dikatakan beliau adalah benar adanya. Mas Adit ternyata lelaki yang kurang tanggung jawab. Apalagi keluarga mas Adit adalah keluarga yang sedikit berpunya kalau dibandingkan dengan keluargaku.

"T-tapi, Bu. Rina punya alasan kenapa membawa Romi pergi dari rumah saat tengah malam."

"Jangan, banyak alasan! Adit sudah menceritakan semuanya kepada ibu. Kamu sudah berani membantah perintah suami dan mertua kamu, kan?! Hanya karena kamu marah tidak diperbolehkan keluar jalan-jalan. Hingga kamu nekad kabur dari rumah. Ingat anak kamu itu masih kecil. Mereka ada benarnya baru melahirkan lima hari saja sudah ngebet ingin pergi ke luar."

"Astagfirullah." Ku usap dadaku yang terasa amat sesak.

"Lihat suami kamu itu. Lihat! Dia keletihan sampai-sampai dia tidak masuk kerja karena bingung mencari kalian." Ibu menunjuk mas Adit yang sedang meringkuk di depan televisi.

"Sandiwaramu sungguh luar biasa, Mas. Setega itu, kamu kepadaku. Kamu sudah berbohong ke pada ibu, hingga membuat ibu semarah ini kepadaku," batinku seperti disayat-sayat belati.

Lelaki yang seharusnya bijak dalam memutuskan masalah. Malah tambah memperkeruh masalah. Bukan ini yang aku mau dari imamku. Bukan!

Ku tarik nafas dalam-dalam. Sungguh malang nasibku. Semalam aku sudah berjuang untuk menyelamatkan bayiku. Bahkan pipiku pun tak lewat dengan tampar*an ibu mertua. Sekarang malah ibu kandungku sendiri yang tega menamp*rku, sebelum mendengarkan penjelasan dariku.

Tak mungkin aku menjawab terus perkataan ibu. Aku tak ingin bertengkar dengan ibuku sendiri. Karena aku sangat tahu kalau ibu hanya dipengaruhi oleh mas Adit.

"Bu! Kenapa Ibu lakukan itu kepada Rina? Kasihan dia barusan datang sudah kamu omelin begitu."

Ayah keluar sendirian dari kamar. Mungkin Romi sekarang sudah tertidur. Beliau berusaha melerai ibu yang terus saja memojokkanku.

"Sudah, Pak. Bapak itu jangan bela dia terus. Dia itu sudah kelewatan. Memang sudah nggak punya akal apa gimana anak kita ini. Memangnya kalau ada apa-apa dengan anaknya dia bisa sendiri, apa?"

Ibu masih saja menerocos. Terlihat sangat begitu khawatir dengan kondisi bayiku.

"Duduk dulu, Bu," ajak bapak lembut agar amarah ibu bisa mereda.

"Enggak, Pak. Aku masih belum puas mengomeli anak kita ini. Sudah ditaruh di mana hatinya itu? Kalau terjadi apa-apa dengan anaknya bagaimana?"

Bulir-bulir air menetes di pipi ibu. Sungguh pemandangan yang tak ingin aku lihat seumur hidupku. Aku tak tega jika harus melihat ibu seperti ini.

"Kita kan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana, Bu. Kita harus tahu alasannya dari mulut anak kita sendiri. Aku yakin Rina punya alasan. Tidak mungkin dia ngawur begitu."

"Tidak, Pak! Aku yakin dia memang yang sudah bersalah. Kalau ada masalah kan bisa dibicarakan baik-baik. Kenapa harus tiba-tiba kabur dari rumah?" Tangisan ibu semakin menjadi.

"Sudah, Bu. Yang sabar. Jangan, langsung percaya dulu kepada Adit. Kita sudah tahu sendiri bagaimana anak kita. Sebelum melakukan hal ini pasti dia sudah pikirkan matang-matang. Percaya sama bapak."

"Ibu itu tidak ingin kehilangan cucu kita lagi, Pak. Sudah cukup kita kehilangan cucu dan anak pertama kita. Yang sekarang ini jangan sampai terjadi lagi. Aku ingin Romi tumbuh menjadi anak yang sehat."

Tak ku sadari butir-butir air mataku pun ikut berlomba-lomba membasahi pipiku.

Tersedak? Iya, keponakanku meninggal dunia karena tersedak. Dia diberi kerokan pisang oleh neneknya setelah lahir ke dunia. Hingga belum sampai tiba di rumah sakit nyawanya sudah tidak tertolong. Hingga membuat kakakku sampai depresi dan mengakhiri hidupnya. Sungguh sangat miris sekali.

Keluargaku tidak berani membawa masalah ini ke jalur hukum karena kami ini adalah orang yang sederhana berbeda terbalik dengan keluarga mertua kakakku yang terkenal lebih tinggi kastanya dibandingkan keluargaku.

"Sudah, Bu. Semuanya itu sudah takdir. Semua kejadian yang dulu pernah dialami Marini dan bayinya sudah kehendak Allah. Sudah jangan ditangisi lagi. Doakan semoga mereka tenang di alamnya."

"Iya, Pak."

Tiba-tiba bayiku menangis dengan kencang aku pun langsung pergi untuk melihatnya.

"Pak, kenapa dengan cucu kita ini?!" teriak ibu yang terlihat sangat khawatir.

Romi muntah-muntah dibarengi dengan suhu badannya yang meninggi.

"Pisang?" Ibu kaget saat mengelap bajunya yang terkena muntahan Romi. "Dia kan masih belum waktunya makan."

Ku buka baju Romi ternyata benar perutnya keras lagi. Apalagi dia terus saja muntah.

"Ya Allah, Romi! Jangan tinggalkan ibu, Nak! Kamu harus bertahan. Kamu harus kuat." Kini rasanya air mataku sudah kering. Hingga sudah tidak bisa keluar lagi.

Dengan segera kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status