PERTIWISebuah cahaya yang menusuk mataku, membuat mataku membuka. Aku memperhatikan sekeliling. Ini adalah kamarku. Aku bisa mengetahui dari plafonnya.Kedua bola mataku lalu bergulir ke bawah. Melihat ke arah tubuhku yang terasa begitu enteng dan lega. Mataku melebar begitu mendapati diriku tanpa pakaian dan hanya tertutup selimut tebal dari mulai bagian dada. "AAAAA!" Aku spontan menjerit seketika bersamaan dengan tubuhku yang bergerak bangun. "A-aku tidak berpakaian?"Belum dapat mengurai pertanyaan barusan, sebuah suara yang aku kenal menyambar indera pendengaranku."Kamu sudah bangun?" Membuat aku menoleh seketika ke sumber suara dan mendapati Wilson sedang duduk di kursi meja rias menatap nanar ke cermin. "AAAAA!" Aku pun menjerit sekali lagi. Bagaimana tidak, dengan keadaanku yang seperti ini, ada pria yang bukan mahramku berada di kamar yang sama denganku. Tapi sedetik kemudian aku membekap mulutku sendiri menggunakan satu tanganku begitu mengingat sesuatu. Sesuatu itu adala
PERTIWIDari tangga tempatku berdiri sekarang aku melihat Wilson sedang menyiapkan sarapan. Pria itu menyiapkannya dengan begitu santai. Seperti tanpa beban dan sudah terbiasa. Seketika hatiku merasa kagum. Seorang cucu pemilik perusahaan yang begitu mandiri, tidak pernah terlihat mengeluh, dan selalu ceria. Sangat berbeda dengan karakter Mas Kevin yang justru sebaliknya."Sudah mandi ya?" Ternyata dia melihat kehadiranku. Aku tersenyum dan mendekat kepadanya. "Iya. Sepertinya kamu sangat ahli dalam menyiapkan sarapan. Kamu sudah terbiasa?""Wilson membalas senyum. "Aku ini kan lama di rantauan. Jadi ya... perkara menyiapkan sarapan untuk diri sendiri bukan hal yang sulit. Bahkan aku terbiasa dengan melayani orang lain."Aku menarik kursi. "Apa bos kamu tau kalau kamu cucu seorang pemilik perusahaan?""Tidak dong. Nanti bosku jadi sungkan menyuruhku kalau dia mengetahui itu. Lagian untuk apa mengatakan itu padanya? Tidak penting juga.""Untuk sebagian orang, memberitahu keistimewaan
PERTIWIKakek hanya diam menanggapi Mas Kevin yang memeluk kakinya. Wajahnya tidak lagi tampak marah melainkan bingung. Malah cenderung sedih. Entah apa yang membuatnya begitu. "Dengar Kev, Kakek menikahkan kamu dengan Pertiwi karena kamu itu cucu kesayangan Kakek. Sayang Kakek padamu jauh melebihi sayang Kakek pada Wilson. Tapi hari ini kakek sangat kecewa kepadamu. Kamu mencampakkan kasih sayang kakek begitu saja seolah kakek ini tidak memiliki jasa apa pun padamu."Aku melirik Wilson, pria itu sudah duduk tenang di sofa. Saat kakek bilang kalau kasih sayang kakek lebih besar pada Mas Kevin dibandingkan dirinya, dia tidak tampak marah. Sepertinya Wilson sudah tahu itu. Sudah tahu kalau kakek lebih sayang pada Mas Kevin.Sementara Mas Kevin pelukannya di kaki kakek tidak kencang lagi. Tapi wajahnya menunduk dalam. Dia terlihat sangat merasa bersalah. Namun aku tidak tahu apakah dia benar-benar menyesal atau tidak."Kamu tau, Kev?" Kakek melanjutkan perkataannya. "Jika tidak ada kake
PERTIWI"Darimana mbak tau kalau kami habis dimarahin sama kakek?" tanyaku sembari memperhatikan Mas Kevin yang tampak salah tingkah."Lha, kedatangan kalian berdua ke sini atas permintaan kakek kan?" Mbak Julia ini sepertinya sangat yakin kalau skenarionya dengan Mas Kevin berhasil. Itu sebabnya dia ngotot kalau kami barusan dimarahin kakek. Kasihan sekali memang Mbak Julia ini. Apalagi setelah dia tahu kalau yang dimarahin oleh kakek ternyata bukan kami melainkan Mas Kevin.Aku mengangguk. "Ya, karena kakek yang minta.""Dan kakek bilang apa pada kalian? Pasti kakek memarahi kalian kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Kakek tidak memarahi kami. Coba deh kamu tanya pada Mas Kevin apakah kakek memarahi kami atau tidak."Mbak Julia mengikuti ucapanku. Dia menoleh pada Mas Kevin yang berdiri di sampingnya. "Kev, tadi kakek memarahi mereka berdua kan?"Rahang Mas Kevin mengencang mendengar pertanyaan Mbak Julia. "Kamu itu terlalu banyak bicara. Sekarang ikut aku ke ruanganku."***KEVIN'Kakek
KEVIN"Wi! Tiwi!" Aku memanggil nama itu meskipun ku tahu mungkin Pertiwi sudah tidak di rumah lagi karena kakek sudah menyuruh istriku itu pindah ke rumahnya. Tak ada sahutan. Artinya dia memang sudah pergi. Untuk memastikannya adalah lantai dua di mana kamarnya berada.Aku pun naik ke lantai dua dan langsung menuju kamarnya. Tak banyak perubahan. Tapi memang beberapa barang sudah tidak ada di tempatnya lagi. Pertiwi sepertinya hanya membawa barang-barang tertentu. Yaitu barang yang dibelikan oleh kakek dan meninggalkan yang pemberian dariku.Apakah karena kejadian ini dia jadi sangat membenciku sehingga tidak sudi memakai barang pemberian dariku? Entahlah. Tapi mungkin saja memang begitu mengingat saat kami bersama aku tidak pernah memberinya cinta dan malah memfitnahnya.Lelah setelah seharian ini banyak emosi yang tersulut, aku mengambil duduk di tepi tempat tidur di kamar Pertiwi ini. Termenung. Memikirkan apa yang sudah terjadi pada hidupku selama dua tahun ini.Dua tahun lalu,
PERTIWI"Bagaimana tempatnya? Bagus?" tanya Wilson. Saat ini kami sedang berada di sebuah tempat yang bakal kami sewa sebagai tempat usaha nanti."Bagus. Aku suka," jawabku. Wilson ini sangat bisa diandalkan. Dia bisa merealisasikan sebuah tempat yang ada dalam benakku."Syukurlah. Kita tinggal tunggu Mas Aji datang." Mas Aji adalah arsitek yang akan merancang tempat makan seperti yang aku impikan.Sambil menunggu Mas Aji datang, kami duduk di sebuah bangku yang ada di bawah pohon."Boleh aku tanya sesuatu tidak?" tanyaku pada Wilson."Boleh. Tanya saja.""Kenapa kamu selalu mau membantuku? Padahal saat ini kamu lumayan banyak menguras tenaga dan pikiran untuk perusahaan yang sedang kamu bangun."Wilson menatap lurus ke depan. Keningnya mengerut seperti memikirkan sesuatu. "Karena apa ya? Karena menolong orang menyenangkan kali ya? Selain itu karena kamu cucu kesayangan kakek sih. Barangkali saja aku juga bisa dapat kasih sayangnya kakek juga.""Memang kamu merasa kakek tidak sayang s
KEVINProses perceraianku dengan Pertiwi sudah selesai tanpa sekali pun dia datang. Pertiwi melimpahkan perceraian sepenuhnya pada pengacaranya. Lalu aku pun mengikuti maunya kakek. Yaitu menikahi Julia meskipun perasaanku pada Julia sudah tidak sedahsyat dulu lagi. Aku mau menikahi Julia adalah demi menarik simpati kakek lagi. Aku masih sangat berharap kakek akan memberikan kepemimpinan perusahaan padaku.Dan hari ini adalah hari pernikahanku dengan Julia. Tak banyak yang aku undang, hanya orang-orang perusahaan. Itu pun semua yang mengurus undangan adalah Julia. Aku sendiri tak bersemangat dengan pernikahan ini. Karena apalagi yang mau disemangati? Malam pertama? Aduh, aku sudah tahu bagaimana rasanya Julia. Malah cenderung bosan.Aku mengedarkan pandangan pada para tamu undangan. Tidak ada satu pun dari pihak kakek yang datang. Termasuk kakek sendiri. Tapi kalau keluarga dari pihak Julia, semuanya datang. Jelas saja, keluarganya sangat bangga pada Julia yang bisa menikah dengan ak
WILSON"Tidak, kek. Aku tidak setuju kalau kakek melepaskan kepemimpinan perusahaan pada orang lain sekarang. Sekali lagi aku tekankan kalau kakek masih gagah, masih pintar, dan kakek masih mampu." Aku menegaskan pada kakek sekali lagi."Terus bagaimana caranya agar kamu mau menikahi Pertiwi? Apakah kamu punya syarat lain?" Kakek tampak memelas. Rasa berhutang budi kakek pada kakeknya Pertiwi membuat hidupnya jadi tidak tenang."Aku akan menikahi Pertiwi seperti keinginan kakek tanpa kakek harus melepaskan kepemimpinan perusahaan," jawabku kemudian yang membuat wajah kakek langsung berubah sumringah. "Benarkah?" Kakek masih membutuhkan penegasan atas jawabanku untuk menyakinkan dirinya tidak salah mendengar."Iya. Aku akan menikahi Pertiwi seperti keinginan kakek.""Alhamdulilah...." Kakek tampak sangat bahagia dan lega. Tapi sedetik kemudian, dia menatapku lekat. "Kamu tidak merasa terpaksa bukan menerima permintaan kakek ini?""Tentu saja tidak. Kenapa aku harus merasa terpaksa. Ak