Naura tertidur pulas setelah tiga ronde berlalu.
Pria itu menatap Naura dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan. Ia memakai celana dan jubah warna merah darahnya. Setelah itu, dia berdiri dan berjalan ke keluar kamar dengan aura yang menyeramkan. "Bibi, kamu bersihkan tubuh wanita dan pakaikan dia baju. Sekarang tubuhnya lemas, karena aku terlalu banyak mengajaknya bermain dan mengambil darahnya." "Baik Tuan Muda Liam," jawab Sania. Ia segera melakukan apa yang sebelumnya diperintahkan oleh Liam. Liam berjalan ke arah ruang kerja miliknya. Ia duduk dikursi miliknya dengan banyaknya dokumen yang menumpuk diatas meja. "Tuan muda Liam, tolong ampuni kami. kami nggak bermaksud untuk berkhianat!" kata seorang pria paruh baya dengan tato naga dipunggung tangannya. Ia nampak berlutut dihadapan Liam. Aura Liam sangat menakutkan, walaupun dia baru berumur 25 tahun tapi sebagai pengusaha nomor 1 dinegeri ini. Ia sangat berkuasa dinegeri ini dalam bidang bisnis bersih maupun bisnis kotor. Liam melirik ke arah asisten pribadinya, "Dia sudah membatalkan kerjasama dengan perusahaan kita?" Tanyanya. "Belum Tuan, tapi dia sudah meminta pengacaranya untuk membuat pengajuan surat pembatalan setelah rumor kematian Tuan Liam tersebar luas," sahut Dylan seraya menunjukkan sebuah makalah pembatalan milik pria itu. Liam hanya melirik dokumen itu sekilas, dan ia dengan mudah bisa melihat isinya. Wajahnya terlihat menyeramkan. Dirinya yang belum sepenuhnya sempurna, belum bisa terkena cahaya matahari. Liam berjalan ke arah pria yang masih berlutut dikakinya. "Kamu dari Marga Mananta bukan? pemilik Universitas Taruna?" Pria itu mengangguk, matanya berpandangan dengan kedua bola mata Liam yang berwarna merah darah. Dengan nada bergetar ia menjawab, Iya." Liam membalikkan badannya dan tersenyum tipis penuh makna, wajahnya yang seputih porselen terlihat begitu menyala di kegelapan. "Bunuh orang-orang yang sudah berani membatalkan kerja sama dengan perusahaan kita!" Titah Liam pada Dylan. Dylan mengangguk tanpa membantah. Sementara mereka yang sudah terlanjur membatalkan kerja sama hanya bisa terduduk dan berlutut. Dylan langsung menyuruh beberapa penembak jitu didalam ruangan itu untuk menembak bagian vital tubuh mereka. "Buat keluarga mereka meninggalkan negara ini!" imbuh Liam pada Dylan. "Terus untuk Tuan Mananta bagaimana?" tanya Dylan. "Awasi terus gerak geriknya. Kalau sampai berkhianat lagi hancurkan keluarganya!" ***** Naura terbangun saat kepala pelayan Sania membangunkannya. "Nyonya muda, apakah Anda ingin pergi ke kampus?" tanyanya seraya membuka korden. Cahaya matahari langsung masuk ke dalam kamar, Naura tidak ingin berangkat mengingat badannya lemas, sakit, dan terasa remuk. Bahkan lehernya terasa sangat sakit. Tapi tiba-tiba kedua bolanya yang langsung membulat sempurna, saat teringat jika sekarang ini sedang dilakukan ujian semester. "Iya, aku harus berangkat ke kampus." jawabnya, tapi setelah bangun Naura malah menatap Sania. "Bibi, apakah tidak apa-apa aku berangkat ke kampus?" tanyanya. Sania tersenyum sangat manis, lalu membelai pucuk kepala Naura. Hati Naura seketika menghangat. Sania membalas tatapan Naura dengan tulus. "Tidak apa-apa Nyonya muda, Tuan Liam dan Nyonya Helena sangat menyukai wanita berpendidikan. Mereka tahu, Nyonya muda sangat pintar dikampus dan mereka berdua mendukung penuh." Naura tersentuh, bahkan air mata menetes dari pelupuk matanya. Dia mengusapnya perlahan. "Bibi Sania, bolehkah aku memelukmu! Sejak aku berumur 5 tahun, ibu kandungku sudah meninggalkan ku," ucapnya penuh harap. Sania mengangguk disertai dengan senyuman hangat. Naura pun memeluk Sania, pelayan itu membalas dengan membelai punggung Naura. Setelah Naura masuk ke dalam kamar mandi, dia mandi dengan sangat cepat. Setelah keluar dari dalam kamar mandi, Sania menuntunnya pergi ke walk in closet yang ada didalam kamar. Kedua bola mata Naura membelalak sempurna, saat melihat banyak sekali baju ukurannya yang tertata rapi disana. Sania sedikit banyak tahu, tentang masa lalu Naura dari beberapa informan yang disewa oleh Helena. Apalagi, saat Naura pingsan selepas malam pertama, dia yang membersihkan tubuh Naura dan mengganti bajunya. Dia melihat banyak sekali luka ditubuh Naura. Sania bisa menduga, kalau Naura sering sekali mendapatkan kekerasan dari keluarganya. Sania menepuk punggung Naura, "Baju-baju ini sudah disiapkan oleh Nyonya Helena untukmu!" Dia mengambil salah satu baju. "Dan ... Ini seragam baru yang sudah dibelikan oleh Nyonya Helena." Naura menatap seragam baru yang ada didepannya, dia mengangguk dan masih berusaha mencubit pahanya. Memastikan apakah semua ini mimpi atau tidak? Tapi pahanya terasa sakit. Ini berarti semua ini adalah nyata. Naura menempuh pendidikan di universitas Taruna, universitas paling bagus dan bergengsi di kota Alaska. Universitas Taruna hanya memiliki satu jurusan yaitu Teknologi. Dia bisa masuk kampus itu karena jalur prestasi, mengingat biaya kuliah disana sangatlah mahal. Ayahnya tidak mau mengeluarkan uang satu sen pun untuk menyekolahkan dirinya, tapi untuk Laura ayahnya bahkan memasukkan Laura ke kelas terbaik dan termahal. Dengan biaya perbulan mencapai 500 juta, itu belum termasuk biaya lainnya. Seragam yang barusan diberikan oleh Sania adalah seragam untuk mahasiswa tipe kelas A. Di universitas Taruna, ada tingkatan kelas berdasarkan harga yang dibayarkan oleh orang tua murid. Karena Naura masuk ke universitas Taruna dengan jalur prestasi, dia masuk tipe kelas D. Tipe kelas kasta terendah yang sering menerima Bullyan atau pun hinaan dari tipe kelas lain. "Nyonya muda, ayo segera pakai bajumu!" titah Sania dengan suara lembut. Namun hal itu mampu membuyarkan lamunan Naura. Bukanya memakai bajunya, Naura malah menatap Sania dengan tatapan bingung. Sania yang mengerti, langsung berkata, "Nyonya Helena nggak mau menantunya tinggal dikelas yang paling buruk di universitas Taruna. Dia memindahkan mu ke kelas tipe A." Kedua bola mata Naura langsung berbinar. Dia mengangguk senang. Setelah memakai seragamnya, Naura ditarik Sania ke depan meja rias. Dia melihat pantulan wajahnya didepan cermin dari jarak yang lumayan jauh. "Kenapa aku bisa melihat tanpa kaca mata?" gumam Naura penuh kebingungan. Sania yang mendengar gumaman Naura hanya bisa tersenyum tanpa berniat menjelaskan. Dia meminta Naura untuk melihatnya saat menyapukan beberapa rangkaian perawatan kulit ke wajah Naura. "Besok kamu bisa-kan memakainya sendiri?" tanya Sania. Naura menjawab dengan senyuman, "Bisa ... Bisa." Lalu dia terus memandangi wajahnya yang ada didepan cermin. Dia terus mengagumi wajahnya yang sangat cantik dengan riasan tipis dan tanpa kaca mata. Tiba-tiba keningnya mengkerut, saat mendapati lehernya ada bekas gigitan taring, sontak tangannya menyentuh ke lehernya. Dia merasa sakit, tapi akhirnya dia ingat. Semalam, pria itu meminta bayaran setelah menyembuhkan matanya. Tapi ... Siapa pria itu? Kedua bola mata Naura tiba-tiba membelalak sempurna, rasa takut menghampiri dirinya. Semalam pria itu sudah melakukannya pada dirinya, berarti dia sudah berkhianat pada suaminya. Gawat!! Setelah itu, Naura mengikuti Sania untuk makan diruang makan. Ia berusaha tetap bersikap biasa saja. Saat berjalan keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan, dia sangat takjub saat melihat kemewahan yang ada. Apalagi saat Sania mempersilahkannya untuk duduk dikursi makan, makanan diatas meja sangat banyak dan menggugah selera. Naura dengan posisi melongo hanya mengangguk setelah diberikan intrupsi dan cara makan yang baik oleh Sania. Karena lima menit lagi, Helena pasti akan datang dan sarapan. Naura diminta untuk menunggu. Dia yang sebenarnya suka makan, menelan ludahnya yang kelu berkali-kali saat melihat makanan didepannya. Kedua bola mata Naura menyipit, saat dia melihat mantan Laura berada didepannya. "Ghani ... " Sementara Ghani hanya membalas tatapannya penuh kebencian.Naura melangkah cepat meninggalkan keramaian pesta jamuan bisnis yang penuh dengan suara tawa dan percakapan berbisik. Apalagi di tambah dengan pertengkaran yang dilakukan oleh Liam dan Steven, ia merasa seperti tidak mempunyai ruang Nafasnya terasa sesak, seolah udara di dalam ruangan itu berubah menjadi beku yang mengekang pikirannya. Ia mencari udara segar di teras, berharap bisa meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Mengingat jika sekarang dirinya sedang hamil, seringkali merasa moodnya sering berubah. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras membuat tubuh Naura kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung dan terjatuh ke arah kolam renang yang ada di samping taman belakang. Mata Naura melebar, jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dan melihat Laura berdiri dengan senyum sinis di bibirnya. Seketika Daniel muncul dari balik kerumunan dengan langkah tegap dan mata yang menyala penuh tekad. Ia melangkah cepat ke arah Naura yang hampir terjerembab ke air. Tanpa
"Kamu mengenal istri Liam?" celetuk Victor dengen nada sedikit terkejut, tapi ntah kenapa ia merasa jika hubungan Steven dengan Naura tidak sesederhana itu. Steven diam, ia berharap Naura menanggapi ucapannya. Saat ingin menanggapi ucapan Steven, Victor sudah menyela ucapannya. "Kalau kalian mengenalnya, Tapi kenapa kalian berdua tidak memperkenalkannya padaku?" tegur Victor dengen suara pura-pura kesal. Walaupun ia sudah pernah mendengar rumor pernikahan Liam, tapi itu hanya rumor, tentu saja ia ingin tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Liam dan Steven sama-sama diam, tdiak menangapi ucapan Victor. Lalu tatapan Liam menatap tajam ke arah Steven, "Bagaimana pun juga Naura istriku, bahkan dia juga sedang hamil anakku. Aku nggak akan pernah berniat untuk menceraikannya." Victor memegang dadanya terkejut, ia menatap Liam dengan tatapan bingung penuh tanda tanya. "Naura sudah hamil empat bulan sekarang, dan selama kehamilannya kamu selalu bersama dengan Kanaya." sah
"Rencana?" tanya Laura pura-pura. Daniel sontak Laura dengan tatapan tajam, wajahnya bahkan berubah merah padam. Ia sudah tidak bersikap sungkan lagi pada gadis jahat itu. "Sekarang simpan saja aktingmu itu untuk orang lain, kesedihanmu sama sekali tidak berpengaruh padaku." "Sekarang aku memberikan waktu padamu selama sebulan, Naura harus sudah bisa berada di sisiku. Kalau tidak jangan harap kamu masih bisa jadi mahasiswa di kampusku, dan keluarga Alfa mu bisa keluar dari krisis kebangkrutan." ancam Daniel. Laura menatap Daniel, matanya yang biasanya tenang kini menyimpan bara amarah yang sulit disembunyikan. Apalagi saat melihat Daniel memalingkan pandangannya dari dirinya dan menatap ke arah Naura dengan penuh kelembutan. Dalam hatinya, suara kecil itu mengumpat tajam, "Bukankah dulu kak Daniel begitu perhatian padaku? Kenapa sekarang dia malah mengejar Naura? Apa istimewanya Naura sampai-sampai harus dilirik lagi, padahal dia sudah punya suami?" Tatapan Laura ta
Steven tidak memperdulikan ucapan sahabatnya, wajahnya sekarang ini nampak masam. Ibunya sekarang khawatir, "Steven, ibu nggak bisa membantumu. Bagaimana pun juga, kita nggak bisa menyinggung keluarga Arnold." Solar Alan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia juga tidak bisa memaksa putranya menikah dengan wanita lain. Mengingat orang yang patah hati, bisa melakukan hal yang sangat kejam tanpa berpikir dulu. Bagaimana pun juga, Steven adalah putra tunggalnya. Mengingat selama ini juga putranya tidak pernah suka atau pun jatuh cinta pada siapapun. Steven tetap diam, tidak pernah menanggapi ucapan ibunya. "Steven ... " Solar memegang lembut pergelangan tangan anaknya. Tapi, Steven malah menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. "Kenapa sekarang ini cerewet sekali? Kalau ibu menyuruhku menyerah, itu nggak akan pernah mungkin terjadi." ujar Steven. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap putranya dengan sedih. "Apakah ibu lupa? Kalau gadis itu a
Naura membuka matanya perlahan saat sebuah sentuhan lembut menyapu pipinya. Kedua tangannya seketika berhenti, matanya melebar penuh kebingungan saat menyadari ada dua wanita perias duduk di sisi ranjangnya, sibuk merapikan riasan wajahnya dengan gerakan cekatan dan penuh perhatian. Tatapan Naura melayang mencari-cari sesuatu, lalu bertemu dengan sosok Liam di sudut ruangan yang tampak serius, sibuk berganti-ganti layar ponselnya tanpa menoleh. Perasaan bingung bercampur canggung merayapi hati Naura, hingga Liam akhirnya menoleh dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Jamuan bisnis akan dimulai dua jam lagi," ucapnya lembut, menenangkan kebingungan istrinya. Seorang perias dengan suara halus mendekat, "Bisa bangun, nyonya? Kami ingin mulai membuat sanggul agar penampilan anda semakin anggun." Naura mengangguk pelan, tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat bangkit dari ranjang. Liam yang menyaksikan itu tertegun, matanya membelalak kagum. Selama ini, ia belum pe
Sore harinya, Helena masuk ke dalam kamar putranya. Disana ia melihat Liam yang sedang memandangi istrinya yang tertidur pulas. "Sekarang apakah kamu menyesal? Karena nggak dengerin ucapanku," celetuk Helena, hal itu sungguh membuat Liam terkejut. Karena ia tidak melihat siluet ibunya saat masuk ke dalam kamarnya. Liam segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar kembali, sebenarnya ingin mengakuinya, tapi ia terlalu gengsi. "Nggak ada penyesalan, lagian Naura itu istriku. Dia pasti akan kembali padaku, diperutnya juga ada darah dagingku." Ia terlihat sangat percaya diri. Helena hanya bisa menghembuskan napas kasar, setelah mendengar ucapan putranya. Ia hanya bisa berharap semoga Naura tidak mendengar ucapan Liam. "Terserah kamu-lah. Yang penting ibu sudah mengingatkan mu," sahut Helena tanpa daya, ia ingin keluar tapi malah teringat sesuatu. "Oh ya, ibu sudah memesankan gaun untuk Naura. Ibu mengatakannya karena ingin meminta ijin padamu, untuk mengajak Naura pergi