Share

Bab 7 Janji Tetaplah Sebuah Janji

"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza.

Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum.

"Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva.

"Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya.

'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat.

"Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan.

"Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap dengan ajakan menikah tiba-tiba yang mungkin Malvin utarakan. Mungkin, tadi rasa percaya diri Moza sungguh tinggi untuk percaya dengan feelingnya kali ini.

"Ah, iya?" Malvin menyahut.

"Kita pesan minuman dulu Tuan. Saya tahu Tuan pasti haus," cetus Moza seraya menyunggingkan senyum manis. Ia kemudian membuka buku menu di samping meja.

"Tuan pesan minum apa?" tanya Moza terdengar ramah.

"Cold Press Espresso," jawab Malvin setelah ikut membuka menu.

"Baik, saya akan kembali setelah saya selesai memesan." Moza sengaja meninggalkan Malvin, ia beranjak kemudian melangkah mendekati barista di ujung ruangan.

Bagaimana pun Moza harus mempersiapkan dirinya untuk menolak dengan tegas pernikahan yang sudah diatur sepihak itu. Sekitar lima menit kemudian, Moza kembali bersama seorang pelayan yang membawa nampan minuman Moza dan Malvin. Setelahnya mereka bersama-sama menyeruput minuman mereka masing-masing.

"Nona ada yang ingin saya bicarakan," ucap Malvin menatap wanita di hadapannya.

"Iya, saya juga ingin membicarakan sesuatu dengan Tuan," timpal Moza seraya meletakkan gelas minuman di meja.

"Baiklah, jadi haruskan Nona dulu atau saya dulu yang akan memulai?" tanya Malvin seraya menyunggingkan senyum kecil. Berhasil membuat Moza sedikit terlena.

"Silakan Tuan duluan." Moza mengalah, lagian akan susah untuknya jika memulai percakapan penting setelah diberi senyum manis itu. Apalagi yang ingin ia utarakan adalah sebuah penolakan.

"Baik, karena ajakan menikah saya lewat telepon kemarin tidak disukai Nona. Kali ini secara langsung saya ingin mengatakan ... menikahlah dengan saya Nona Thara. Saya akan menerima Nona maupun masa lalu Nona," ucap Malvin serius seraya menatap wajah Moza yang langsung melongo.

'Ha? Ini bener aku diajak nikah? Perasaan kok enteng bener Pak CEO ngomong. Aduh, hatiku gembira riang tak terkira mendengar Pak CEO ngajak nikah gini. Walaupun emang gak romantis, tapi berhasil bikin hatiku gak simetris." Moza terlena seketika. Rasanya ia seperti dibawa terbang ke awan oleh seorang super hero berwajah tampan.

Namun, sedetik kemudian Moza tersadar.

'Eh, gak! Sadar Moza kamu itu lagi nyamar jadi Thara. Kamu gak boleh goyah! Lupakan wajah tampan Pak CEO mari kita tolak dia!' kemelut batin Moza merapal kembali ke niat awal.

"Maaf, Pak CEO mengenai itu—" Kalimat Moza terpotong oleh dering ponsel Malvin yang tiba-tiba berbunyi.

Malvin dengan sopan meminta waktu untuk mengangkat telepon yang masuk dan langsung diberi anggukan oleh Moza.

"Apa? Rapat dadakan?" ucap Malvin seraya mengerutkan alis.

"Itu sangat penting. Kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya?" balas Malvin menanggapi seseorang yang meneleponnya.

"Baik saya akan segera ke sana," jawab Malvin akhirnya.

Moza langsung cemberut saat mendengar penuturan kalimat Malvin sebelum mengakiri panggilan. Apakah ia akan ditinggal? Padahal ia belum mengutarakan niatnya. Sebelum itu ia harus bisa menegaskan penolakannya sekarang.

"Baik, Tuan Malvin saya hanya ingin menjelaskan," sahut Moza sebelum Malvin mengutarakan niatnya.

"Maaf, Nona saya benar-benar harus pergi sekarang. Tiba-tiba ada hal mendesak terjadi. Saya berjanji akan segera bergegas kemari setelah masalah terselesaikan," potong Malvin seperti dugaan Moza.

"Baik, saya akan tunggu selama tiga puluh menit tidak lebih dari itu. Jika selama tiga puluh menit Tuan tidak kunjung kembali. Saya akan anggap hubungan ini berakhir dan saya akan pergi," tegas Moza akhirnya.

Bagaimana pun niat awalnya untuk menegaskan penolakan itu harus terjadi malam ini. Jika tidak, langsung mengakhiri hubungan juga bukan sesuatu yang buruk, yang penting cepat terselesaikan. Apalagi jika itu diakibatkan oleh kesalahan pihak pria. Thara takkan mengalami masalah dan lagi Malvin menyetujuinya. Jadi Moza akan menunggu sekarang.

Setelah ditinggal Malvin, wanita itu memandang ke luar jendela. Meratapi nasibnya yang begitu tidak terduga. Belum ada seminggu, pertemuan bahkan baru dilakukan dua kali tapi dia justru langsung diajak menikah oleh seseorang yang begitu wah dibanding Rendy.

Bolehkah ia membandingkan dua pria itu? Selama sepuluh tahun sudah Moza menanti Rendy, berharap pria itu akan membuka hati untuk menerima keberadaannya. Cinta pertama yang masih menetap mengisi relung hati, tetapi cinta Moza yang besar bahkan tidak dilirik Rendy sedikit pun. Hubungan mereka masih terbatas dengan kata teman wanita atau mungkin Rendy tak menganggap Moza sebagai wanita.

"Ah, tiba-tiba kenapa aku jadi sedih gini." Moza mengelap sudut matanya kemudian menguap. Dia harus bisa menunggu di restoran ini, setidaknya selama tiga puluh menit kedepan.

***

"Beraninya seorang Direktur Eksekutif mengadakan rapat tanpa memberikan pemberitahuan kepada pimpinan perusahaan," racau Malvin merasa kesal. Dengan kasar ia memakai dasinya kembali.

Savian di sampingnya tampak ikut bergegas menuju ruang konferensi di gedung cabang perusahaan Batara Group.

"Rapat diadakan mendadak, Pak. Info yang saya dapat mereka akan membahas tentang proyek yang akan perusahaan cabang realisasikan," jelas Savian seraya menggeser layar IPad dalam genggaman.

"Aku akan mengurus rapat ini. Sekretaris Savian tolong urus mobil dinasku. Sudah dua kali acenya mati. Aku sudah tidak tahan lagi. Belilah mobil baru sekarang, akan kupakai untuk menemui Nona Thara setelah rapat ini selesai," perintah Malvin yang langsung dilaksanakan Savian setelah mereka berpisah.

Kedatangan Malvin di ruang konferensi perusahaan cabang Batara Group begitu mengejutkan Pak Anton, Direktur Eksekutif Batara Group yang masih aktif menjabat sejak Kakek Rama masih menjadi pimpinan perusahaan.

Proyek besar yang awalnya akan diambil alih diam-diam oleh Pak Anton akhirnya diambil alih oleh Malvin secara langsung. Jika saja Malvin tak datang dalam rapat, sekali lagi proyek besar pasti akan jatuh ke tangan Direktur Eksekutif.

"Ah, menyebalkan. Kenapa Kakek tidak memecat Direktur Eksekutif sialan itu. Jadwalku jadi berantakan," umpat Malvin seraya menyugar rambutnya keluar perusahaan.

Di halaman depan ia sudah disambut oleh Savian dengan mobil BMW keluaran terbaru berwarna light black yang sungguh memanjakan mata. Malvin menyeringai, bangga dengan hasil kerja Savian yang selalu memuaskan. Sekretarisnya itu bahkan sangat paham akan seleranya.

Savian bergegas turun kemudian membukakan pintu mobil.

"Tidak, aku akan duduk di depan. Sekretaris Savian tolong antar aku ke restauran Bugenville," pinta Malvin seraya merapikan dasi yang ia kenakan.

Savian tampak mengalihkan atensi ke jam di pergelangan tangan. "Ini sudah satu jam berlalu. Pak CEO akan tetap ke tempat pertemuan?" tanya Savian ragu karena atasannya tak pernah seperti ini.

"Iya, aku akan tetap ke sana. Memeriksa apakah calon istriku itu tetap menungguku," jawab Malvin menyunggingkan senyum kecil di sudut bibir.

Saat di dalam mobil, Malvin tampak merapikan rambutnya.

"Jika Nona Thara masih menunggu Anda. Sepertinya kalian memang berjodoh," celetuk Savian mengutarakan pikirannya.

"Aku harap begitu. Namun, janji tetaplah janji. Jika ternyata calon istriku itu pergi maka hubungan itu berakhir. Karena akulah yang telah terlambat datang karena Direktur Eksekutif sialan itu," tukas Malvin dengan rahang mengeras.

Ia kemudian mengalihkan atensi ke jam di pergelangan tangan. Akankah wanita yang ingin ia jadikan istri itu masih menunggunya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status