Share

Menghindar

Setelah selesai makan, Fallen pun kembali ke kamar. Ia bermaksud ingin sedikit membaca buku untuk menghilangkan rasa bosannya. Namun, Asti datang dan memberikan sebuah perintah dari Arjun.

"Nona, Tuan Arjun berpesan agar mulai besok, Nona jangan keluar kamar sebelum Tuan pergi bekerja, tepatnya sebelum jam delapan, Nona harus tetap berada di dalam kamar."

"Tapi kenapa, Asti?" Fallen heran dengan ucapan Asti. Perintah Arjun benar-benar membuatnya terkejut.

"Nona, saya belum selesai bicara. Selain itu, saat jam pulang kerja Tuan Arjun, Nona juga harus sudah berada di kamar. Makan malam akan di antar ke kamar Nona."

"Asti, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Arjun menghindari ku? Apa aku punya salah padanya? Katakan, Asti." Fallen memegang tangan Asti sembari menangis. Seketika ia merasa bahwa ini adalah rumahnya sendiri, dimana ayahnya selalu menghindarinya meski hanya untuk beradu tatap saja. Rasa kecewa memenuhi hatinya. Apakah hidupnya hanya untuk dibenci dan di kurung?

"Nona, satu hal yang tidak akan mungkin saya lakukan, yaitu berpendapat tentang Tuan Arjun. Maafkan saya, Nona. Saya sarankan agar Nona tidak membantah perintah Tuan Arjun atau Nona akan menerima akibat yang sangat fatal." Asti mengingatkan. Ia menatap raut wajah kecewa Fallen dengan tatapan prihatin.

Fallen segera menghapus air matanya. "Baik, aku mengerti. Terimakasih, ya. Setidaknya kau telah mengembalikan benda yang paling berharga dalam hidupku, untuk menemaniku saat aku kesepian." Mencoba tersenyum.

Asti mengangguk dan tersenyum, lalu pergi dari kamar itu.

Fallen kembali terduduk di ranjangnya. Ia mengambil foto ibunya yang tadi ia simpan di bawah bantal. Bulir air mata kembali membasahi pipinya.

"Apa salahku, ibu? Kenapa semua orang menghindari ku. Bahkan orang paling kejam sekalipun juga tidak ingin bertemu denganku lagi. Sebenarnya seberapa menjijikkannya diriku ini, ibu." Fallen menangis tersedu-sedu hingga ia pun tertidur akibat lelah menangis.

*****

"Fallen, sebenarnya kau adalah,,,,,"

"Ibu!!" Fallen terbangun sembari berteriak dengan keringat memenuhi kepalanya tepat sebelum subuh menjelang.

Nafasnya tersengal-sengal. Ia meraih sebuah gelas di atas nakas, lalu meminum isinya. Setelah itu, ia mulai mengatur nafasnya.

"Kenapa mimpi itu terus saja terulang? Ini aneh, aku tidak mengingat masa-masa bersama ibu, tetapi aku selalu memimpikan dirinya seakan itu nyata. Apakah itu adalah sebagian dari ingatanku yang mulai pulih? Tapi kenapa mimpi itu tidak tuntas. Aku selalu memimpikan ibu akan mengatakan tentang siapa aku, tetapi tidak pernah sampai akhir." Fallen bergumam sendiri.

Lamunannya terhenti saat suara adzan berkumandang. Ia pun segera melaksanakan sholat dan tak lupa ia mendoakan ibunya.

Selesai sholat, ia langsung membersihkan dirinya, lalu kembali duduk di sofa kamar itu. Ia harus menunggu Arjun berangkat bekerja, barulah ia bisa keluar.

Satu jam kemudian, Asti datang membawakan sarapannya. Fallen menerimanya lalu mengucapkan terimakasih.

Ia memakan sarapan pagi itu dengan lahap. Porsinya lumayan banyak, namun ia harus menghabiskannya.

Selesai sarapan, Fallen memilih pergi ke balkon kamar itu untuk menghirup udara segar atau sekadar melihat pemandangan di sekitar rumah Arjun. Tampak halaman luas terbentang mengelilingi rumah itu. Pepohonan, kebun bunga, dan kolam renang mengisi kehampaan di sana. Sayangnya, Fallen tidak bisa menikmati itu semua. Ia terlalu takut bahkan untuk menyentuh fasilitas rumah itu.

Tepat jam delapan lewat sepuluh menit, Fallen melangkahkan kakinya Keluar kamar. Ia menoleh ke kamar kerja Arjun yang sepertinya sudah tidak berpenghuni lagi karena Arjun telah pergi bekerja.

Fallen pun bergegas ke taman belakang sekadar untuk melihat kebun bunga yang indah namun tidak boleh disentuh. Cukup lama ia memandang, hingga akhirnya rasa jenuh mulai menghampirinya. Ia pun pergi ke dalam kamar. Menyalakan televisi, lalu menonton serial India kesukaannya. Yaitu kisah gadis yang dijodohkan sejak kecil, namun sampai dewasa terus mendapatkan ujian yang bertubi-tubi bahkan dari suaminya sendiri.

*****

Arjun sedang berkutat dengan laptopnya. Ia terlihat serius mengerjakan data-data penting untuk presentasi dengan kliennya. Sama halnya seperti di rumah, di kantor pun ia tidak mempercayai sekretaris maupun wakilnya. Mengenai data-data perusahaan atau untuk tender, hanya ia sendiri yang boleh melihat dan mengerjakan. Perihal laporan dan surat menyurat, barulah diembankan kepada sang sekretaris.

Saat jam makan siang, ia pun bergegas ke sebuah restoran untuk bertemu dengan seorang yaitu Gunanda. Sebenarnya itu bukanlah sebuah meeting. Lebih tepatnya disebut sebuah permohonan dari Gunanda untuk menyuntikkan dana pada perusahaannya yang lagi-lagi mengalami penurunan omset hingga mengakibatkan kerugian di perusahaannya.

Mereka makan di sebuah restoran tepatnya di sebuah ruang khusus yang mana hanya untuk satu meja saja.

Arjun menatap Gunanda yang kini berada di depannya, sedang melihat daftar menu untuk dipesan.

Selesai dengan menu, pelayan segera pergi dari ruangan tersebut.

"Kenapa perusahaan Anda bisa kembali goyah? Apa yang terjadi?"

"Penjualan produk saya turun drastis karena ada perusahaan baru yang menyaingi produk saya." Gunanda menjelaskan.

"Anda punya banyak investor, kenapa malah meminta saya menyuntikkan dana?"

"Karena hanya Anda yang memiliki kekuasaan di atas kekuasaan. Tidak ada yang dapat menyaingi kekayaan dan keagungan Anda." Gunanda menambahkan.

"Hmm, baiklah, aku akan menyuntikkan dana ke perusahaan mu."

Mendengar ucapan Arjun, senyuman pun merekah di bibir Gunanda. Ia tidak menyangka jika Arjun dengan mudah langsung mengiyakan saja. Apa mungkin karena ia adalah mertuanya?

"Tapi semua tidak sesuai perkiraan mu. Tidak ada yang gratis di dunia ini." Arjun menyunggihkan senyumannya.

"Apa maksud Anda, Tuan Arjun? Bukankah dengan Anda menyuntikkan dana lagi, Anda akan mendapatkan keuntungan yang lebih setiap bulannya dari perusahaan saya? Saham Anda bertambah di perusahaan saya." Gunanda menatap heran.

"Jika hanya itu, saya tidak perlu repot-repot menyuntikkan dana pada Anda. Ingat saat suntikan pertama saya? Anda menjual putri Anda kepada saya? Lantas sekarang? Apa yang akan Anda tawarkan? Perlu saya ingatkan, bahwa Wijaya tidak sembarang menjadi investor di perusahaan lain."

Gunanda terdiam. Ia tidak mengerti maksud perkataan Arjun. Bukankah Arjun sudah mendapatkan Fallen? Lalu sekarang ia mau apa? Nyawa Gunanda?

"Tuan, apa yang harus saya berikan kepada Tuan?" tanya Gunanda.

"Aku suka membuat anak Anda menebak hingga ia hampir terkena serangan jantung. Sekarang giliran Anda." Arjun tersenyum licik.

"Tuan, apa yang harus saya tebak? Saya tidak mengerti." Gunanda terlihat kebingungan.

"Jika Anda tidak mengerti, maka Anda harus bertanya pada putri Anda tentang tebakan apa yang sering saya berikan padanya. Perlu Anda ketahui, saya selalu mengultimatum dirinya. Jika ia gagal menebak, maka jarinya harus dipotong, rambutnya harus dicabut lima puluh helai secara bersamaan, tapi sayangnya dia berhasil menebak. Jika dia gagal, maka sekarang pasti dia sudah cacat. Namun pagi ini, saya telah mematahkan tangannya karena salah menebak lagi." Arjun menunjukkan senyuman devilnya.

Namun ia tak melihat ekspresi terkejut di wajah Gunanda saat tahu putrinya baru saja mengalami patah di bagian tangan. Gunanda malah memandang ke lain arah sembari tersenyum tipis.

'Dasar manusia hina.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status