"Dasar anak tidak berguna! Mati saja kau! Aku sudah bilang kau tidak boleh makan!" Seorang wanita muda sedang mencambuk anaknya.
"Aaaa, ampun, Bu, ampun! Aku berjanji tidak akan mencuri makanan di dapur lagi!" pekik seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.
"Aku akan memotong tanganmu karena kau sudah berani mencuri!" Sang ibu pun mengambil sebuah pisau daging, meletakkan tangan sang anak di atas meja. Ia menaikkan pisau daging tersebut lalu bersiap memotong tangan anaknya.
"Tidaaaaak!!!" Arjun terbangun dari mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Ia melihat ke sekitar, ternyata ia masih berada di dalam bathtub.
Sepulang dari hutan tadi, ia pergi mandi karena hutan telah membuat tubuhnya kotor. Namun karena kelelahan menghajar dan berteriak pada targetnya, ia pun tertidur dengan air hangat yang merendam tubuhnya.
Arjun segera mempercepat mandinya. Setelah itu, ia keluar dengan baju mandinya. Tidak ada Fallen di sana, karena ia mandi di kamar kerjanya.
Selesai dengan itu, ia pun keluar, menemui Jim yang masih setia menunggunya di depan pintu lift. Sebenernya, sepulang dari hutan tadi, setelah membersihkan diri, mereka akan pergi ke rumah keluarga almarhum Danu untuk menagih hutang-hutangnya. Namun, karena Arjun tertidur, maka Jim harus menunggu hingga satu jam lebih.
"Ayo, Jim, kita harus pergi," ujar Arjun sambil membenarkan dasinya.
"Baik, Tuan." Jim membungkukkan badannya. Namun, tampak jelas keraguan di wajahnya. Ia masih berhati, sehingga mendatangi orang yang sedang berduka membuatnya merasa tidak enak. Tapi apalah daya, ia hanya asisten pribadi Arjun yang harus memenuhi semua keinginan Arjun meski itu bertentangan dengan hatinya.
Mereka segera menuju lift untuk sampai ke lantai dasar.
"Apa yang dilakukan gadis itu?" tanya Arjun.
"Saya berada di luar sepanjang Anda mandi, Tuan."
"Biarkan saja dia bernafas dulu. Malam nanti gilirannya." Arjun tersenyum menyeringai.
'Apa Tuan Arjun akan melakukan itu pada Nona Muda?' batin Jim.
Mereka sampai di mobil, lalu melaju ke rumah almarhum Danu untuk menagih hutang pada keluarganya.
"Bagaimana dengan Henry?"
"Beliau sudah mentransfer sisa hutang dari hasil penjualan tanah di sebuah desa terpencil yang merupakan tanah peninggalan orang tuanya. Saya dengar, kini ia sedang berseteru dengan saudara-saudara kandungnya karena tanah itu masih berstatus sengketa."
"Hahaha, dasar manusia-manusia tamak, gila harta." Arjun menyunggingkan senyuman devilnya
"Saya rasa Henry yang tamak, Tuan. Karena ia sudah mendapatkan warisan perusahaan. Sedangkan saudara-saudaranya hanya mendapatkan tanah tersebut karena Henry anak tertua dan ingin menguasai segalanya."
"Aku suka melihat manusia tamak mendapatkan balasan. Mereka yang jahat, memang harus mendapatkan ganjaran setimpal." Arjun mengepal erat tangannya. Tampak jelas sorot mata yang penuh dendam.
"Ya, Tuan, itu memang benar." Jim mengangguk pelan.
Mobil pun sampai di sebuah rumah yang masih ada beberapa papan bunga berisi ucapan belasungkawa kepada Danu. Rumah tampak sepi, pertanda keluarga masih berkabung.
Arjun pun turun setelah Jim membukakan pintu mobil untuknya. Sementara itu, pengawalnya yang berada di mobil lain sudah turun dan berjaga di depan rumah Danu. Ia melangkah menuju pintu rumah yang terbuka lebar. Sepertinya keluarga Danu tahu perihal kedatangannya.
Saat kakinya melangkah memasuki rumah duka itu, ia langsung disambut tatapan penuh ketakutan oleh anak-anak Danu yang sudah remaja, begitu juga dengan istri Danu sendiri. Ia begitu gemetar melihat seorang Arjun Wijaya kini berada di hadapannya. Wajah mereka masih sembab karena masih berduka.
"Anak-anak, beri salam pada Tuan Arjun," ujar Farah yang merupakan istri Danu.
"Se-selamat datang, Tu-Tuan." Anak perempuan Farah menunduk memberi hormat, begitu juga dengan sang adik yang merupakan seorang laki-laki.
"Terimakasih, atas sambutan manis ini. Aku tidak sabar melihat perubahan ekspresi kalian nanti." Arjun menunjukkan senyuman devilnya. Ia menatap kedua anak Farah secara bergantian.
"Anak-anak yang cantik dan tampan. Sayang sekali, kalian harus kehilangan ayah kalian secepat ini." Arjun berdecak sambil geleng-geleng kepala. Menatap mereka penuh prihatin, lalu kembali tersenyum menyeringai.
Hal itu membuat kedua anak Farah langsung menunduk, mereka begitu ketakutan.
"Anak-anak, pergilah ke kamar," ujar Farah.
"Kami permisi dulu, Tuan." Mereka kembali membungkukkan badan lalu pergi ke kamar.
"Silakan duduk, Tuan," ujar Farah.
Arjun akan duduk, namun, terlebih dahulu, ia menyuruh Jim membersihkan sofa yang akan ia duduki dengan semprotan anti kuman, dan juga tisu.
Setelah dirasa sudah bersih, barulah Arjun duduk.
"Sofa seperti ini biasanya sudah menjadi bagian dari sampah jika ada di rumahku. Aku selalu duduk di sofa terbaik."
"Saya mengerti, Tuan." Farah mengangguk.
"Jim." Arjun mengangkat tangannya, meminta sesuatu dari Jim yang berdiri di sampingnya.
Jim menyerahkan sebuah berkas berisi seluruh hutang-hutangnya Danu, lalu menyerahkan kepada Farah.
Farah menerimanya, lalu membuka isinya. Betapa terkejutnya ia melihat total hutang suaminya pada Arjun. Menjual seluruh aset yang ia punya pun tidak akan mampu menutupi seluruh hutangnya.
Dengan tangan bergetar, Farah kembali meletakkan berkas tersebut. Ia masih menunduk, tidak tahu harus memohon dengan cara seperti apa.
"Sudah kau baca? Sekarang berikan aku uangnya. Terserah dalam bentuk cash atau transfer." Arjun menatap Farah dengan tajam. Menyunggingkan sedikit senyuman saat melihat wajah pucat wanita itu.
"Tu-Tuan. Sa-saya mohon berikan saya waktu untuk melunasinya."
Mendengar hal itu, tiba-tiba saja Arjun tergelak. Tawanya terdengar sangat menyeramkan bagi Farah.
"Kau kira aku orang yang punya belas kasih? Hutang tetaplah hutang, dan tanggal pembayaran tidak akan berubah barang satu hari pun. Bayar hutang mu, atau kau bersedia masuk ke dalam penjara."
"Tuan, tolong! Aset peninggalan suami saya tidak akan cukup untuk membiayai seluruh hutang suami saya." Kini Farah turun dari sofa, lalu bersimpuh di kaki Arjun.
"Lepaskan kakiku!" bentak Arjun. Suara menggelegar yang keluar dari mulutnya langsung membuat Farah melepas kakinya .
"Berani sekali tangan kotor mu itu menyentuh kakiku." Arjun membersihkan celana yang membalut kakinya dengan tisu.
"Tuan, jika saya dipenjara, siapa yang akan memberi makan dan pendidikan anak-anak saya? Saya yatim piatu tanpa saudara, sedangkan keluarga suami saya memutus hubungan dengan saya setelah suami saya meninggal." Farah menangis terisak saat menceritakan kisah pilunya.
"Apa kau mengira itu urusanku? Itu adalah masalah mu. Aku beri kau waktu sampai pukul dua belas malam. Jika kau lewat satu detik saja, maka polisi akan langsung menjemput mu!" Arjun berdiri dari posisinya. Ia pun berjalan meninggalkan rumah itu bersama Jim.
Tampak Farah berlari mengejar, berteriak memanggilnya, namun pengawal Arjun langsung menghalanginya. Teriakan pilu masih terdengar meski mobil sudah pergi meninggalkan pekarangan rumah itu. Arjun sempat melihat kaca spion lalu menyunggingkan senyuman devilnya.
Sore harinya, terdengar suara tawa dari taman belakang.Kate yang merasa heran langsung mendatangi adanya sumber suara itu."Bagaimana? Terasa, kan?" tanya Fallen sambil menempelkan kepala Arjun di perutnya."Hahaha, dia baru saja menendangku." Arjun tergelak saat merasakan tendangan di bagian pipinya."Sepertinya dia ingin menjadi pemain sepak bola." Fallen menanggapi."Ya, kalau begitu, aku harus mempersiapkan lapangan sepak bola untuknya nanti," sahut Arjun dengan antusias."Jadi benar, anaknya laki-laki?" tanya Kate yang baru saja datang menghampiri mereka."Siapa yang bilang?" tanya Arjun."Kau ingin membelikannya lapangan sepak bola. Dia pasti laki-laki, iya, kan? Kalian tidak mau memberitahu kami hasil USG. Memangnya apa salahnya kalau kami tahu.""Kakak, bukan begitu, kami hanya tida
"Arjun!" teriak Airin yang sedang berdiri di ambang pintu kamar Arjun dan Fallen. "Hmmm, ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" tanya Arjun yang masih berbaring di atas ranjangnya dengan pakaian kerjanya. "Sedang apa kau di sini, Nak. Apa kau tahu, Kate kerepotan karena mengurus klien yang kau tinggalkan di restoran barusan." Arjun bangkit dari posisi berbaring nya. "Aku terpaksa meninggalkan mereka karena Fallen tiba-tiba saja memintaku pulang dengan sebuah tangisan dari seberang telepon." "Hah? Ada apa dengannya?" tanya Airin dengan khawatir. "Mau melahirkan? Tapi kan masih beberapa minggu lagi." "Tidak, Bu. Ternyata dia hanya merindukan aku. Dia bahkan tidak mau berpisah jauh-jauh dariku. Dan sekarang aku disuruh menunggunya yang sedang mandi." Arjun menjelaskan. "Astaga, ibu kira apa. Lalu, kenapa kau terlihat mengantuk sekali?" Airin berja
Beberapa bulan telah berlalu. Kini, hidup Arjun maupun Fallen sudah bahagia. Mereka tengah menantikan kehadiran buah hati yang sebentar lagi akan lahir ke dunia ini, hanya tinggal menghitung minggu.Rania dan Airin tinggal di sebelah rumah Arjun. Ya, Arjun membeli rumah untuk nenek dan ibunya tepat di samping rumahnya agar ia mudah jika ingin bertemu dengan mereka. Terlebih lagi, Fallen yang tengah hamil trimester ke-tiga itu tidak bisa terlalu lama melakukan perjalanan.Pagi ini, bertepatan dengan hari libur, mereka tengah bersantai di taman belakang rumah. Ditemani Kate dan Airin. Sedangkan Rania sedang ada acara arisan di rumah temannya."Indah sekali pagi ini, ya, Bu." Arjun menatap langit yang sama sekali tidak ada matahari karena tertutup awan mendung."Indah apanya? Ini sedang mendung," gerutu Kate."Aku berkata pada ibu ku, bukan pada mu." Arjun menatap Kate dengan kesal.
Seminggu telah berlalu, hari ini adalah hari yang ditunggu oleh seluruh stasiun televisi. Pasalnya, hari ini, jam ini, detik ini tengah diadakan konferensi pers oleh Arjun dan Fallen di sebuah gedung yang merupakan milik Arjun.Para reporter mengajukan beberapa pertanyaan pada mereka. Dengan jelas, Arjun menceritakan setiap detail kejadian yang mereka alami. Begitu juga dengan Fallen, ia menceritakan bagaimana kejahatan ayahnya terbongkar."Jadi, karena kecelakaan yang disengaja oleh Gunanda, makanya Nona Fallen berhasil mengingat kenangan masa kecil yang menyimpan rahasia besar tersebut?" tanya seorang reporter."Benar, bisa dikatakan, bahwa Gunanda sendirilah yang telah membuat kejahatannya selama ini terbongkar." Arjun menjawab."Tuan, kami dengar, Anda membantu anak dari orang yang dijadikan kambing hitam, setelah ditelusuri, ternyata suami dari wanita itu adalah Tuan Danu, yang mempunyai hutang
Arjun merangkul pundak Fallen, menemaninya berjalan keluar dari lapas tersebut setelah polisi memastikan semua bukti yang ada di kartu memori yang ia bawa adalah asli. Dengan begitu, Gunanda akan segera diproses hukum sebagaimana mestinya.Sepanjang perjalanan Fallen masih saja menangis. Bukan karena kenyataan pahit yang kini ia terima, melainkan karena ia adalah seorang yatim piatu. Tiada ayah dan ibu, hanya sebatang kara di dunia ini."Bahkan dulu aku sangat menyayanginya meski dia sangat membenciku." Fallen menangis tersedu-sedu."Tenangkan dirimu, Sayang." Arjun memeluk Fallen, lalu mengusap rambutnya dengan lembut."Aku bahkan menyesali kenapa ingatanku malah pulih. Lebih baik aku hilang ingatan seumur hidup, daripada mengetahui bahwa kenyataan sepahit ini.""Sayang, dengarkan aku, ini semua adalah takdir. Kau tidak boleh menyesalinya. Bayangkan jika saat ini ingatanmu belum
Flashback On Setelah kecelakaan yang menimpa Arjun, Fallen, serta Kate, satu persatu ingatan Fallen mulai muncul. Semula, ia berpikir bahwa itu adalah mimpi. Namun, lama-kelamaan bayangan itu semakin jelas. Beberapa kali ia mengingat peristiwa kecelakaan yang menimpa dirinya serta ibunya yang ternyata disebabkan mobil yang kehilangan kendali karena dikejar seseorang. Hingga saat ia sudah pulang dari rumah sakit, ia akhirnya mengingat seluruh memori yang selama ini hilang. Dan salah satunya adalah penyebab kecelakaan dan ucapan sang ibu yang selama ini selalu mengisi mimpinya namun hanya sepenggal. Sedangkan kali ini, ucapan ibunya terngiang sangat jelas. Saat Arjun menanyakan perihal sikapnya yang aneh, Fallen belum berani mengatakan perihal ingatannya. Namun, setelah ia mendengar bahwa Gunanda berusaha mencelakai mereka, barulah ia bertekad membuka kedok Gunanda. Pagi ini, setelah Arjun perg