Duke Alantoin masih tak menyangka anak Baron Broke ada di acara ini dan berdampingan dengan Pangeran Hitam. “Hamba benar-benar tak menyangka ia akan membawa gadis itu ke istana, bahkan membiarkannya hidup sampai saat ini.”
“Kau selalu bodoh dan tak tanggap pada keadaan, karena itu walau aku lebih muda dan seorang wanita, Ayah selalu mengandalkanku,” hina Ratu Minerva.
Duke Alantoin menekukan mukanya, ia yang biasa menghina orang-orang sekarang harus bungkam menerima hinaan dari adik kandungnya sendiri.
“Tak berguna,” desis Minerva sambil memandang rendah kakaknya, sebelum berdiri menyambut Raja Abraham.
“Yang Mulia, Singa Agung Anarka! Raja Abraham!”
Semua para hadirin menunduk memberi hormat saat
Dukung penulis dengan VOTE dan bintang 5 ya ⭐⭐⭐⭐⭐
Pemandangan mesra itu terpampang nyata di hadapan Amanda. ‘Ia tak pernah tersenyum ketika melihat seseorang, dan kali ini wanita cantik lagi sempurna dengan latar belakang yang dapat menguntungkan dirinya melamar Tuan, tentu saja ia akan menerimanya. Bukankah sesuatu hal yang bodoh jika ia menolaknya?’ Hati Amanda kembali begitu perih, semenjak peristiwa Gisella, kembali gadis itu merasakan hal yang sama. Raja terlihat tak begitu senang dengan permintaan Ratu Zaina, “Aku akan mempertimbangkan hal ini, karena Illarion baru saja menikah dengan keluarga Minerva,” ujarnya sambil melihat ke arah Pangeran Hitam. "Aku akan menunggu dengan sabar, yang mulia Baginda Raja," jawab Ratu Zaina tak menyerah. "Izinkan hamba tinggal di istana Anarka hingga Baginda Raja memberi keputusan dan menurunkan izin kepada hamba," pin
Amanda meninggalkan ballroom acara dengan perasaan sesak. Semua perkataan buruk orang-orang tentangnya di acara itu tak lebih menyakitkan saat melihat Illarion Black berdansa mesra dengan Ratu Zaina. Kakinya berhenti di balkon yang menghadap danau buatan, tak ada cahaya bulan hanya bintang di langit malam. “Sadarlah Amanda! Jangan terlalu tamak, ia bahkan tak memandangmu, dan kau tak akan pernah bisa memilikinya! Ingatlah, kau hanya salah satu orang yang berasal dari keluarga musuhnya,” ucap gadis itu sambil menepuk kedua pipinya. Amanda kemudian termenung nyaris menjatuhkan air mata saat patah hati pertamanya untuk seorang pria. Ah tidak, patah hati pertamanya pada ayahnya. Ben Broke. Dan betapa malang gadis itu, ia harus patah hati kembali ketika baru mengenal cinta, bahkan sebelum cinta itu bersemi indah.
Gadis itu belum sempat menutup matanya, hingga ia bisa melihat dengan jelas anak panah itu siap menghujam dirinya. ‘Apakah ini akhir hidupku?’ Illarion memecah dua anak panah itu tepat di depan netra amethyst Amanda. Trak! Anak panah yang terbelah menjadi dua jatuh begitu saja di atas tanah. Bersamaan dengan hilangnya penerangan di taman itu, keadaan hening seketika. Illarion mematikan pencahayaan dengan cara memotong sumbu-sumbu obor di sekitar mereka dengan sekali sabetan pedang. Amanda menahan napas, kepalanya yang bersandar tepat di dada bidang Illarion bisa mendengar detak jantung milik pria itu. ‘Begitu tenang, apa ia biasa menghadapi situasi seperti ini?’ Kontras dengan jantung milik Amanda, seolah organnya yang satu itu ingin melompat keluar dari
Tak menghiraukan gelagat keberatan dari suami sahnya, Amanda berbalik dan melempar sebuah batu, hingga mengenai salah satu lentera yang tergantung di sisi tembok istana terjatuh. Api kecil menyala saat sisa minyak yang tak terlalu banyak dari pecahan lentera itu menggenangi tanah. Illarion menatap frustasi pada gadis yang ia jadikan sebagai tumpuan tubuhnya itu. ‘Ia gila? Apa yang bisa dilakukan api yang bahkan hanya sebesar lilin ulang tahun itu.’ “Ay … o,” paksa Illarion tapi lebih mirip sebuah pinta lemah. ‘Sial, langkah mereka semakin dekat, dan wanita gila ini malah diam dan bermain-main api!’ “Mereka datang?” tanya Amanda berbisik, sambil memperlihatkan beberapa butir buah pinus merah, warna yang berbeda dari buah pinus lainnya yang tergeletak di tanah. Illario
Anarka, lima belas tahun lalu. “Illarion, bangun… Illarion…,” bisik seorang wanita pada putranya yang masih tertidur lelap itu. Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu menggeliat dalam tidurnya, alisnya bertaut karena gangguan bertubi-tubi yang mengusik lelapnya. Akhirnya maniknya yang serupa gelap malam terbuka dengan berat. “Ibu…? Ada apa?” Illarion mengucek matanya, mengalihkan pandangan dari wanita berparas sangat cantik berambut hitam legam seperti dirinya, ke jendela besar di ujung kamar. “Masih malam, aku bahkan masih bisa melihat bintang.” “Kita harus pergi dari sini,” bisik wanita itu tergesa-gesa menyiapkan sebuah buntelan berisi pakaian dan beberapa perhiasan. Masih setengah sadar, bocah kecil itu belum
Seorang pelayan memandang sedih pada Illarion, “Ibu Selir akan dibakar pagi ini di alun-alun. Dan Anda akan dikirim ke medan perang sebagai penebus dosa atas apa yang dilakukan oleh ibunda Anda, Tuan.” Sebuah kabar yang disampaikan oleh pelayannya barusan bagai awal mimpi buruk kehidupan pangeran kecil itu selanjutnya. Dengan perasaan berkecamuk, Illarion berlari kencang di selasar istana, mencari seseorang yang bisa menangguhkan hukuman yang akan ibunya terima. Kamar Baginda Raja tertutup rapat dengan penjagaan yang berlapis. Bocah kecil itu menjerit sejadi-jadinya di luar saat tak diizinkan masuk. Raungan pilunya sampai terdengar ke kamar Pangeran Alexander, pemuda berumur lima belas tahun itu tergeletak bersimbah darah tak berdaya, karena pukulan bertubi-tubi dari ibunya akibat menentang perkataan sang Ratu. Kakak tiri Illarion itu tak menyangk
Napas Illarion memburu tak teratur, punggungnya menggigil kedinginan tapi malah tubuhnya mengeluarkan keringat seolah pria itu kepanasan, dan tangannya gemetar tak terkendali. “Kau tak apa-apa?” tanya Amanda khawatir. Wajah pucatnya tertimpa cahaya lilin di atas nakas. Menciptakan siluet cantik di atas tembok lusuh berlumut. Mata Illarion nanar menatap wajah syahdu menyejukkan itu, dan dengan sekali rengkuh, Amanda terbenam dalam pelukan pria berdada bidang itu. “Tuan?” Amanda menggeliat dalam pelukan pria itu, meminta celah untuknya bernapas. Tapi tangan Illarion yang gemetar di balik punggung Amanda serta napasnya yang memburu di ceruk leher gadis itu seolah mengatakan 'aku ketakutan.' Amanda menyisir rambut di atas tengkuk Illarion menggunakan jari-jar
Masih mengacuhkan Illarion, nenek itu kembali berbicara pada Amanda. “Masih banyak pria bangsawan yang akan menyukaimu Nona, walau penampilanmu aneh. Aku yakin masih banyak pria bangsawan di luaran sana, dengan tubuh mulus walau mungkin tak setampan pengawalmu ini.” “Galelaku! Kemarilah sayang, aku sudah membuatkan sarapan untukmu dan tamu kita,” Teriak seorang pria tua dari luar kamar. Wanita tua itu -Galela- menggeram. “Lihat? Itulah akibat kalau kau menikahi seorang pria karena ketampanannya. Aku seorang putri bangsawan yang kawin lari dengan tukang kebun, ia begitu tak punya sopan santun dan selalu berteriak-teriak memanggilku,” curhat Galela seraya memamerkan mulutnya yang tanpa gigi itu. “Galela! Sayang! Istriku!” Kembali teriakan keras terdengar dari luar.