Share

Bab. 04. Kamera Tersembunyi

“Berani kamu membentakku! Jangan kira kamu bisa sesukamu karena menikah dengan orang kaya!” bentak Ibu Tutik mendorong kepala Lusi.

Meski sudah terbiasa mendapat kekerasan dari sang ibu. Tetap saja hati Lusi merasa pedih. Air matanya pun meluncur begitu saja tanpa aba-aba.

“Ibu jahat banget sama aku. Padahal aku menikah sama Tuan Mark karena kakak engga mau menikah dengan Tuan Mark.”

“Tutup mulutmu! Jangan pernah menyinggung soal itu lagi!” pekik Ibu Tutik memukul pelan pundak Lusi. “Kalau kamu sudah tidak ada kepentingan lagi, cepat pergi dari sini!” usirnya mendorong punggung Lusi cukup keras.

Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Lusi pun berpamitan untuk pulang. Wajahnya mengeluarkan ekspresi sedih saat melihat makanan yang dia bawa telah dibuang oleh ibunya.

Dengan menahan tangisannya, Lusi masuk ke dalam mobil. Tak lupa, dia juga membawa kucing kesayangannya ikut.

***

Sampainya di rumah, Lusi langsung memandikan kucingnya. Salah satu pelayan memberi Lusi sebuah obat untuk dioleskan ke tubuh kucing yang terluka.

“Terima kasih,” ucap Lusi sebelum kembali merawat kucingnya.

Setelah membalut luka kucingnya dengan perban. Lusi membawa kucing tersebut ke dalam kamar. Seketika wajahnya sumringah saat melihat Mark tengah duduk di atas ranjang.

“Maaf ya aku lama,” kata Lusi menghampiri suaminya. “Lihat aku bawa apa untukmu, seekor kucing. Aku mengambilnya dari rumahku di desa. Tapi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.” Bibir Lusi mengerucut.

“Kupikir kamu bakal menginap di sana, ternyata tidak. Jadi, kamu hanya semenit berada di rumah kecilmu?” ledek Mark sembari mengelus kepala kucing yang berada di gendongan Lusi.

“Gak mungkin aku nginep dan membiarkan suamiku tidur sendirian. Sebenarnya aku ingin berada di sana seharian. Tapi, sepertinya ibuku tidak ingin aku berada di sana. Ya sudah aku pulang saja. Engga semenit kok, beberapa menit,” jelas Lusi.

“Kamu selalu saja punya jawaban untuk setiap perkataanku,” ujar Mark menghembuskan napas. “Bulu kucingmu tidak lebat? Ini kucing biasa ya?” tanya Mark meraba badan kucing tersebut.

“Iya dong, dulu aku memungutnya dari tempat sampah loh, kasihan banget. Pasti ditinggal sama ibunya,” jawab Lusi.

Lusi memindahkan kucing kurus itu kepangkuan Mark. Gadis manis itu berjalan mendekati meja untuk meracik obat.

“Waktunya minum obat, ayo buka mulutnya,” ucap Lusi menyentuh rahang suaminya agar mau membuka mulutnya. Akhirnya obat masuk ke dalam tubuh Mark.

“Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar. Badanku terasa lebih ringan ketika aku tidak mengonsumsi obat itu,” tutur Mark.

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja,” sahut Lusi.

Tiba-tiba Lusi terdiam memikirkan obat yang diklaim sebagai vitamin itu. Entah mengapa ingatannya tentang kucing milik Mark yang menjilat sisa obat di dalam gelas melintas begitu saja. Tanpa pikir panjang Lusi meracik obat tersebut untuk dirinya sendiri. Dia benar-benar meminumnya tanpa sepengetahuan Mark.

“Siapa nama kucingmu? Sepertinya kucingmu berjenis kelamin betina.” Pertanyaan Mark membuat Lusi terperanjat kaget

“Oh, itu, anu, namanya Gembul,” jawab Lusi mencoba mengatur detak jantungnya.

“Gembul? Kucingmu kayak kurang gizi begini. Tidak cocok dengan namanya,” ejek Mark tertawa kecil.

“Sebelum aku tinggal, kucingku gendut banget loh. Mungkin dia sedih karena kamu mengambilku darinya,” sahut Lusi.

“Aku tidak pernah mengambilmu, kamu sendiri yang menyerahkan diri,” kata Mark masih dengan nada santai.

Berbeda dengan Lusi yang sudah menggelembungkan kedua pipinya.

Daripada menanggapi suaminya. Lusi lebih memilih untuk menutup semua jendela kamarnya. Dia juga mengunci pintu kamar. Menandakan jika dirinya tak ingin diganggu oleh siapa pun. Hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama suaminya.

“Tuan, aku mengantuk sekali, biasanya jam segini gak pernah ngantuk,” ujar Lusi tak bisa membuka kedua matanya dengan benar.

“Ayo tidur, aku juga sudah mengantuk,” sahut Mark meletakkan kucing di sampingnya.

Lusi segera memindah posisi Mark senyaman mungkin. Setelah Mark berbaring, barulah dia rebahan di sebelah suaminya. Kucing yang awalnya telah diturunkan dari atas ranjang, kini naik dan tidur di sela kaki Mark.

Bibir Lusi mendekat ke telinga Mark. Membacakan beberapa surat pendek di sana. Hal itu sukses membuat Mark berdesir nyaman. Lusi memang sering melakukannya ketika Mark telah terlelap. Namun kali ini, karena dirinya sudah sangat mengantuk jadi berdoa lebih awal.

“Suamiku, kamu surgaku, semoga kita selalu dijauhkan dari hal negatif. Berikanlah kami rahmat,” bisik Lusi sebelum tertidur pulas.

***

Keesokan harinya, Lusi merasakan nyeri luar biasa di kedua kakinya. Hal seperti ini baru pertama kali terjadi di hidupnya. Sekali lagi dia mengingat tentang obat yang kerap diminum oleh suaminya. Jika dirinya saja yang awalnya sehat bisa dibikin lemah seperti ini. Apa lagi suaminya?

Mark selalu minum obat di malam hari sebelum tidur. Satu hari sekali. Mungkin saja pernyataan suaminya tempo hari benar. Tubuh Mark terasa lebih ringan ketika dua hari melewati waktu minum obat.

“Tuan, aku beneran penasaran dengan obat yang kamu minum setiap hari,” ucap Lusi sembari merapikan boneka yang berceceran di atas karpet.

“Sudah kubilang itu vitamin,” jawab Mark masih sedikit mengantuk.

Tiba-tiba suara barang pecah mengagetkan keduanya. Lusi refleks menoleh ke sumber suara. Rupanya kucingnya menjatuhkan barang dari jam dinding raksasa di samping pintu kamar. Bisa-bisanya kucingnya memanjat jauh di sana.

“Aduh! Gembul kamu nakal sekali, ini pasti mahal. Bagaimana caraku buat ganti?” pungkas Lusi membereskan barang yang pecah tersebut.

“Loh? Kok dalamnya ada kamera kecil? Tuan menyimpan kamera di hiasan kristal? Hiasannya pecah tapi kameranya kayaknya selamat deh. Eh ini kamera ‘kan?” ungkap Lusi kebingungan.

“Bawa kemari, biarkan aku menyentuhnya,” pinta Mark.

Lusi segera menyerahkan barang tersebut kepada suaminya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani memasang kamera di kamarku!” bentak Mark.

“Jadi ini beneran kamera?” tanya Lusi kaget. “Apaan sih, nyimpen kamera kok di dalam hiasan kristal, aku coba ah. Loh? Kameranya sudah menyala ternyata,” kata Lusi kaget.

“Suruh Maria datang menemuiku!” perintah Mark mutlak.

Tak perlu menunggu lama. Maria telah sampai di mansion milik Mark. Wajahnya tampak terkejut melihat kamera rahasia yang terpasang di kamar Mark mampu ditemukan. Mark hanya diam menunggu ibu tirinya itu mengeluarkan sepatah kata.

“Kamera ini memang sengaja aku pasang untuk memantaumu. Jadi, kalau terjadi sesuatu denganmu. Aku bisa langsung mengambil tindakan. Percayalah kepadaku, aku tidak bermaksud buruk terhadapmu,” jelas Nyonya Maria tersenyum canggung.

“Kauingin aku percaya dengan ucapanmu? Maria, jangan mencoba membodohi aku. Kamu pikir, kamu siapa?” cetus Mark menahan amarahnya. “Aku hanya memintamu untuk mencarikanku mata. Tidak lebih dari itu,” lanjutnya.

“Aku sungguh minta maaf atas kelancanganku,” tutur Nyonya Maria menundukkan kepalanya.

“Tuan Mark jangan begitu, mungkin Nyonya Maria ingin mengawasimu dari jauh karena tidak bisa merawatmu setiap saat. Jangan marah ya,” ucap Lusi mencoba menenangkan Mark.

Sekali lagi Mark luluh begitu Lusi mengelus pundaknya.

“Okay, suruh penjaga menggeledah kamarku. Dan singkirkan semua kamera tersembunyi. Aku tidak suka ada orang yang mengganggu privasiku!” perintah Mark.

“Aku akan menyingkirkan semua kamera yang telah aku pasang,” ucap Nyonya Maria.

Mark menyeringai mendengarnya. “Kalau begitu hubungi polisi, aku ingin polisi yang melakukannya,” tandas Mark.

Seketika Nyonya Maria panik. Itu artinya Nyonya Maria tidak bisa menyuruh penjaga untuk berpura-pura menggeledah. Pada akhirnya Nyonya Maria pasrah.

Beberapa saat kemudian, kepala kepolisian setempat tiba dengan membawa anak buahnya. Sesuai dengan perintah Mark. Mereka mulai menggeledah kamar Mark. Dan benar saja, terdapat lima kamera yang ditemukan.

Mark ingin sekali memaki ibu tirinya namun, Lusi tak ‘kan membiarkan Mark membuang tenaganya untuk melakukan itu. Yang terpenting sekarang adalah di dalam kamar sudah tidak ada lagi kamera tersembunyi.

Setelah masalah ini selesai, para polisi pamit undur diri. Begitu pun dengan Nyonya Maria.

“Di mana Gembul?” tanya Mark.

“Tuan, maafin Gembul ya. Dia pasti lagi norak banget, soalnya tinggal di tempat sebagus ini. Mangkanya sampai manjat rak buku dan hiasan di kamar,” tutur Lusi merasa bersalah.

“Justru aku ingin berterima kasih padanya. Karena dia, aku jadi tahu kelakuan nyeleneh Maria,” jawab Mark. “Aku ingin memberinya hadiah kecil,” tambahnya.

Lusi langsung menyerahkan kucingnya ke dalam gendongan sang suami. Kucing tersebut terlihat begitu nyaman berada di pangkuan Mark.

“Aku beneran gak nyangka bakalan ada kamera tersembunyi di dalam kamar. Jadi malu nih, selama ini aku ‘kan selalu berganti pakaian di depan cermin,” ujar Lusi merasa lega.

“Sekarang kamu tidak perlu khawatir. Kamar ini sudah aman,” kata Mark sedikit menarik sudut bibirnya ke atas.

“Syukurlah, aku jadi leluasa untuk merawatmu,” sahut Lusi duduk di salah satu sofa.

“Lusi, apakah kamu sedang menunjukkan jika kamu ada dipihakku?” tanya Mark.

Lusi tidak mengerti dengan pertanyaan suaminya. “Tentu saja aku ada dipihakmu. Aku ‘kan istrimu, memangnya ada istri yang tidak memihak suaminya? Ada-ada saja.” Akhirnya Lusi bisa menjawab pertayaan itu.

“Lusi, apa yang kamu inginkan? Akan kukabulkan,” kata Mark memberi tawaran kepada istrinya.

“Beneran? Kalau begitu aku mau mengirim uang untuk bapakku yang sedang sakit setiap bulan. Maafin aku, hanya itu yang kubutuhkan sekarang. Aku gak maksa kok kalau kamu gak mau, itu bukan kewajibanmu,” tukas Lusi menautkan jemarinya. Takut bila suaminya marah.

Mark tertawa kecil, “Berapa nominal yang harus kukirim kepada orang tuamu setiap bulannya?” tanya Mark.

Mata Lusi berbinar mendengarnya, sungguh suaminya mau mengabulkan permintaannya. Seluruh tubuh Lusi meremang. Kedua matanya telah dipenuhi oleh air mata yang siap meluncur.

“Terima kasih, Suamiku... Kamu benaran berhati malaikat.” Lusi berlari memeluk suaminya. Air matanya kini telah menetas membahasi kedua pipi gembulnya. “Aku benaran beruntung memiliki pria sepertimu,” pujinya merasa sangat bersyukur.

“Sepertinya terbalik.” Mark mengelus punggung istrinya yang bergetar akibat menangis.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status