Share

Bab 1

Kanaya membuka matanya pukul lima pagi. Ia memegang kepalanya yang sedikit terasa pusing. Matanya menelusuri ruangan tempat ia berada dengan seksama. 

"Akh....," Ringisnya saat ia merasakan sakit di area pusatnya. 

Hingga matanya terpaku pada sosok tubuh tegap yang sedang tidur telungkup di sampingnya. Seakan menyadari sesuatu, Kanaya segera memeriksa tubuhnya di balik selimut. Hampa, mata itu terlihat hampa saat melihat tubuhnya sudah polos dan hanya dibalut selimut putih tipis. Air mata Kanaya mengalir deras mengetahui dirinya tidak suci lagi. Ia pun teringat kejadian semalam. Di mana ia yang meminta pria itu untuk menidurinya. Entah karena alasan apa, tapi dirinya sangat mendamba pria tersebut. Dia pasti sudah gila. Semua yang terjadi adalah kesalahannya, ia tidak boleh melibatkan pria itu dalam masalah yang ia ciptakan sendiri.

"Dia nggak salah, aku yang ceroboh. Harusnya aku tidak pergi ke klub itu," gumamnya pelan.

Kanaya turun dengan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, Kanaya bergegas keluar dari hotel tersebut meninggalkan pria itu. Setelah kepergian Kanaya. Eiden bangun pukul tujuh. Ia kemudian meraba wanita yang tadi malam berada di sampingnya dengan mata masih terpejam, kosong. Matanya terbuka lebar dan terbelalak saat melihat ada sebercak darah terciprat di seprei putih tersebut. 

“Apa ini,” ucapnya masih dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Sedetik kemudian ia terbelalak sempurna.

"What! Dia masih perawan?" Tanyanya pada diri sendiri. 

Ia melilitkan kain tersebut untuk menutupi bagian tubuhnya yang lain. Ia berjalan ke kamar mandi, mana tahu gadis itu berada di sana sedang menangis atau meraung seperti di sinetron. Tapi kosong, tidak ada siapa pun di sana. Ia menghela napas mengetahui gadis itu sudah pergi dari sana. 

"Gila! Aku belum mau menikah. Astaga! Kenapa juga semalam malah ngikutin bisikan setan yang terkutuk, Hais!" Rutuknya kesal. 

Eiden menjambak rambut ikalnya dengan kesal. Ia belum mau menikah dan berkomitmen dengan wanita lain. Kalau begini caranya Eiden harus menikahi Kanaya. 

"Apa aku buat perjanjian aja ya? Tapi kalau Mama tau bisa-bisa aku dideportasi ke Vatikan." 

Bingung dengan hasil pemikirannya, Eiden segera membersihkan diri lalu pergi mencari Kanaya. Sebelum gadis itu datang dan mengadu kepada orang tuanya, dia hanya mengenal gadis itu semalam, bisa saja ini hanya jebakan untuk memerasnya. 

"Tunggu, ini bener-bener gila! Aku cuma tau nama dia doang. Gimana cara nyari dia. Eiden kampret. Dasar otak udang!" dengkusnya semakin kesal saat ia tidak mengetahui alamat wanita itu. Sekarang apa yang harus dia lakukan untuk semua masalah ini. Bisa mampus dia kalau Kanaya mendatangi rumah orang tuanya. 

****

Jika biasanya Eiden masuk kantor dengan wajah biasa saja. Tidak dengan hari ini, Eiden terlihat sangat kesal, terlihat dari wajah yang terlihat sangat masam. Siapa saja tidak berani menyapanya seperti hari biasa, meski sapaan karyawan kerap diacuhkan. 

"Kenapa si Bos, sepertinya sedang marah," ucap salah satu karyawannya yang terkenal paling kepo. 

"Mending kita jaga jarak aja biar aman." Usul temannya yang diangguki oleh mereka bertiga. 

Sesampai di ruangannya, Eiden segera mendaratkan pantat seksinya di kursi kebesaran yang sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Ada-ada saja bukan.

"Kenapa lo?" Ardi masuk sambil membawa beberapa file. 

"Masuk main nyelonong aja!" 

"Biasanya juga gue masuk sambil dobrak pintu juga lo nggak masalah. Gue tau nih, pasti gara-gara pacar lo!" Tebak Ardi selaku sahabat Eiden.

Eiden menarik napas lalu menceritakan semuanya pada Ardi. Pria dengan rambut sedikit keriting indomie itu tampak sangat kaget. Untung napasnya tidak kaget seperti jiwanya. Bisa almarhum dia saat itu juga.

"Anjir! serius lo, Bro?" tanya Ardi dengan wajah melongo. 

Eiden memutar bola mata kesal. Untung sahabat, kalau bukan sudah ia tendang Ardi ke toilet. Tapi dia masih sangat membutuhkan saran dari Ardi, jadi dia harus menahan niatnya.

"Menurutmu, aku harus gimana?" 

Ardi menatap serius wajah Eiden. Menurutnya Eiden tidak perlu pusing memikirkan semua itu. Lagi pula wanita kalau sudah tidak suci lagi pasti akan mendatangi pria yang membuatnya ternoda. Ia juga ingat kata tetangganya mengenai hal ini.

"Berdasarkan cerita tetangga gue, cewek itu pasti bakal nyari lo buat menuntut tanggung jawab."

"Terus kalau dia nggak mendatangiku, gimana?" 

"Nggak mungkin, di mana-mana wanita itu kalau sudah direnggut kesuciannya. Dia bakal datang balik untuk meminta pertanggung jawaban, tenang aja lo." 

Eiden manggut-manggut mendengarnya. Mungkin dia memang harus menunggu Kanaya datang menghampirinya. Apapun konsekuensinya akan ia tanggung nantinya. Harusnya dia senang, tapi tidak dengannya. Seolah ribuan bebam sedang bersandar pada pundaknya.

"Mengenai Risma. Lo beneran udah putus." tanya Ardi serius. 

"Sekarang Dinda milik Kanda seutuhnya," ucap Eiden sarkastik saat Ardi kembali mengingatkannya tentang Risma. Gadis yang sudah membuatnya merana.

"Najis, lo."

Dua minggu kemudian... 

Eiden dibuat gelisah saat tidak ada ciri-ciri Kanaya meminta pertanggung jawabannya. Selama dua minggu setiap bel rumahnya berbunyi, ia selalu mengira Kanaya lah yang datang. Ia bahkan bersedia membuka pintu dengan jantung berdebar kencang. Tingkahnya smapai membuat sang ibu merasa khawatir. Karena tidak biasanya ia melakukan hal tersebut. 

"Kenapa dia tidak datang juga. Apa dia nggak hamil, syukur-syukur kalau nggak hamil." Bisiknya, tapi entah kenapa ia sedikit kecewa dengan argumennya. Entah apa yang sebenarnya ia harapkan sebenarnya saat ini.

"Siapa yang hamil?" 

Eiden sedikit kaget mendengar pertanyaan ibunya yang datang tanpa di undang, untung bukan jelangkung.

"Itu Ma, tokeknya Bongbong hamil lagi padahal anaknya udah sepuluh." 

"Astaga. Tokek itu benar-benar! Main sama siapa lagi dia." Anita tampak kesal mengetahui tokek putrinya hamil lagi. Padahal anak-anaknya juga masih bayi tapi sudah berani hamil. Belum lagi suami tokeknya malas mencari nafkah. Untung ada putrinya yang mencari nafkah dengan mengemis padanya. 

Setelah kepergian ibunya, Eiden menghela napas lega sekaligus gusar. Bagaimana kalau ibunya tau dia telah menghamili anak orang. Nasibnya sungguh di ujung tanduk. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status