Share

Dipaksa Menjadi Istri CEO
Dipaksa Menjadi Istri CEO
Penulis: Hairunnisa Ys

Prolog

Malam itu Kanaya menangis di meja yang berada paling sudut ruangan klub. Jalinan cinta dengan kekasih, sudah ia rajuk semenjak 2012 lalu. Itu artinya ia dan kekasihnya sudah berpacaran kurang lebih selama delapan tahun. Air matanya merembes keluar bak air terjun yang mengalir deras. 

Di samping Kanaya, terlihat seorang pria sedang meneguk segelas Vodka.  Seorang bartender kembali mengantar lagi satu gelas Vodka ke meja tersebut. 

"Hai, kenapa kau menangis?" sapanya di tengah suara musik yang berdentum kencang, mengalahkan toa promo jamu kuat. 

Kanaya melihat ke sampingnya dan menemukan pria tersebut sedang menatapnya dengan wajah bertanya.

"Apa urusanmu?" 

"Aku hanya tidak bisa melihat seorang gadis menangis." ejeknya yang terlihat sangat kentara.

Kanaya menatap wajah pria tersebut, kemudian ia menangis lagi dengan sesegukan. Melihat wajah pria itu membuat Kanaya teringat akan wajah kekasihnya. Meski ketampanan mereka berdua bagai langit dan bumi.

"Kamu tau, betapa jahatnya pria yang telah memutuskanku." cerita Kanaya disela tangisnya. 

"Jangan bilang kalau kau juga dikhianati? Cih! Kukira yang jahat itu hanya kaum wanita," ucapnya sambil menutup matanya sejenak. 

"Dari mana kamu tahu?" tanya Kanaya menatap lekat sosok tersebut. Ia mengusap pelan air mata yang sudah mulai kering.

Kanaya terpukau, ia melihat betapa sempurnanya sosok yang kini sedang duduk berdampingan dengannya. Mata yang tajam dengan rahang yang kokoh. Netra kecokelatan yang mampu membius siapa saja yang melihatnya. Hidungnya juga mancung, sangat berbeda jauh dengan dirinya yang pesek. 

"Terlihat dari penampilanmu!" tunjuk Eiden tersenyum jahil. Ia melanjutkan kalimatnya. "Aku sangat tahu bahwa wajahku sangat tampan." 

Kanaya melihat penampilannya yang sedikit berantakan. Mungkin dia butuh kaca untuk melihat kekacauan wajahnya saat ini, tapi untungnya tidak ada kaca.

"Ah, maaf tapi kenapa wajah setampan dirimu malah dikhianati?" Kebingungan sangat kentara di wajah Kanaya. Bahkan kekasihnya yang berwajah pas-pasan saja menghianatinya. Bukankah aneh jika pria setampan ini malah di khianati.

"Entahlah." desah pria tersebut, sesekali meneguk vodka nya. 

"Padahal kamu sangat tampan." gumam Kanaya yang masih bisa didengar oleh pria tersebut. 

"Terkadang ketampanan tidak bisa menjamin bertahannya suatu hubungan." Seru pria tersebut dengan wajah miris. Untungnya tidak ada lagu kumenangis. Bisa hancur reputasinya saat itu juga.

"Kamu kadang suka benar juga." celetuk Kanaya. 

"Perkenalkan saya Eiden, kalau kau?" tanya Eiden sambil mengulurkan tangannya. 

Kanaya menyambut uluran tangan tersebut. "Kanaya tapi panggil aja Kanaya."

"Emang apa bedanya namamu Kanaya dengan nama panggilanmu Kanaya. Hurufnya sama-sama Kanaya." dengkus Eiden sambil tertawa pelan.

"Emang sama tapi anggap aja beda."

Eiden mengalah, ia pernah dengar kata pepatas kalau wanita tidak pernah salah. Dia mengakuinya kali ini.

"Omong-omong, kenapa dirimu bisa dikhianati oleh pacarmu?" Kanaya sangat penasaran. Menurutnya Kanaya bisa dijadikan pacar yang baik dan budiman. 

"Sebelum aku menjawabnya, apa menurutmu aku ini wanita nakal?" 

"Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya."

"Memangnya apa jawabannya?"

"Jelas-jelas kau ini polos." decak Eiden sambil melirik pakaian yang dikenakan Kanaya. Wanita mana yang memakai baju tertutup ke sebuah klub. 

"Lagian kenapa sampai nyasar ke tempat beginian. Gimana kalau kau bertemu sama pria hidung belang." 

"Maksudmu, hidung mereka besar-besar? Apa ada orang modelan begitu di sini?" tanya Kanaya penasaran.

"Buset, pria hidung belang aja kau nggak tahu, astaga kau ini!" desahnya. "Lantas apa hubungannya dengan pertanyaanmu?" alis Eiden terlihat menukik sebelah. 

"Dia ingin tidur bersamaku meski satu malam saja. Tapi aku ini bukan wanita seliar itu." curhatnya. "Aku wanita baik-baik, kenapa dia tidak memahamiku. Padahal kami sudah berpacaran sangat lama."

"Memangnya seberapa lama?"

"Kurang lebih delapan tahun," jawab Kanaya. 

"Buset! Kau sedang pacaran atau sedang mengeredit mobil." 

Kanaya tampak kesal mendengar respon Eiden. 

"Aku tahu, makanya aku menangis seperti orang bodoh." decaknya. 

"Baiklah, maafkan responku," ucap Eiden. 

Kanaya hanya mengangguk kecil. Matanya terlihat sudah berkunang-kunang. Ada gelenyar panas dalam dirinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. 

"Tunggu, kenapa wajahmu sangat merah?" tanya Eiden saat melihat wajah Kanaya. 

"Entahlah, rasanya sangat aneh. Tubuhku sangat panas," ucap Kanaya sedikit panik. 

Eiden pun menyadari sesuatu. Ia melihat Kanaya yang seperti belut kepanasan. Sepertinya ada seseorang yang mencampur minumannya dengan sesuatu. 

"Sial!" geram Eiden, ia ingat sebelum berjalan ke meja bartender ada seorang pria yang mendekati Kanaya lalu memberinya minum. Gadis ini benar-benar bodoh. Eiden mencurigai  reaksi Kanaya ada hubungannya dengan pria itu. 

"Panas sekali." keluh Kanaya dengan wajah tersiksa. Eiden mengalihkan tatapannya pada gadis itu. 

"Apa kau mengingat rumahmu?" tanya Aiden setengah membopong tubuh tersebut. 

"Ingat," ucap Kanaya dengan napas terputus-putus. 

"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang." gumam Eiden. 

Eiden tidak tega untuk membiarkan wanita polos seperti Kanaya menjadi santapan pria hidung belang. Dengan penuh pertimbangan akhirnya Eiden membawa Kanaya pulang. Saat dalam perjalanan kondisi Kanaya sangat mengenaskan. Wanita itu terlihat sangat tersiksa saat reaksi obatnya mulai bekerja. Eiden memutar balik arah tujuan mereka. Ia tidak mungkin menanyai jalan pada Kanaya dalam kondisi seperti itu. Eiden membawa Kanaya ke apartemennya. 

"Panas..., tolong aku." Rintihnya. 

Rintihan Kanaya sangat menganggu Eiden. Di tambah Kanaya sudah mulai melepaskan pakaiannya satu persatu hingga menyisakan bra. Sedangkan bagian bawahnya masih utuh. 

Eiden membaringkan Kanaya di sofa. Gadis itu menggeliat bagai cacing kepanasan. Keringatnya sudah membanjiri tubuhnya. Kanaya bahkan mulai menggosok-gosok daerah intimnya sembari mendesah. 

Eiden bergegas ke kulkas, mengambil es batu. Terburu-buru dia menuangkan ke baskom yang kemudian diisi air. Dia perlu kain untuk mengompres. Sial, dia tidak punya kain kecil.

Eiden berlari kembali ke ruang tamu dan melihat Kanaya.

"Sial!" Eiden melepaskan kemejanya sendiri merendam ke baskom es.

Kanaya malah mendekatinya, meraba otot perut pria itu membuat Eiden panas dingin.

"Panas sekali," desah gadis itu. 

Tangan Eiden bergetar ketika memeras kemejanya. Buru-buru dia menyelubungi Kanaya dengan kemeja yang sudah ia basahi dan terasa dingin. 

"Tolong aku," rintihnya. 

"Persetan. Maafkan aku." Eiden membalik tubuhnya dan terjadilah sesuatu yang tidak mereka inginkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status