Share

Bab 2

Sudah satu bulan berlalu. Namun, belum ada wanita bernama Kanaya yang menemui Eiden untuk meminta pertanggung jawaban. Hal tersebut semakin membuat Eiden frustrasi sekaligus bingung. Di saat banyak pria yang bahagia karena tidak dituntut untuk bertanggung jawab. Berbeda dengan Eiden, pria itu tidak  bisa hidup dengan tenang sampai Kanaya menemuinya. Ia bahkan sampai bermimpi memiliki bayi yang mungil nan lucu dan memanggilnya om. Tentu saja Eiden tidak senang akan panggilan tersebut meski hanya dalam mimpi.

"Lo kenapa lagi?" Tanya Ardi saat melihat wajah sahabatnya sudah bisa disulam.

"Ardi, kamu bilang dia bakal datang. Mana buktinya? Ini sudah satu bulan tapi dia belum juga datang menemuiku."

"Astaga Eiden! Harusnya lo senang."

"Senang ndasmu! Yang ada otakku rasanya mau pecah karena kepikiran terus!" dengkusnya membuat Ardi terkikik geli.

"Lo yakin kalau dia hamil anak lo?" 

"Yakinlah, kan yang pertama menyentuh dia itu aku, tahu nggak, bahkan pacarnya sendiri nggak dia kasih. Eh ralat mantan pacarnya." 

"Anying! Jadi lo yang pertama!" 

Mereka berdua tertawa sejenak sebelum seseorang datang mengetuk pintu ruangan Eiden. 

"Masuk!" teriak Eiden. 

"Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak."

"Siapa?" tanya Eiden dengan wajah sedikit berseri. Ia sangat berharap Kanayalah orangnya. 

"Saya tidak tahu, Pak. Karena Nona itu tidak menyebutkan namanya." 

Eiden seolah yakin jika tamu itu adalah wanita yang selama ini ia tunggu. "Persilakan dia masuk!" Perintahnya. 

"Baik, Pak."

“Apa gue bilang, cewek itu pasti orang yang selama ini lo tunggu.”

“Untuk selanjutnya aku akan berguru padamu Kanda.”

“Najis lo, kampret!”Eiden tertawa mendengarnya. 

wanita paruh baya yang menjabat sebagai sekretarisnya mempersilakan wanita itu masuk. Ia sengaja mempekerjakan wanita paruh baya, agar terhindar dari wanita jelmaan syaitan yang terkutuk. Eiden membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Sedangkan Ardi memutuskan pergi dari sana. Suara tumit sepatu bertemu permukaan lantai membuat ketukan  berirama. Jantung Eiden berpacu dengan cepat. Dia membalikkan tubuhnya saat suara sepatu semakin mendekat. Senyumnya merekah sempurna saat ia menghadap wanita tersebut. Namun, lekukan bibirnya perlahan berubah datar saat wanita lain yang muncul dihadapannya. 

"Halo, Sayang!" Sapa wanita tersebut. 

"Apa yang kau lakukan di sini!" Intonasinya terdengar datar. 

"Aku sangat merindukanmu," ucapnya dengan wajah tersenyum seksi versi majalah dewasa. Eiden sangat membenci wanita yang kini sedang berdiri di hadapannya. Wanita yang sudah membuatnya hampir gila. 

"Ketika kau memutuskan pergi bersama pria lain, di saat itu juga tidak akan ada pintu lain untukmu kembali!" tegas Eiden dingin. Wajahnya terlihat sangat marah. Berbagai guratan emosi terlihat jelas di matanya. 

"Sayang, kenapa kamu begitu dingin padaku?" tanya wanita itu dengan raut sedih. 

"Bukan aku yang memintanya, tapi kau! Sekarang pergi dari ruanganku!" usirnya. 

"Kau sudah berjanji padaku akan selalu menyayangiku."

Mata Eiden sudah merah menahan amarah. Dia mendekati wanita itu dengan mata tajam. "Bukan aku yang tidak menyayangimu, tapi dirimu sendiri! Kau mau keluar dengan baik-baik atau diseret paksa oleh satpam!" 

"Aku tidak akan keluar sampai kamu mau mendengarkan aku."

Dengan geram Eiden segera memanggil satpam. 

"Keruangan saya sekarang!" 

Risma tampak masih mengiba pada Eiden. Namun, pria tersebut tidak bergeming sama sekali sampai dua satpam datang menghadapnya. Sesungguhnya mereka berdua sangat takut, apalagi melihat wajah bos besar mereka yang merah padam.

"Seret wanita ini keluar! Jangan sampai dia masuk dan merusak suasana hatiku! Jika dia masuk kembali, pekerjaan kalian akan menjadi taruhannya! Sampah tidak seharusnya di tempat yang bersih!" ejek Eiden tanpa perasaan. 

"Eiden, kamu akan menyesal. Aku akan membalasmu!" teriak Risma tak terima dirinya di seret dua satpam. Secara langsung Eiden mempermalukannya di depan umum.

"Bodo amat! Dasar sinting." kesalnya. Ia menarik napas dengan dalam sambil mengembuskan kembali. Ia. Melakukannya sampai tiga kali. 

Malamnya, Eiden pulang dengan wajah kusut. Tubuhnya sangat kelelahan di tambah kemacetan ibu kota membuatnya semakin frustrasi. Ia mengalihkan tatapannya ke arah acak. Matanya menangkap satu sosok yang selama ini ia tunggu siang dan malam. 

"Kanaya," ucapnya. 

Ia hendak mengejar Kanaya. Namun, lampu yang tadi merah kini sudah berganti hijau. Kebisingan terjadi saat beberapa mobil di belakangnya membunyikan klakson.

"Sial!" rutuknya kesal. 

Ia melihat kembali ke arah tadi tapi tidak ada lagi sosok itu di sana. Kembali ia kehilangan jejak Kanaya. Besok mungkin dia harus mengemis di sekitar sini. Ia menggelengkan kepala dengan idenya yang sangat menjatuhkan martabatnya sebagai lelaki tampan dan mapan. Ia kembali harus kecewa karena tidak bisa menemukan Kanaya di mana pun. Apa dia harus membayar seorang detektif agar Kanaya bisa ditemukan. Ia kembali menggeleng dan memutuskan kembali ke rumahnya. Ia akan memikirkan segalanya besok, untuk malam ini ia harus beristirahat dengan tenang.

-----------


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status