Share

Bab 5

Eiden menatap wajah Kanaya dengan bahagia. Sebentar lagi ia akan mendapatkan anak dari wanita yang baru saja ia kenal. Meskipun terdengar aneh. Namun, bagi Eiden semua tidak menjadi masalah asal ia tidak menikah dengan wanita pilihan ibunya. Membayangkan dempul tebal yang menghiasi wajah mereka saja membuat Eiden mual. Disela pengamatannya, mata Kanaya terbuka secara perlahan. Maniknya menatap aneh pada Eiden.

"Kamu di mana?" Kanaya mengedarkan  pandang matanya ke depan. Ia terlihat meneliti tempat Eiden berada.

Eiden sedikit terkejut mendengar pertanyaan Kanaya, jika biasanya wanita yang baru sadar selalu menanyakan di mana mereka, ini malah terbalik. Ia menggeleng kepala melihat kekonyolan Kanaya. 

"Kamu tadi pingsan terus kubawa ke rumah sakit." Eiden menatap lekat wajah polos Kanaya.

Kanaya memilin jemarinya dengan pelan sambil membuang pandang dari Eiden. Ia sedikit gugup melihat ketampanan pria itu. Sejujurnya ia grogi saat mata tajam itu menatapnya dengan dalam. Bahkan dalam mimpi buruk sekali pun, Kanaya tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan pria seperti Eiden. Pria itu mendadak teringat dengan janjinya pada Kanjeng Ratu alias ibunya.

"Kana, aku mau mempertanggung jawabkan kehamilan kamu."

Kanaya menatap heran wajah Eiden. Kenapa Eiden sangat ngotot ingin bertanggung jawab, bahkan Kanaya menatap mata Eiden lekat dan  kebohongan tidak terdeteksi di sana.

"Tapi, kamu. Nggak salah, ini murni kecelakaan semata. Aku nggak mau menyeret kamu atas kesalahan yang tidak disengaja." wajah bersalah tampak jelas di matanya. 

Eiden menggeleng geram melihat penolakan Kanaya terhadapnya. Memangnya apa kurangnya dia di mata Kanaya. Bahkan Eiden mengambil sebuah kaca kecil yang kebetulan ada di nakas. Ia memperhatikan wajahnya dan mendengkus kesal karena dia sangat tampan. Lalu kenapa sangat susah membuat Kanaya mau bersamanya.

"Kana, tolong dengarin aku. Oke sekarang kamu menolak, tapi gimana kalau nanti perut kamu sudah besar dan buncit. Terus ada yang nanyak itu anak siapa. Kamu bisa jawab?" Tanya Eiden panjang lebar. Sesekali ia melihat ponselnya yang bergetar.

Kanaya tampak berpikir keras mencerna segala ucapan Eiden. Mungkin sekarang dia bisa mengatakan tidak perlu pertanggung jawaban Eiden. Namun, bagaimana kalau perutnya buncit seperti yang Eiden katakan. Kanaya merasa bimbang.

"Gimana? Kamu mau menerimaku untuk bertanggung jawab? Lagian kamu nggak akan menyesel karena selain ganteng, aku juga tajir melintir." Eiden tersenyum sombong. Ia yakin Kanaya akan mulai tergoda mendengar statusnya yang kaya raya.

Kanaya masih asyik memikirkan segala kemungkinan yang menganggu otaknya. Sampai ia menemukan ide. 

"Aku punya ide," ucapnya semangat.

"Ide apaan? Jangan yang aneh-aneh!"

"Kalau aku udah hamil besar atau pun anakku sudah lahir dan menanyakanmu. Aku tinggal bilang aja kalau ayah mereka sudah meninggal." Kanaya menjentikkan jemarinya seolah ia sudah mendapat sebuah ide berlian.

Eiden menyentil dahi Kanaya dengan pelan, tapi berhasil membuatnya meringis.

"Awww!" Ringisnya.

"Syukurin, aku sehat begini malah didoain mati." kesalnya.

"Bukan gitu tapi supaya kita nggak perlu menikah."

"Kenapa kamu nggak mau menikah denganku? Apa aku kurang kaya?"

Kanaya menggeleng, "Kamu kan ganteng tajir melintir pula, apa cocok kalau bersanding denganku yang wanita rendahan." raut wajah Kanaya tampak sedikit murung.

Kembali Eiden menyentil dahi Kanaya dengan geram level dua, membuat Kanaya kembali mengaduh kesakitan.

"Sakit!" protes Kanaya kesal. Pasalnya sudah dua kali dahinya menjadi korban.

"Salah sendiri, ngomong sembarangan! Lagian nuntut dari mana sih?"

"Dari n***l yang kubaca. Ceritanya keren tau, ada sedih lucu-lucunya." Kanaya mencoba nostalgia dan mengingat kembali kisah yang selalu berhasil membuatnya baper tujuh keturunan.

"Dasar halu, pantas saja kamu begini, ternyata korban pernovelan!" ejek Eiden masih dengan raut kesal.

"Karena hidupku terlalu datar untuk diingat." cicit Kanaya kecil bahkan Eiden tidak mendengarnya.

"Pokoknya aku nggak mau tai eh tau, kamu harus mau menikah denganku. No bantahan!"

Sontak Kanaya mengurungkan niat melawan Eiden. Eiden tersenyum kecil melihat kepatuhan Kanaya. Ia lebih menyukai Kanaya yang seperti ini dari pada selalu menolaknya. Apalagi kembali bayangan bayi yang memanggilnya dengan sebutan om, sungguh keterlaluan.

"Nanti malam kita akan bertemu kedua orang tuaku. Ingat ya mereka tidak suka basa basi."

Kanaya mengerutkan alisnya. Ia berpikir memangnya dia tipe yang suka basi. Tapi dia hanya patuh saja, bosan juga terus dipaksa dengan iming ketampanan. Ya meski pun memang dia sangat terpesona dengan ketampanan Eiden. Tapi cara mereka salah untuk hidup bersama. Itulah alasan Kanaya tidak ingin menjerat Eiden dalam ikatan pernikahan.

"Oh iya, kata Dokter kamu udah bisa pulang. Ingat! Nanti malam akan ku jemput ke rumah. Dandan yang cantik."

Kanaya lagi-lagi mebgerutkan alisnya. Memangnya Kanaya secantik apa sampai disuruh berdandan cantik. Kanaya menarik napas lelah dan mengembuskannya perlahan.

"Dengar nggak?"


Sontak Kanaya kaget dan hampir menghapal semua nama hewan yang hidup di air. 

"Mengangetkan tau, iya iya."


"Ingat! Kamu harus tampil cantik."


"Baik, tuan pengatur. His!" Kanaya mulai mendumel dalam hati.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status