Hai semuanya, jangan lupa beri dukungan buku ini berupa vote Gems ya—supaya cerita Daryan dan Savana masuk kategori menang kontes. Terima kasih:)
Malam itu, Bella datang berkunjung ke mansion Ardhanata. Setelah melangkah masuk ke dalam rumah megah tersebut, Bella langsung menuju kamar wanita paruh baya itu. Ajeng sedang beristirahat, terbaring di tempat tidur, terlihat lelah namun senyuman hangat tetap terpancar ketika Bella masuk. "Bel, kamu datang?" Sapanya pada wanita cantik itu. Bella membalasnya dengan senyuman hangat. Di meja samping ranjang, Bella melihat sebuah buket bunga mawar putih yang indah, terjaga dengan sempurna di dalam vas kaca. "Itu dari siapa, Tan?" tanya Bella dengan rasa ingin tahu, matanya menatap bunga itu. "Oh, itu dari Daryan. Tadi pagi dia ke sini," jawab Ajeng santai, sambil membenarkan selimut yang menutupi kakinya. "Oh ya?" Bella terkejut. "Daryan? Serius? Aku udah nungguin dia dateng semalam, tapi malah nggak ada kabar. Malah datangnya tadi pagi, ya?" Bella mendengus pelan, kesal. "Aku benar-benar nggak ngerti deh sama dia. Masa mau jenguk orang tuanya sakit ditunda sampai besoknya?" Ajeng
Daryan menutup panggilan. Punggungnya menyender di sandaran kursi. Dia meletakkan ponselnya di atas meja kerjanya, menatap kosong ke arah langit-langit. Masih ada rasa cemas yang tak hilang begitu saja. Ia tahu, hubungannya dengan ibunya belum sepenuhnya pulih, dan kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya keluar begitu saja tanpa bisa ditahan. Dengan perasaan yang campur aduk, Daryan menarik napas panjang dan menekan tombol kontak yang sudah familiar di ponselnya. Beberapa detik kemudian, suara lembut Savana terdengar di ujung sana. "Halo, mas?" suara istrinya menyapanya. "Hm, kamu lagi apa?" Daryan bertanya, nada suaranya sedikit lebih ringan daripada tadi. Savana yang kini sedang duduk di ruang tamu rumah ibunya, Hana, merasa sedikit terkejut mendengar suaminya menelepon di waktu seperti ini. Tadi, perasaannya sempat campur aduk setelah pertemuannya dengan Ajeng, tapi kini ada sedikit ketenangan setelah mendengar suara Daryan. "Aku lagi nyantai di ruang tengah," jawab Savana, l
Setelah Savana keluar, ruangan itu kembali sepi. Ajeng masih duduk di sofa, matanya menatap kosong. Namun, pandangannya perlahan beralih ke meja di hadapannya. Di sana, foto USG bayi itu terletak dengan tenang, seolah mengajak Ajeng untuk melihatnya. Hati Ajeng terasa seperti dihantam palu godam, namun dengan gerakan perlahan dan hati yang berat, tangannya meraih bingkai foto tersebut. Matanya yang sudah lelah mulai menatap gambar itu dengan penuh perasaan. Bayi yang tampak dalam foto itu, dengan bentuk tubuh kecilnya yang masih sangat rapuh, tak bisa disangkal berhasil membuat hatinya tergerak. "Apa yang harus aku rasakan?" gumamnya pelan, suaranya penuh kebingungan. Marah. Kecewa. Sakit hati. Semua masih ada. Ia belum bisa melupakan bagaimana Daryan mengambil keputusan besar tanpa bertanya. Belum bisa sepenuhnya memaafkan Savana. Tapi di balik semua itu, sebagai seorang ibu, nalurinya tetap bicara—ingin melindungi darah dagingnya. Ajeng menggigit bibir bawahnya, mencoba men
Savana berdiri di teras mansion mewah Ardhanata, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah masuk dengan hati-hati. Di tangannya terdapat parsel buah premium yang ia bawa dengan tujuan baik. Savana tahu hubungan antara dirinya dan Ajeng tidaklah baik. Namun, kali ini dia datang dengan niat yang tulus. Pelayan yang tadi sedang berkemas di ruang tamu langsung menyapanya begitu melihat Savana datang, lalu membungkuk hormat. Savana hanya membalas dengan senyuman kecil, langkahnya terus membawanya menuju kamar Ajeng. Saat melewati ruang tengah, ia melihat ibu mertuanya duduk di sofa sambil memegang iPad, menatapnya dengan tatapan tajam dan sedikit terkejut. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya, suaranya terdengar dingin dan penuh kebencian. Savana tersenyum, berusaha menenangkan suasana, meski hatinya sedikit terluka dengan sambutan yang begitu tegas. "Saya denger mama sakit, jadi saya dateng buat jenguk dan saya juga bawain mama buah-buahan," katanya pelan. Ajeng memutar bola m
"Mas, gimana keadaan mama?" tanya Savana pelan, memecah keheningan di dalam mobil. Daryan tak langsung menjawab. Ia hanya mengatur napasnya, masih merasa kesal dan bingung dengan sikap ibunya yang terus memaksanya berada dalam dilema. Savana menatap suaminya, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang penuh pergolakan. "Mas?" panggilnya lagi dengan lembut. Daryan menghela napas panjang, matanya menatap jalanan di depan mobil. "Mama baik-baik aja, sayang. Tapi dia harus pake bantuan tongkat, karena kakinya terpelintir pas jatuh kemarin," ujarnya pelan, berusaha terdengar lembut, namun nada suaranya terasa kaku. Savana merasakan ada beban di dada Daryan. Ia tahu betapa sulitnya bagi Daryan, berada dalam posisi yang selalu terjepit antara ibunya dan dirinya. "Syukur deh, Mas. Aku ikut senang dengernya kalau mama baik-baik aja. Tapi ... kenapa muka kamu kelihatan kesal? Ada sesuatu yang terjadi lagi di dalem?" Daryan tak menjawab, hanya menghela napas berat. "Mas, kamu nggak bisa ter
Pagi itu, usai dari dokter kandungan, Daryan dan Savana langsung menuju mansion Ardhanata untuk menjenguk Ajeng yang tengah sakit. Savana menatap suaminya lewat kaca tengah mobil. Daryan tampak lesu, seolah tak bersemangat datang ke mansion. Faktanya, pria itu datang bukan atas kemauannya sendiri, melainkan karena permintaan Savana. Satu tangan Daryan bertengger di atas perut buncit Savana, mengusapnya dengan lembut naik turun. Savana tersenyum kecil, lalu menyentuh tangan suaminya dan mengusap punggungnya. "Mas," panggilnya pelan, membuat Daryan menoleh dan mengangkat alis. "Kenapa, sayang?" tanya Daryan saat Savana tak melanjutkan ucapannya. "Enggak," Savana menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. Ia ragu untuk bertanya mengapa wajah suaminya terlihat muram. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di mansion Ardhanata. Sopir segera turun membuka pintu mobil. Saat Savana hendak keluar, Daryan buru-buru menahannya. "Kenapa, Mas?" Savana menoleh pada suaminya yang menahan len