"Sa, kamu kenapa?" Tanya Rinka sambil menepuk bahu Savana pelan, begitu melihat temannya itu membeku sambil menatap ke arah keluarga Radja.
Savana sontak menoleh, lalu mengulas senyum kecil. "Aku ... aku gak apa-apa kok, Rin." Rinka mengkerutkan keningnya, "Aku panggil kamu sampe tiga kali, tapi kamu gak denger-denger. Kamu juga ngelihatin Radja terus, kamu mau ngucapin selamat juga ke dia?" "Hah?" Savana terkejut mendengar pertanyaan itu, "I-iya, aku juga mau ngucapin selamat ke Radja. Kamu mau nemenin aku ke sana?" "Boleh," angguk Rinka, lalu menggenggam tangan Savana untuk mengajaknya ke sana. "Aku juga mau ucapin selamat ke Radja, semenjak kamu gak kuliah lagi ... aku temenan sama dia dan satu kelompok sama dia terus." Savana mengangguk dan tersenyum kecil, tapi begitu matanya mengarah pada keluarganya Radja—sosok wanita yang“Ayo, jalan, Nak ....” Hana terus memberikan instruksi pada kedua cucunya yang saat ini tengah belajar berjalan, ditemani juga Savana siang itu sekitar pukul sepuluh. Si kembar terus tertawa dan berceloteh sambil berjalan dipegangi tangan san nenek dan sang ibu. Begitu bersemangat saat kedua kakinya, akhirnya dapat menopang tubuhnya sendiri. “Bisa, bisa, ayo bisa!” Savana refleks berteriak dengan sang ibu ketika si kembar jalannya semakin cepat nyaris berlari membuat mereka berdua yang memegangi tangannya kaget karena ikut menyesuaikan. “Aduh, Mama capek Sayang. Nanti lagi ya latihan jalannya. Atau, kamu mau coba jalan sendiri?” “Savana ...!” tegur Hana. “Bercanda, Ma.” “Sama nenek aja ya, Nak. Tapi gantian latihannya, gak bisa nenek kalau pegang dua sekaligus. Karena kalian kan
"Sa, kamu kenapa?" Tanya Rinka sambil menepuk bahu Savana pelan, begitu melihat temannya itu membeku sambil menatap ke arah keluarga Radja. Savana sontak menoleh, lalu mengulas senyum kecil. "Aku ... aku gak apa-apa kok, Rin." Rinka mengkerutkan keningnya, "Aku panggil kamu sampe tiga kali, tapi kamu gak denger-denger. Kamu juga ngelihatin Radja terus, kamu mau ngucapin selamat juga ke dia?" "Hah?" Savana terkejut mendengar pertanyaan itu, "I-iya, aku juga mau ngucapin selamat ke Radja. Kamu mau nemenin aku ke sana?" "Boleh," angguk Rinka, lalu menggenggam tangan Savana untuk mengajaknya ke sana. "Aku juga mau ucapin selamat ke Radja, semenjak kamu gak kuliah lagi ... aku temenan sama dia dan satu kelompok sama dia terus." Savana mengangguk dan tersenyum kecil, tapi begitu matanya mengarah pada keluarganya Radja—sosok wanita yang
Savana melangkah masuk ke lobby resort mewah dengan senyum lebar di wajahnya, tangan kanan menggenggam erat buket bunga mawar merah muda yang segar. Begitu dia masuk, suara tawa dan riuh rendah memenuhi ruangan luas berlantai marmer, dipenuhi oleh tamu undangan yang berpakaian rapi. Beberapa kelompok berdiri bercengkerama di dekat meja prasmanan, sementara anak-anak kecil berlarian kecil di antara kursi-kursi empuk berwarna krem. Di sudut ruangan, Rinka berdiri mengenakan toga hitam dengan pita biru, wajahnya berseri-seri sambil mengobrol dengan teman-temannya. Begitu Savana mendekat, mata Rinka langsung berbinar, dan langsung memeluknya erat. “Savana! Kamu dateng juga, aku nggak nyangka!” seru Rinka dengan suara bersemangat, tangannya menerima buket bunga itu dengan penuh rasa terharu. “Rin, selamat ya! Akhirnya kamu resmi menyandang gelar dokter sekarang!” Savana tersenyum leba
“Akhirnya, kita sampai di taman, Sayang,” ucap Savana riang pada kedua bayi kembarnya yang duduk manis di infant car seat. Dengan hati-hati ia melepas seatbelt, lalu turun dari mobil untuk mengangkat si kecil di jok tengah. Daryan yang tadi menyetir sudah lebih dulu turun. Ia berjalan ke arah bagasi, mengeluarkan stroller lipat yang praktis. “Sini, aku yang pasangin, kamu fokus sama anak-anak dulu,” katanya sambil menegakkan stroller di sisi mobil. Savana mengangguk, kemudian bergantian menggendong Elvano dan Elvara sebelum meletakkan mereka ke stroller masing-masing. Begitu keduanya nyaman duduk, masing-masing dari mereka membawa si kembar. Udara sore terasa sejuk ketika mereka mulai melangkah ke dalam taman. Suara kicau burung bercampur dengan riuh tawa anak-anak kecil yang berlarian. Rumput hijau terhampar luas, sementara beberapa keluarga lain terlihat piknik di bawah pohon rindang. “Enak banget
Dua belas bulan berlalu sejak kelahiran anak kembar Daryan dan Savana, kini usia si kecil genap satu tahun. Pagi itu, Savana sibuk menyiapkan sarapan di dapur, aroma bubur buah dan susu hangat memenuhi udara pagi. Di meja makan, Daryan duduk sambil mengamati kedua buah hatinya yang tengah duduk tenang di high chair. "Ayo, Nak, sini makan dulu," Savana muncul membawa dua mangkuk bubur buah, sambil tersenyum pada si kembar yang tampak antusias. Salah satu bayi—Elvano, dengan mata bulat besar, meraih sendok itu dan mencoba memasukkan bubur ke mulutnya sendiri, sementara yang satunya—Elvara tertawa kecil, menatap kakaknya. Daryan ikut membantu, mengambil satu mangkuk bubur dari sang istri. "Mereka cepat juga belajarnya, ya? Kemarin aku dengar Vano bilang 'Pa' dan 'Ma'," katanya sambil tertawa pelan. Savana menatap suaminya dengan mata penuh kehangatan. "Iya, mereka berkembang cepet.
“Mama setiap hari bakal main ke sini. Papa berangkat ke kantor, Mama ikut dan langsung mampir ke sini biar bisa bantuin kamu urus si kembar. Jadi kamu jangan khawatir Mama pulang,” ucap Hana pada putrinya. Savana hanya mengangguk singkat, “Aku gak maksa Mama buat dateng, Mama dateng kalau sempet aja, ya.” Tanganya terulur meraih tangan sang ibu, dan menggenggamnya lembut. “Mama selalu sempet, kecuali kalau tetangga ada acara. Lagian Mama cuma sendirian di rumah, ketimbang nganggur mending main sama si kembar. Mama kan juga pernah janji untuk bantu rawat kembar, harus di tepati dong,” Hana tersenyum kecil, lalu mengusap bahu putrinya. “Mama pulang sekarang, ya. Pelayan yang dari mansion kan ada sepuluh orang, nanti kalau kamu kewalahan bisa minta bantu mereka juga. Kamu juga harus jagain Daryan yang lagi sakit.” “Iya, Ma. Mama hati-hati, ya.” Hana mengangg