"Kalau bukan dokter pelakunya, terus siapa?" Savana menatap Arfan sinis, suaranya bergetar menahan emosi.
Arfan menghela napas berat, "Saya juga tidak tahu, Sa. Selama ini saya sudah berusaha mencari siapa pelaku sebenarnya. Bahkan suami kamu yang punya pengaruh saja tidak mencari, dia malah menuduh saya sebagai pelaku. Bahkan saya tidak kenal dengan babysitter itu. Kenapa tidak tanya langsung pada babysitter yang pernah bekerja dengan kalian?" "Mita udah jawab, dok. Tapi Mita nyebut kalau profesi orang yang menyuruh dia itu seorang dokter. Dan dokter yang selama ini dekat dengan keluarga kami itu, ya Anda," jelas Savana dengan nada dingin yang menusuk. Arfan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menjelaskannya pada Daryan, karena pria itu tak mau mendengarkan penjelasannya sedikit pun. Yang Daryan lakukan hanyalah menuduhnya tanpa bukti. Dia juga pernah"Kalau bukan dokter pelakunya, terus siapa?" Savana menatap Arfan sinis, suaranya bergetar menahan emosi. Arfan menghela napas berat, "Saya juga tidak tahu, Sa. Selama ini saya sudah berusaha mencari siapa pelaku sebenarnya. Bahkan suami kamu yang punya pengaruh saja tidak mencari, dia malah menuduh saya sebagai pelaku. Bahkan saya tidak kenal dengan babysitter itu. Kenapa tidak tanya langsung pada babysitter yang pernah bekerja dengan kalian?" "Mita udah jawab, dok. Tapi Mita nyebut kalau profesi orang yang menyuruh dia itu seorang dokter. Dan dokter yang selama ini dekat dengan keluarga kami itu, ya Anda," jelas Savana dengan nada dingin yang menusuk. Arfan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menjelaskannya pada Daryan, karena pria itu tak mau mendengarkan penjelasannya sedikit pun. Yang Daryan lakukan hanyalah menuduhnya tanpa bukti. Dia juga pernah
Setelah sesi foto keluarga selesai, kedua orang tua Radja bergegas pamit pulang. “Kami harus cepat pulang, buru-buru, nanti macet di jalan,” ucap Dewa pada Savana dan Rinka, ia menepuk bahu Radja sebentar lalu pergi lebih dulu. Stella juga menambahkan, “Jaga diri kalian, ya. Tante pulang duluan, ya?” pamitnya pada Savana dan Rinka, lalu beralih pada putranya. "Dja, Mama pulang ya, Nak. Kamu jangan lama-lama, setelah foto studio sama temen-temen langsung pulang, ya." "Iya, Ma. Hati-hati dijalan," balas Radja singkat. Stella mengangguk pelan, lalu menyusul sang suami yang sudah pergi lebih dulu meninggalkan resort. Savana menatap Radja yang tampak santai, lalu menarik lengannya pelan. “Radja, sebentar, aku pengen ngobrol sama kamu, serius.” Radja mengalihkan pandangannya dari kerumunan teman-teman yang mulai bergerak, “Sorry, Sa, g
"Sa, kamu kenapa?" Tanya Rinka sambil menepuk bahu Savana pelan, begitu melihat temannya itu membeku sambil menatap ke arah keluarga Radja. Savana sontak menoleh, lalu mengulas senyum kecil. "Aku ... aku gak apa-apa kok, Rin." Rinka mengkerutkan keningnya, "Aku panggil kamu sampe tiga kali, tapi kamu gak denger-denger. Kamu juga ngelihatin Radja terus, kamu mau ngucapin selamat juga ke dia?" "Hah?" Savana terkejut mendengar pertanyaan itu, "I-iya, aku juga mau ngucapin selamat ke Radja. Kamu mau nemenin aku ke sana?" "Boleh," angguk Rinka, lalu menggenggam tangan Savana untuk mengajaknya ke sana. "Aku juga mau ucapin selamat ke Radja, semenjak kamu gak kuliah lagi ... aku temenan sama dia dan satu kelompok sama dia terus." Savana mengangguk dan tersenyum kecil, tapi begitu matanya mengarah pada keluarganya Radja—sosok wanita yang dia yakini Bella tadi sudah tidak ada di sana, hanya menyisakan Radja dan kedua orang tuanya. Savana dan Rinka akhirnya melangkah pelan menuju tem
Savana melangkah masuk ke lobby resort mewah dengan senyum lebar di wajahnya, tangan kanan menggenggam erat buket bunga mawar merah muda yang segar. Begitu dia masuk, suara tawa dan riuh rendah memenuhi ruangan luas berlantai marmer, dipenuhi oleh tamu undangan yang berpakaian rapi. Beberapa kelompok berdiri bercengkerama di dekat meja prasmanan, sementara anak-anak kecil berlarian kecil di antara kursi-kursi empuk berwarna krem. Di sudut ruangan, Rinka berdiri mengenakan toga hitam dengan pita biru, wajahnya berseri-seri sambil mengobrol dengan teman-temannya. Begitu Savana mendekat, mata Rinka langsung berbinar, dan langsung memeluknya erat. “Savana! Kamu dateng juga, aku nggak nyangka!” seru Rinka dengan suara bersemangat, tangannya menerima buket bunga itu dengan penuh rasa terharu. “Rin, selamat ya! Akhirnya kamu resmi menyandang gelar dokter sekarang!” Savana tersenyum lebar, matanya memancarkan kebanggaan. “Capek banget ya, aku tahu perjuangan kamu selama ini.” Rinka
“Ayo, jalan, Nak ....” Hana terus memberikan instruksi pada kedua cucunya yang saat ini tengah belajar berjalan, ditemani juga Savana siang itu sekitar pukul sepuluh. Si kembar terus tertawa dan berceloteh sambil berjalan dipegangi tangan san nenek dan sang ibu. Begitu bersemangat saat kedua kakinya, akhirnya dapat menopang tubuhnya sendiri. “Bisa, bisa, ayo bisa!” Savana refleks berteriak dengan sang ibu ketika si kembar jalannya semakin cepat nyaris berlari membuat mereka berdua yang memegangi tangannya kaget karena ikut menyesuaikan. “Aduh, Mama capek Sayang. Nanti lagi ya latihan jalannya. Atau, kamu mau coba jalan sendiri?” “Savana ...!” tegur Hana. “Bercanda, Ma.” “Sama nenek aja ya, Nak. Tapi gantian latihannya, gak bisa nenek kalau pegang dua sekaligus. Karena kalian kan masih lentur, nanti ada yang salah sama tulang kalian kalau dipaksain.” Hana kembali membawa Elvara untuk latihan berjalan seperti sebelumnya, dengan memegangi kedua tangan mungilnya itu dari
“Akhirnya, kita sampai di taman, Sayang,” ucap Savana riang pada kedua bayi kembarnya yang duduk manis di infant car seat. Dengan hati-hati ia melepas seatbelt, lalu turun dari mobil untuk mengangkat si kecil di jok tengah. Daryan yang tadi menyetir sudah lebih dulu turun. Ia berjalan ke arah bagasi, mengeluarkan stroller lipat yang praktis. “Sini, aku yang pasangin, kamu fokus sama anak-anak dulu,” katanya sambil menegakkan stroller di sisi mobil. Savana mengangguk, kemudian bergantian menggendong Elvano dan Elvara sebelum meletakkan mereka ke stroller masing-masing. Begitu keduanya nyaman duduk, masing-masing dari mereka membawa si kembar. Udara sore terasa sejuk ketika mereka mulai melangkah ke dalam taman. Suara kicau burung bercampur dengan riuh tawa anak-anak kecil yang berlarian. Rumput hijau terhampar luas, sementara beberapa keluarga lain terlihat piknik di bawah pohon rindang. “Enak banget