Malam itu sekitar pukul sebelas malam, Savana duduk seorang diri di atas ranjang sambil menatap ke pintu—menunggu Daryan selesai mengerjakan pekerjaannya di ruang kerja. Setelah percakapannya soal Ajeng, mereka terlibat keheningan bahkan saat makan malam juga. Bukan Savana tak mau membujuk suaminya, akan tetapi dia tak tahu harus bujuk bagaimana. “Apa aku buatin kopi aja?” gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang, Savana langsung turun dari ranjang. Sejenak pandangannya tertuju pada figura besar di atas ranjangnya, foto pernikahannya bersama Daryan saat belum saling cinta. Baru saja dia hendak melangkah lagi untuk meninggalkan kamar, pintu kamarnya dibuka lebih dulu dan menampilkan Daryan yang sudah kembali dari ruang kerja dengan raut lelah. “Mau ke mana?” tanya Daryan dengan kening mengerut bingung. “Em … mau nyusul kamu ke sana tadi.” Savana tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuk lehernya. “Aku udah selesai,” balas Daryan sambil menutup pintu dan melangkah menuju ranjang.
“Ini HP barunya, Mas?” Tanya Savana pada sang suami begitu Daryan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggang lebarnya, air menetes dari rambutnya yang basah—memberikan kesan maskulin, ditambah dada bidang dan perutnya yang berotot. Daryan menoleh, tatapannya tertuju pada kotak ponsel baru di tangan istrinya. “Iya. Buka aja sayang, semoga kamu suka, ya, sama warnanya.” Savana tersenyum kecil dan membuka kotak ponsel itu di atas ranjang sambil bersandar, sementara kakinya berselonjoran. Sebuah benda pipih berwarna putih dan berlogo buah apel setengah di gigit di belakangnya, “Aku suka banget Mas, makasih, ya.” Daryan tak merespon, ia hanya mengulas senyum kecil yang tipis. Setelah mengenakan celana training dan kaos, dia menyusul istrinya dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Savana. “Mas, berat,” keluh Savana, namun dia tetap merenggangkan tangannya menyambut sang suami. “Aku ada plan sayang,” ucap Daryan seraya mendongakan ke
Savana kembali masuk ke rumah, perlahan menutup pintu dengan hati yang sedikit bimbang. Pikirannya masih berputar tentang percakapan tadi dengan Daryan—terutama soal ponsel baru yang akan dibelikannya. Suaminya memang selalu perhatian dengan cara yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya, meskipun cara dia terasa terlalu mengatur, bahkan sedikit berlebihan. Tapi Savana tahu, itu demi kebaikannya dan karena Daryan sayang padanya. Saat itu, Hana, yang masih duduk di sofa, menatap putrinya dengan senyum menggoda. "Waduh, nganter suami sampe depan rumah apa sampe kantornya? Lama banget," godanya, membuat Savana tersenyum tipis dan berjalan mendekat. "Ma, jangan gitu. Aku cuma nganter Mas Daryan bentar sambil ngobrol," jawab Savana sambil duduk di sebelah ibunya. Hana mengangkat alisnya, tampak jelas dia sedang menikmati momen tersebut. "Iya, iya, Mama tahu." Savana menghela napas, sedikit bingung. "Iya, Ma, tapi … aku bingung. Gak tahu kenapa tiba-tiba dia ngatur begitu banyak
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui jendela ruang tamu rumah baru Daryan dan Savana. Hana melangkah masuk dengan tas kecil di tangan, wajahnya memancarkan senyum hangat yang tak bisa menyembunyikan sedikit kebahagiaan. Savana menyambut ibunya dengan pelukan erat, sesekali menatap sekeliling ruangan yang masih terasa asing namun penuh harapan. "Ayo duduk dulu, Ma," ajak Savana seraya menarik lengan ibunya menuju sofa. Daryan muncul dari ruang kerjanya—sudah lengkap dengan setelan jas mahal yang membalut tubuh tegapnya, ia berjalan dengan langkah tegas sambil menampilkan senyum ramah. "Ma," sapa Daryan sembari menghampiri ibu mertuanya. "Kamu beli rumah mendadak apa gimana? Kok Mama gak dikasih tahu? Sengaja buat dijadiin kejutan untuk istri kamu, ya?" Goda Hana sambil tersenyum kecil. "Gak mendadak juga, Ma. Udah lama saya minta Revanza buat cari-cari. Cuma gak sempat aja mau kasih tahu. Jadi, tahu-tahu langsung pindah semalam setelah hubungan kami membaik," ja
Daryan melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat sepuluh menit sejak sang istri pamit ke toilet, tapi Savana tak juga kunjung kembali. Baru saja bangkit dari duduknya untuk menyusul ke toilet, terlihat Savana muncul dari lorong. Senyum wanita itu merekah sambil berjalan mendekati sang suami. "Mas," ia mengulurkan tangannya yang disambut oleh Daryan dengan genggaman. "Kenapa lama?" Tanya Daryan sambil melangkah pergi. Savana meliriknya sekilas, kemudian menunduk. "Tadi sempet ketemu temen, dan ngobrol sebentar. Mas pasti bosen ya nunggu kelamaan?" "Gak bosen, cuma khawatir aja. Takutnya ada apa-apa," jawab Daryan tenang, tapi matanya tak sedikit pun teralihkan dari sang istri. "Aku terlalu excited setelah dokter bilang aku masih bisa hamil. Aku berharap banget, Mas. Tapi kalau terlalu berharap, malah ...." "Sstt ...," potong Daryan dengan desisan pelan. "Jangan ngomong sembarangan, ingat ... ucapan itu adalah doa sayang. Jadi ngomong y
"Mas, tunggu di sini ya, aku mau ke toilet dulu bentar," ujar Savana pada Daryan begitu keluar dari ruangan dokter kandungan. Daryan mengangkat alis, "Aku anter aja, ya?" ucapnya pelan, tangannya langsung meraih lengan istrinya. Savana mengulas senyum kecil, "Gak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok, Mas tunggu di sini aja," ia mengusap bahu suaminya pelan sebelum berbalik menuju toilet di ujung lorong. Daryan hanya menatap punggung istrinya yang mulai menjauh sejenak, kemudian memilih menunggu di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan dokter kandungan. Savana berdiri di depan cermin kamar mandi, tatapannya tenggelam dalam bayang-bayang kata-kata dokter yang baru saja didengarnya. "Kamu bisa hamil lagi," gema kalimat itu berputar di benaknya, membawa perasaan lega yang hangat sekaligus air mata haru yang hampir tumpah. Perlahan, dia membasuh wajahnya dengan air dingin, merasakan dinginnya menyapu setiap ketegangan dan kecemasan yang selama ini membelit hatinya sejak kehilang