Radja memiringkan kepala heran, lalu menatap koper besar di samping Savana. “Lo bawa koper segede ini ke cafe buat ngopi?” Ia jongkok di samping koper, lalu menatap wajah Savana yang terlihat kusut. Tangannya terulur, menyentuh pelan pipi merah Savana. Mata cowok itu langsung tajam. Savana buru-buru menepis tangan Radja dari wajahnya, dan kembali menutupi pipinya dengan rambut panjangnya. “Pipi lo kenapa?” Tanya Radja, sedikit mendesak. Savana menggeleng pelan. “Gak apa-apa.” “Lo mau ke mana?” Savana menunduk, kikuk. “Aku … belum tahu.” “Lo diusir?” “Enggak!” jawab Savana cepat. Radja menyipitkan mata. “Terus, lo mau ke mana? Bawa koper segede ini ke cafe, terus nangis sendirian?” Savana menggigit bibir. Ia tak bisa jawab. Radja berdiri, menepuk-nepuk celana jeansnya dan berkata pelan, “Mau nginep tempat gue, gak?” Savana langsung menggeleng. “Gak … Aku bisa tidur di gudang cafe. Masih ada sofa di sana.” Radja mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Gudang? Serius, Sa?” Ia
Langkah Daryan terdengar berat saat keluar dari kamar, napasnya belum stabil. Saat melewati koridor, Ajeng sudah berdiri di ujung lorong, seolah sudah menunggunya. Daryan menghentikan langkahnya. Tatapan Ajeng tajam. “Jangan cari dia. Jangan bawa dia kembali ke rumah ini.” Daryan menatap ibunya dengan pandangan datar, tak ada emosi yang terpancar jelas di wajahnya. Tapi sorot matanya tajam, menusuk balik. “Mama gak tahu apa yang terjadi, jadi jangan bertindak seolah mama mengerti.” Ajeng mendengus kasar. “Mama tahu lebih dari cukup. Dia meninggalkan kamu. Bukannya kamu harusnya bersyukur?” “Dia gak ninggalin aku,” Daryan menukas, suaranya mulai rendah namun tegas. “Dan kalau mama pikir aku akan diam aja, mama salah besar.” “Daryan!” seru Ajeng, namun pria itu sudah memutar tubuhnya. Langkah Daryan tegas, menggema di ruangan luas itu. “Saya akan cari dia. Dan kalau benar dia diusir dari sini, maka mama sudah kelewatan.” Lalu dia melangkah masuk dalam lift tanpa menoleh sedikit
Sore itu sekitar pukul tiga lewat sepuluh menit di perusahaan Bumi Raya Group, tepatnya di ruang kerja CEO di lantai teratas gedung. Cahaya matahari sore menembus jendela tinggi di belakang meja kerja Daryan. Pria itu duduk bersandar di kursinya, tangan kanan memegang pena, namun pandangannya bukan pada dokumen di hadapannya. Ponsel di atas meja sudah ia lirik tiga kali dalam sepuluh menit terakhir. Belum ada pesan masuk. Harusnya sekarang, Savana sudah keluar dari kelas dan mengabari seperti biasanya untuk dijemput. Tapi tidak ada apa-apa. Sunyi. Di seberang meja, Revanza, tangan kanan sekaligus teman lamanya, mengangkat alis sambil meneguk kopi hangat. “Astaga! Kamu nunggu notifikasi dari istri, ya?” godanya ringan, senyum tipis muncul di bibirnya. “Liat tuh, dari tadi mata kamu lebih sering ke HP daripada ke angka-angka laporan keuangan.” Daryan tak menanggapi. Hanya menghela napas pelan dan mencoba fokus kembali pada dokumen di atas meja. Namun dua menit kemudian, matanya k
Pagi hari itu, meja makan hanya diisi dua kursi yang terisi. Savana duduk di ujung kanan, menyendok bubur pelan, matanya tertuju pada mangkuk, menghindari tatapan pria di hadapannya. Sementara Daryan duduk tenang di seberangnya, hanya ditemani secangkir kopi dan sepiring kecil roti panggang. Ajeng memilih sarapan di kamarnya sendiri pagi ini. Entah itu kabar baik atau buruk. “Jadi,” suara Daryan memecah keheningan, “Hari ini ada mata kuliah apa di kampus?” “Anatomi forensik.” Jawab Savana singkat tanpa menoleh. Nadanya datar. Daryan menunggu kelanjutan jawaban, tapi tak ada. Dia mengangguk kecil, mencoba lagi. “Harusnya berat, ya? Banyak praktikum?” “Lumayan.” Kembali hening. Yang terdengar hanya suara sendok menyentuh mangkuk, dan ketukan jari Daryan yang tak sadar mengusik permukaan gelas kopinya. Ia melirik Savana sekali lagi. Gadis itu tampak tenang, tapi jelas sedang menjaga jarak. Tidak seperti biasanya. Biasanya dia akan menjawab dengan kalem dan senyum di waj
Savana berdiri terpaku di hadapan Daryan, napasnya semakin berat hingga bahunya naik-turun. Matanya semakin panas, mati-matian dia menahan air mata yang mau berloncatan keluar. Dia tahu apa yang dia dengar, tetapi takut kalau kecewa. Selama ini, dia selalu berusaha menahan diri, menghindari perasaan yang tak pasti. Tapi perasaan itu tetap saja tumbuh, seiring kebersamaan mereka selama ini. Apakah Daryan juga begitu selama ini? “Mas ... maksudnya, mas serius?” Daryan menatapnya dalam. “Saya tidak main-main saat saya mengatakannya di hadapan mama saya. Saya akan membuat pernikahan ini menjadi nyata. Dan saya serius, Savana.” Jantung Savana berdegup kencang. “Tapi kita mulai dari kontrak, mas.” Daryan mengangguk kecil. “Saya tahu. Tapi sejak kapan perasaan diukur dari awalnya? Kita bisa memutuskan akhir yang berbeda. Lupakan kontrak, anggap saja tidak pernah ada.” Savana terdiam. Matanya tak lepas dari pria di hadapannya. “Mas?” “Saya bukan tipe orang yang berkata omong kosong,
“Mas, lepasin!” seru Savana dengan napas memburu, berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman Daryan yang menyeretnya menyusuri lorong menuju kamar mereka. Di tangan satunya, Daryan menarik koper besar milik Savana, menyeretnya begitu saja di atas lantai marmer. Tanpa menjawab, Daryan membuka pintu kamar dengan kasar, lalu mendorong Savana masuk bersamaan dengan kopernya. Pintu ditutup keras di belakang mereka, membuat Savana tersentak dan menatap suaminya dengan dada naik turun. "Mas, dengerin saya," ucap Savana akhirnya, suaranya sedikit bergetar, tapi berusaha menatap lurus pria di depannya. Daryan berdiri diam, tubuh tegapnya membelakangi pintu, rahangnya mengeras. Tatapannya dingin dan menusuk. "Kalau ini tentang mama ...." “Mas,” potong Savana cepat. “Ini bukan cuma soal mama. Ini juga keputusan saya. Saya sadar betul apa yang saya lakukan.” Daryan mengerutkan dahi. “Kontrak kita belum berakhir, Savana.” Savana mengangguk, suaranya pelan. “Saya tahu. Tapi mau sampai k