Share

Bab 11. Tikaman di Hati Ada.

Langit mulai menggelap, tanpa sinar rembulan maupun sang bintang, karena awan mendung yang bergelayut menutupi keindahan malam di atas hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan Satria dan juga Alira di langsungkan.

Di meriahkan alunan musik dan juga lagu yang terdengar merdu, dari suara penyanyi penghibur yang sedang berdiri dan bergoyang santai di atas panggung di samping pelaminan.

Terlihat Alira, begitu cantik dan anggunnya, mengenakan gaun pengantin modern berwarna putih, di penuhi dengan hiasan payet bernuansa silver berdiri tegak di atas pelaminan.

Berdampingan dengan Satria, di temani oleh kedua orang tua dan juga Papa mertuanya yang duduk bersanding di samping kanan dan kiri kursinya.

"Terimakasih Om," jawab Satria, terlihat begitu tampan dengan setelan jas putihnya, senada dengan gaun elegan yang dipakai istrinya mengulaskan senyum tipis di bibirnya.

Beradu pandang dengan salah satu klien perusahaannya, sahabat dari papanya sendiri memberi selamat.

"Selamat ya...," ucap tamu yang lainnya, kembali memberi selamat sebelum pergi dan berganti dengan tamu undangan yang lainnya.

Berjabat tangan dengan Alira dan juga Satria bergantian.

"Terimakasih," jawab Alira, berusaha mengulaskan senyum tipisnya, di atas luka hatinya menjawab ucapan tamu undangan pernikahannya.

Kembali mengulaskan senyum palsunya terus saja menerima jabatan tangan semua tamu bergantian sesuai dengan antrian.

Sebelum menghela nafasnya pelan, merasa lelah dengan tamu undangan yang tak pernah habis setelah lima belas menit berdiri.

"Minum dulu kalau lelah," lirih Satria dengan wajah datarnya menyadari kelelahan istri yang tak ada di hatinya.

Tak membuat Alira bersuara, hanya menatapnya sekilas sebelum menjabat kembali tangan tamu yang lainnya.

Sementara itu di depan hotel, terlihat Adam dan juga Anton, baru turun dari mobil Adam yang terparkir.

Saling melempar tawa karena candaan keduanya, segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam loby hotel menuju resepsi pernikahan CEO baru mereka di lantai tiga.

Karena hati Adam yang begitu bahagia, ingin segera memberi kejutan kepada kekasih hatinya, perihal kepulangannya selepas dari resepsi pernikahan CEO di perusahaannya.

Setelah bunga dan juga kalung emas yang telah di belinya, sebagai hadiah untuk kekasih hatinya, ingin mengungkapkan rasa yang ada dan masih menggebu tepat di tahun ke enam kebersamaannya.

"Kamu nanti balik sendiri ya An? aku mau ke rumah pacarku" ucap Adam.

"Dih! kamu membuangku?" 

"Iya, anggap saja begitu," jawab Adam tertawa, di ikuti dengan tawa Anton masih mengayunkan langkahnya masuk ke dalam loby hotel.

Sebelum berhenti kompak, karena sebuah panggilan.

"Pak Anton," panggil seorang wanita, menggunakan dress panjang berlengan pendek, mengalihkan pandangan Adam dan juga Anton.

"Bu Gladis? hai? baru datang?" jawab Anton, beradu pandang dengan Gladis, Manager HRD yang ada di kantor pusat tempatnya bekerja.

"Iya, masuk barengan ya?" jawab Gladis, sebelum menganggukkan kepalanya pelan menyapa Adam yang tersenyum menatapnya diam.

"Yuk ah, ayuk...," jawab Anton, seraya mengalihkan pandangannya ke arah Adam.

"Sebelumnya kenalin dulu Bu, Ini temanku, sekaligus pegawai kantor cabang yang di pindahkan ke kantor pusat," lanjut Anton memperkenalkan Adam.

"Selamat malam Pak?" sahut Gladis, beradu pandang dengan Adam yang tersenyum menganggukan kepala pelan menjawab pertanyaannya.

"Selamat malam Bu," jawab Adam.

"Lha? tahu lo dia Dam?" timpal Anton.

"Tahulah Pak, kan aku sendiri yang menghubungi dan menemuinya," jawab Gladis.

"Oh iya ya? kamu Hrd ya?" sahut Anton, dengan tawa renyahnya menyadari jabatan Gladis di Perusahaan tempatnya berkerja.

"Ho o...," jawab Gladis tertawa.

"Masuk?" lanjut Gladis.

"Silahkan...," jawab Anton, dengan senyum ramahnya, mempersilahkan Gladis untuk berjalan lebih dulu di depannya.

Sebelum ikut mengayunkan langkahnya, bersama dengan Adam yang berjalan di sampingnya.

Sementara itu, tepat di samping pintu masuk ballroom tempat acara resepsi Satria dan juga Alira berlangsung.

Terlihat suasana ramai dari antrian tamu undangan, menerima souvenir dari beberapa penerima tamu yang berjaga sebelum mengayunkan langkah mereka masuk ke dalam ballroom. 

"Terimakasih," ucap Aksa, mengulaskan senyum tipisnya membantu pernikahan kakak perempuannya sebagai penerima tamu.

Menghilangkan sejenak sikap tengilnya, karena janjinya kepada Ayah dan juga ibunya untuk bersikap baik dan sopan kepada semua tamu di pernikahan kakaknya.

"Astaga... capek sekali! kenapa tamunya nggak habis-habis sih?" gerutu Aksa, menghela nafasnya panjang, sebelum mengulaskan senyumnya kembali menyambut kedatangan beberapa tamu.

Memberikan souvenir berupa tas kecil berisi parfume, dilengkapi dengan nama kedua pengantin, Satria dan juga Alira.

Tak mengetahui keberadaan Adam, baru keluar dari pintu lift di lantai tiga tepat di dekat ballroom.

 Karena kesibukannya untuk tersenyum dan bersikap ramah, di atas rasa lelahnya.

"Masih banyak ya ini?" lirih Aksa, sesaat setelah antrian tamunya berhenti, meregangkan tubuhnya merindukan kasur empuknya.

"Aksa? kok kamu disini?" tanya Adam, sudah berdiri di depan Aksa, dengan perasaan bingungnya mengejutkan adik dari kekasihnya.

"Mas Adam," lirih Aksa, dengan degup jantungnya yang tak karuan, beradu pandang dengan lelaki baik penghuni hati kakaknya.

"Mati kamu Mbak!" batin Aksa, mengedarkan pandangannya, tak bisa menjawab pertanyaan Adam.

"Kenapa kamu disini? kamu ada hubungan kerabat sama istri Pak Satria?" tanya Adam lagi.

"Mampus! harus jawab apa aku ini?" batin Aksa, sebelum menganggukkan kepalanya perlahan, masih beradu pandang dengan Adam yang tersenyum tulus sama seperti biasanya.

"Alira juga disini ya?" tanya Adam lagi, seraya mengedarkan pandangannya mencari keberadaan kekasih hatinya.

Membuat Aksa tak berkutik, hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan kekasih Kakaknya.

 "Mas Adam, kok disini?" tanya Aksa, tak menjawab pertanyaan, mengalihkan kembali pandangan Adam.

"Mas tamu undangan di sini," jawab Adam.

Mengejutkan kembali hati Aksa, membuatnya terdiam, tak mampu lagi berkata hanya menelan salivanya kasar.

"Kok bisa sih? Mas Adam tamu di disini?" batin Aksa ikut frustasi.

"Mana Alira?" tanya Adam lagi beradu pandang dengan Aksa yang terdiam.

"Emmm," jawab Aksa, segera mengambil salah satu souvenir yang telah di siapkan untuk di berikan kepada Adam.

"Souvenirnya Mas," lirih Aksa, mengulaskan senyum tipisnya cenderung terpaksa.

"Mati kamu Mbak! tamat sudah riwayat kamu!" batin Aksa.

"Souvenir ya? terimakasih ya?" jawab Adam, mengulaskan senyumnya menerima souvenir pemberian Aksa.

Sebelum terdiam, karena dirinya yang terkejut membaca nama yang terukir indah di souvernir.

Bersebelahan dengan Anton dan juga Gladis yang sejak tadi berdiri di sampingnya sudah menerima souvenir sama seperti dirinya.

"Aku duluan ya Pak?" pamit Gladis.

"Ah Iya," jawab Anton, sebelum mengalihkan kembali pandangannya ke arah Adam.

"Satria dan Alira?" gumam Adam, dengan degup jantungnya yang tak karuan, mengalihkan pandangannya ke arah Aksa yang terdiam.

"Ayo Dam," ajak Anton.

"Kenapa ada nama Alira disini?" tanya Adam, mengacuhkan ajakan Anton, kembali beradu pandang dengan Aksa.

"Anu Mas...," jawab Aksa, menggaruk tengkuknya yang tak gatal tak mengalihkan pandangannya.

"Aksa, aku tanya, Mas Adam tanya, kenapa ada nama Alira disini?" tanya Adam lagi, dengan perasaannya yang mulai tak enak, sebelum tersentak dengan sahutan  Anton yang menjawab pertanyaannya.

"Apa kamu bodoh Dam? Alira kan pengantin wanitanya? ya jelaslah namanya ada di situ," ucap Anton.

"Jangan ngomong sembarang kamu An!" sentak Adam, dengan matanya yang membulat menemani deru nafasnya yang tersenggal.

Karena dirinya yang tak bisa terima, bagaimana bisa? sungguh nggak mungkin kekasih hatinya, wanita yang begitu dicintainya menjadi pengantin lelaki lain.

Saat hubungannya baik-baik saja, saat hubungannya tak ada masalah, terlebih tepat di hari jadinya yang ke enam tahun.

Menyentakkan hati Anton dan juga Aksa, tak terkecuali beberapa orang yang ada di luar pintu masuk ballroom kompak menoleh dan melihat ke arahnya.

"Aksa! sekali lagi aku tanya!" lanjut Adam, dengan deru nafasnya yang memburu, menemani degup jantungnya yang tak karuan.

Menatap lekat manik mata Aksa yang terdiam, masih menutup mulutnya rapat-rapat. 

"Alira? kenapa, kenapa nama Alira ada disini?" tanya Adam lagi, dengan suaranya yang tercekat, menahan gejolak rasa tak percayanya.

Memaksa dirinya, ingin mendengar langsung dari Aksa, meskipun hatinya tak mampu, dan tak sanggup mendengar jawaban yang sudah bisa di tebaknya. 

"Karena...,ka...karena...," jawab Aksa terbata, karena hatinya yang tak tega, tak ingin melihat lelaki yang ada di depannya terluka.

 Setelah kebaikan Adam, setelah kasih sayang Adam yang tak hanya mencintai kakaknya, tapi juga mencintainya dan keluarganya, menciptakan buliran bening di balik pelupuk matanya membuang pandangannya ke samping.

"Mbak Alira pengantinnya Mas," jawab Aksa akhirnya, menundukkan kepalanya tak mampu menatap Adam kekasih hati Kakaknya.

"Hahaha, kamu bercanda kan Sa? nggak mungkin Al...," jawab Adam terpotong.

Mengulaskan senyum getirnya membuang pandangannya ke arah Anton.

"Kenapa sih Dam?" tanya Anton, dengan rasa penasarannya yang meninggi, beradu pandang dengan mata merah Adam  yang berair.

Tak membuat Adam bersuara, hanya terdiam memejamkan matanya dalam, menarik nafasnya panjang sebelum menghembuskannya perlahan.

Dengan usahanya yang begitu keras, hanya untuk berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar.

Sebelum mengepalkan tangannya kuat-kuat, meremas botol parfume di tangannya dan...

Pyarrrr

Souvenir Parfume yang dibawanya terjatuh, pecah membasahi lantai di balik tas kain berwarna silver.

"Adam," panggil Anton, masih tak membuat Adam bersuara, karena hatinya yang terluka tak bisa percaya dengan kenyataan yang ada di depan matanya.

Kembali mengulaskan senyum getirnya, tak mampu mengalihkan pandangannya dari pintu masuk ballroom yang di penuhi bunga.

Begitu indah, namun menusuk hatinya dalam, sangat dalam hingga membuatnya terluka, dengan rasa sakit yang begitu kuat menyayat perasaannya.

"Hahaha," tawa pilu Adam, sebelum memukul pelan dadanya yang terasa sesak.

"Kenapa sesak begini An? kenapa dadaku sangat sesak," ucap Adam, menahan rasa sakit di hatinya, begitu sakit, sangat sakit, perih sekali.

"Minum dulu Mas," ucap Aksa, sesaat setelah berdiri di depan Adam mengulurkan sebotol air mineral ke depan Adam.

"Aku nggak mau minum," ucap Adam, menepis tangan adik dari Alira, sebelum terdiam menatap Anton yang terlihat khawatir menahan tubuhnya yang lemas.

"Kita masuk sekarang An, aku kenalin kamu sama pacarku," lirih Adam, dengan sisa kekuatannya menatap dalam temannya.

"Pacar?" 

"Iya Pacar An, pacar yang akan aku temui setelah pulang dari sini, pacar yang terus dan selalu aku banggakan di depan kamu meskipun kamu tak mengenalnya," jawab Adam, tak mampu lagi menahan buliran bening di matanya.

"Alira? pacar kamu namanya Alira, dan ini?" sahut Anton, mengalihkan pandangannya membaca nama Alira di banyaknya souvenir yang tersedia.

Sebelum membulatkan matanya penuh, mengalihkan kembali pandangannya menatap Adam.

"Alira? istri Pak Satria pacar kamu?" tanya Anton.

Memecahkan tawa Adam, sebuah tawa pilu penuh luka, menertawakan kisah cintanya sendiri bersama dengan wanita yang sangat di cintainya, wanita yang selalu di jaganya namun mengkhianatinya.

Menikah dengan lelaki lain di belakangnya, menciptakan luka yang begitu dalam mengoyak perasannya, karena tikaman Alira, begitu kuat menusuk tepat di hatinya.

Membuatnya terlihat pilu dan memprihatinkan di depan beberapa tamu undangan di depan ballroom.

Memperhatikannya dengan kasak kusuk yang terdengar membicarakannya.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Artini Lase29
Cerita yang menarik ............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status