Share

Bab 10. Pernikahan

Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.

Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.

Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.

Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya.

  Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya.

"Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jantungnya yang tak karuan, menjabat tangan dingin calon menantunya, calon imam dari putri sulungnya yang telah rela berkorban demi hutang budinya sebagai orang tua yang tak sempurna.

Menciptakan buliran bening di balik kelopak mata Alira yang di penuhi dengan riasan, menahan rasa sakit di hatinya karena terjadinya pernikahan yang tak pernah di inginkannya.

"Ya Allah...," batin Alira, bersamaan dengan...

 "Saya terima nikah dan kawinnya Alira Maulidina binti Prasetya, dengan maskawin tersebut di bayar tunai," Jawab Satria, berusaha semaksimal mungkin menjawab ijab qobul yang tak pernah di inginkannya, demi untuk menjaga perasaan dan menuruti keinginan Papanya.

Menyesakkan hati Alira, masih terdiam menundukkan kepala menahan Isakan tangisannya di depan semua orang yang sedang melihatnya.

Kembali mengingat senyum Adam, dan juga tawa Adam, kekasih hatinya bersamaan dengan suara Sah yang menggema di area ballroom hotel tempatnya menikah.

"Aku minta maaf Dam, sungguh aku minta maaf Dam..., aku mencintai kamu, sampai kapanpun, sampai nanti aku akan mencintai...," batin Alira terpotong.

Karena rasa berat di kepalanya, membuat pandangannya berkunang-kunang menemani rasa sesak di dadanya sebelum...

"Alira...," pekik kompak semua keluarganya.

Reflek berdiri dari duduk mereka karena tubuh oleng Alira yang limbung di pelukan Satria.

Menciptakan kericuhan di pesta pernikahannya, menciptakan tangisan dengan perasan bersalah di hati ibunya.

Yang berlari dari tempat duduk mendekatinya, bersamaan dengan orang-orang yang terlihat panik hendak melihat keadaannya.

"Alira...," panggil Bu Rani, menepuk pelan pipi putrinya bersamaan dengan Satria yang ikut panik dan khawatir menggoncang pelan tubuh Alira di pelukannya.

Meskipun tak ada cinta di hatinya, dia tetap seorang lelaki yang harus bertanggung jawab di dalam kehidupan istri barunya, hanya untuk sementara, sebelum proses perceraiannya nanti satu tahun ke depan.

"Bawa ke kamar Sat," ucap Papa Bagas, dengan kepanikannya yang meninggi mengalihkan pandangan putranya.

"Iya Pa," jawab Satria, segera membopong tubuh istrinya, setengah berlari disusul dengan Bu Rani, Ayah Pras dan juga Aksa yang berlari di belakangnya keluar dari ballroom menuju kamar pengantinnya.

"Tolong arahin tamu untuk makan ya?" titah Papa Bagas kepada salah satu saudaranya, berusaha untuk tenang di antara kepanikan yang terjadi, sebelum ikut mengayunkan langkahnya cepat menyusul putranya.

Sementara itu di Surabaya, terlihat Adam, duduk di kursi tunggu yang ada di area bandara.

Menunggu jam penerbangannya, tak mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang menyala.

Hanya terdiam, menatap lekat dengan ulasan senyum di bibirnya menatap foto cantik kekasih hatinya.

Ingin memberikan kejutan perihal kepulangannya yang lebih awal, membuatnya senang membayangkan wajah semringah kekasihnya.

"Astaga Ra.., belum juga dua Minggu aku nggak ketemu kamu, tapi rasa rinduku sudah seperti ini," gumamnya pelan, membelai lembut foto kekasihnya tak ingin mengalihkan pandangannya.

"I Love You Sayang," lanjut Adam, sebelum tertawa menyadari kebucinannya.

"Ah..., gila ya kamu Dam! bilang cinta ke foto!" dengusnya di sela senyumnya, seraya mengedarkan pandangannya ke sembarang arah ingin segera berjumpa dengan kekasihnya.

Sebelum terdiam, karena suara dering ponselnya yang menyala.

"Iya An?" ucap Adam, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan Anton.

Teman dan juga rekan kerjanya yang menjabat sebagai Manager keuangan di perusahaan pusat tempatnya akan di pindah tugaskan.

"Apa kamu sudah terima undangan dari CEO perusahaan yang baru Dam?" tanya Anton.

"Undangan?" jawab Adam balik bertanya dengan pandangannya yang mengedar. 

"Iya, pernikahan Pak Satria, CEO baru pengganti Pak Bagaskara, nanti malam jam tujuh malam resepsinya," jawab Anton.

"Nggak ada undangan An," 

"Ada, semua manager dari kantor cabang dan pusat dapat undangannya." jawab Anton.

"Mungkin undangan kamu terselip," lanjut Anton dengan tawa renyahnya memancing tawa Adam.

"Iya mungkin ya?" jawab Adam terkekeh.

"Kamu jemput aku ya? kita berangkat bersama, kebetulan hotelnya ada di dekat rumah ku,"  

"Oke, nanti aku ajak pacarku juga deh," lanjut Adam sebelum tertawa karena protes dari  temannya.

"Jangan lah Dam, kita berdua saja! aku nggak mau jadi obat nyamuk kamu sama pacar kamu!" 

"Sekalian aku kenalin pacarku An," 

"Nggak perlu deh Dam, nanti saja setelah aku punya teman kencan, kita kencan bersama sekalian kenalan." sahut Anton dengan kekehannya.

"Dasar kamu ya!" jawab Adam ikut terkekeh.

"Nanti jam tujuh aku jemput ya? dandan yang tampan kamu! siapa tahu di sana nanti dapat gandengan," lanjut Adam, sebelum memutus panggilan teleponnya, sesaat setelah mendengar jawaban oke dari temannya yang tertawa.

***

"Ra..., bangun sayang," ucap Bu Rani, mencoba untuk membangunkan putrinya yang terus saja memejamkan mata hampir satu jam lamanya.

Kembali mengoleskan minyak kayu putih ke perut, tangan dan telapak kaki putrinya, ditemani dengan suami, Aksa, menantu dan besannya yang berdiri di samping ranjang dengan wajah yang terlihat khawatir.

"Kenapa Dokter Teo belum datang juga Sat? apa kamu sudah meneleponnya?" tanya Papa Bagas, masih dengan rasa khawatirnya mengalihkan pandangan putranya.

"Sudah Pa, mungkin macet," jawab Satria berdiri di sebelah Papanya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah istrinya yang masih terbaring menutup mata.

"Alira, ayo bangun Sayang, jangan menakuti Ibu seperti ini," lanjut Bu Rani, masih dengan tangisannya menepuk pelan pipi putrinya.

 Sesaat setelah mendekatkan botol minyak kayu putih yang di bawanya ke dekat hidung Alira.

Masih tak membuat Alira membuka mata, masih menutup matanya enggan menjawab kalimat ibunya meskipun sudah tersadar dari pingsannya.

Karena hatinya yang begitu sakit, tak ingin melihat kenyataan barunya sebagai seorang istri dari lelaki yang tak di cintainya.

Dan memaksanya untuk menyakiti hati dan perasaan kekasih yang begitu dicintainya.

Membuatnya ingin tidur, dengan harapannya yang begitu besar, bahwa ini hanya sebuah mimpi dan akan segera berakhir saat dirinya membuka mata.

Namun sayang, harapan hanya sebuah harapan kosong yang begitu hampa, semakin dalam dia memejamkan mata, semakin terdengar suara panik ibunya, mengingatkannya kembali, akan kenyataan hidup yang harus di terimanya.

Membuatnya kembali sesak, dengan buliran bening yang tersimpan di balik kelopak matanya yang menutup.

Semakin banyak hingga menetes bersamaan dengan satu isakan tangisnya yang meluncur begitu saja tanpa persetujuannya.

Menyentakkan hati semua orang, dengan pandangan mereka yang mengalih beradu pandang.

"Alira, kamu sudah bangun Nak?" tanya  Bu Rani, menyeka air matanya cepat, sebelum beradu pandang dengan mata basah putrinya.

"Aku ingin sendiri Bu, aku ingin istirahat," jawab Alira, derngan sorot mata pilunya mengiba.

Menyakiti hati Ibunya, karena rasa bersalah di hati Bu Rani yang semakin berkembang, membuatnya sesak melihat kondisi dan tangisan putrinya.

 "Maaf," batin Bu Rani, dengan air matanya yang menitik beradu pandang.

Sebelum membuang pandangannya ke samping, menyeka air matanya cepat seraya berdiri dari duduknya mendekati suaminya.

"Kami semua keluar dulu ya Ra? kamu istirahat saja dulu," ucap Ayah Pras, dengan sorot mata sendunya.

Tak membuat Alira bersuara, hanya mengangguk pelan dengan pandangannya lurus ke atas.

"Tolong jaga Alira ya Sat?" pinta Bu Rani.

"Iya Tante," jawab Satria, tak membuat Bu Rani protes karena panggilan menantunya, segera mengayunkan  langkahnya keluar dari kamar sesaat setelah memandang kembali putrinya.

Di susul dengan Aksa dan Ayah Pras yang berjalan di belakangnya.

"Papa keluar dulu ya Ra?" pamit Papa Bagas, masih berdiri di tempatnya mengalihkan pandangan menantunya.

"Iya Om," lirih Alira.

"Panggil Papa Ra, kamu putri Papa sekarang," 

"Iya Pa," lirih Alira lagi, berusaha mengulaskan senyumnya di atas luka hatinya yang menganga tak mengalihkan pandangannya.

Masih beradu pandang dengan Papa mertuanya yang berjalan mendekatinya.

"Sehat-sehat ya Ra, kami semua khawatir," lanjut Papa Bagas, membelai lembut puncak kepala menantunya.

Sebelum menegakkan kembali berdirinya menatap putranya.

"Papa keluar Sat," 

"Iya Pa," jawab Satria.

Sebelum menghela nafasnya pelan, mengalihkan pandangannya menatap Alira sesaat setelah kepergian Papanya.

"Apa segitu frustasinya kamu? sampai pingsan di tengah-tengah acara?" ucap Satria, dengan sorot mata dinginnya mengalihkan pandangan Alira.

Tak ingin menjawab kalimat Satria, Alira hanya terdiam, segera beranjak duduk mengacuhkan suaminya.

"Kenapa kamu diam?" protes Satria.

"Aku harus bicara apa?" sahut Alira, dengan lirihnya sudah duduk bersandar di sandaran ranjang. 

Karena hatinya yang terluka dan patah, ingin ketenangan tapi tak di dapatkannya karena kehadiran Satria.

"Jawab saja pertanyaanku!"

"Ya! aku frustasi! aku sedih! aku terluka karena harus menerima kenyataan ini! bukankah kamu sudah tahu Mas? kenapa harus menanyakannya lagi?" jawab Alira,  dengan sorot mata tajamnya, tak menyukai sikap dingin suaminya. 

Tak membuat Satria bersuara, hanya mencebikkan bibirnya sebelum mengayunkan langkahnya mendekati istrinya.

"Apa kamu kira aku nggak sedih? ha? apa kamu kira aku nggak frustasi?" jawab Satria, mencondongkan badannya, bersitatap dengan Alira yang terdiam, tak mengalihkan pandangannya.

Sebelum menegakkan kembali berdirinya, merogoh kantong celananya hendak mencari keberadaan rokok yang di butuhkannya.

Mengejutkan Alira, karena dirinya yang tak menyukai bau asap rokok membuang pandangannya.

"Kita menikah hanya sebatas formalitas, kita sudah mempunyai perjanjian bukan?" ucap Satria, membuka satu bungkus rokoknya sebelum mengambil salah satunya.

Segera mengayunkan langkahnya, untuk duduk menyilangkan kakinya di atas kursi meja rias yang ada di dekat ranjang.

"Kamu pegang saja perjanjian itu! jangan di buat frustasi berlebih hingga membuatmu pingsan seperti ini!" lanjut Satria, menyalakan rokok di bibirnya membuang pandangannya.

"Bagaimana kalau pacarku mengetahuinya?" 

"Jelaskan saja apa adanya," jawab Satria, dengan entengnya mengeluarkan asap rokok dari mulut dan hidungnya.

Semakin membuat Alira risih, mengibaskan tangannya mengusir asap rokok yang mengarah mendekatinya.

"Adam pasti marah," jawab Alira.

"Wajar," 

 "Dan kamu memintaku untuk tenang dan nggak frustasi?" sewot Alira, menciptakan helaan nafas di bibir Satria kembali mengisap rokoknya beradu pandang.

"Aku akan bantu, aku akan menjelaskan semuanya ke pacar kamu!" jawab Satria.

Sesaat setelah meniup kembali asap rokoknya sedikit melegakan hati dan perasaan istrinya.

Bersambung

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status