Share

Bab 8. Kedatangan Adam

H-10

Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.

Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.

Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.

Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.

 Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.

Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.

Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan  kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau memaafkan dan menerimanya?

Karena bagaimanapun situasinya sekarang, terlepas dari suka atau tidak sukanya dia dengan pernikahan paksanya, intinya tetap sama, dia seorang kekasih yang telah menghianati kekasihnya sendiri.

Kekasih yang sangat dicintainya, juga mencintainya setulus hati.

"Ya Allah," batin Alira, menutup wajahnya menikmati denyutan luka akibat rasa berdosanya kepada Adam.

Sebelum tersentak, menurunkan kedua  tangannya karena panggilan Aksa yang hendak duduk di sebelahnya.

"Kenapa Mbak? galau ya?" sindir Aksa.

"Kalau Adam tahu pernikahan ini gimana ya Dek?" lirih Alira.

"Ya marah lah! nggak mungkin tertawa kan?" jawab Aksa dengan entengnya, semakin menambah rasa frustasi Alira, membuang pandangan ke sembarang arah.

"Mas Adam belum tahu ya?" tanya Aksa.

"Belum," jawab Alira, menggelengkan kepalanya pelan, dengan pandangannya lurus ke depan.

"Kenapa nggak bilang?" 

"Karena aku nggak mau kehilangan Adam Dek! aku sangat mencintainya!"

"Ya nggak bisa lah Mbak, hidup itu pilihan, kamu nggak mungkin bisa pacaran sama Mas Adam setelah kamu menikah dengan si Baja hitam," ucap Aksa, mengalihkan pandangan Kakaknya menatapnya dalam.

"Siapa itu Baja hitam?"

"Ya itu calon kamu itu, namanya kan Satria, Satria apa kalau nggak Satria baja Hitam?" jawab Aksa, dengan ekpresi datarnya beradu pandang. 

"Gila kamu ya! nggak sopan tahu nggak?" gerutu Alira menciptakan kekehan di bibir Aksa.

"Aku juga nggak mau menikah sama Mas Satria, aku ingginnya nikah sama Adam, bahkan aku sudah membayangkan bagaimana wajah calon anak kami nanti, pasti tampan dan cantik kalau hidungnya mancung sama seperti Adam," lirih Alira, dengan senyum getirnya menatap kedepan.

"Kubur saja Mbak bayangan kamu itu!"

"Aku nggak mau menguburnya,"

"Kamu menikahnya sama Mas Satria Mbak, bukan sama Mas Adam!" timpal Aksa, menciptakan decakan kesal di bibir Alira menatapnya tajam.

"Benerkan kalimatku? jangan ngayal lah Mbak, nggak mungkin kan kamu nikahnya sama Mas Satria tapi wajah anak kamu nanti mirip sama Mas Adam?" cibir Aksa.

Sebelum tertawa karena dorongan Alira di lengannya.

"Pergi sana! jangan disini! buat aku frustasi tau nggak kamu!" sewot Alira.

Tak membuat Aksa bersuara, hanya tertawa melihat kemarahan kakak perempuannya.

"Nggak usah marah gitu lah Mbak," jawab Aksa, masih dengan tawa di bibirnya masih duduk di tempatnya.

"Seneng ya kamu lihat nasibku seperti ini?"

"Lha gimana? itu pilihan kamu sendiri Mbak!' 

"Aku nggak memilihnya! Ayah yang memilihkannya!"

"Nikmati saja lah Mbak," 

"Kurang ajar kamu ya!" omel Alira, kembali mendorong lengan Adiknya yang terkekeh.

"Masuk sana!" usir Alira.

Sebelum mengalihkan pandangan mereka kompak, ke arah pagar tralis rumahnya yang sedikit terbuka.

"Mas Adam Mbak,"

"Adam,"

Ucap Alira dan Aksa kompak, merasa tersentak dengan kehadiran Adam yang begitu tiba-tiba.

"Gimana ini Dek? kenapa Adam kesini?" tanya Alira, dengan rasa paniknya yang meninggi, segera berdiri dari duduknya tak mengalihkan pandangannya.

"Ya Nggak tahu aku Mbak, mungkin Mas Adam ingin tanya masalah pernikahan kamu," 

"Gila kamu ya! Adek kurang ajar kamu ya!" sewot Alira, dengan degup jantungnya yang tak karuan memukul bahu adiknya.

Sebelum mengulaskan senyumnya, berusaha bersikap tenang beradu pandang dengan Adam.

Masih mengayunkan langkah sudah membuka pintu pagar tralis hendak mendekatinya.

"Sudah sana di sambut Mas Adamnya Mbak, ngapain masih berdiri di sini?" ucap Aksa, masih duduk di tempatnya mengalihkan pandangan Alira.

"Jangan bicara macam-macam kamu ya!" ancam Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat mendekati  kekasihnya.

"Assalamualaikum," ucap Adam, mengulaskan senyum termanisnya, seraya  menenteng satu kantong kresek di tangan kirinya beradu pandang.

"Kok nggak bilang kalau mau kesini Dam? nggak kerja?" tanya Alira, sudah berdiri di depan kekasihnya.

"Iya, tadi ada ketemuan sama orang di kafe dekat sini, sekalian saja mampir," jawab Adam, memberikan kantong kresek yang di bawanya.

"Apa ini?" 

"Jeruk manis kesukaan kamu," jawab Adam sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Aksa yang bersuara.

"Untuk aku nggak ada Mas?" tanya Aksa, mengayunkan langkahnya mendekati Kekasih kakaknya.

"Ada Sa, di dalam situ juga ada apel kesukaan kamu," jawab Adam, menciptakan senyum tipis di bibir Aksa, menyembunyikan perasaan ibanya kepada Adam, lelaki baik penghuni hati kakaknya.

"Terimakasih ya?" ucap Alira, sebelum membalikkan badannya, seraya memberikan kantong kresek pemberian Adam kepada adiknya.

"Bawa masuk Dek," lanjut Alira.

"Aku masuk ya Mas? terimakasih apelnya," ucap Aksa, sesaat setelah mengambil alih kantong kresek menunjukkannya kepada Adam.

"Okeh! sama-sama," jawab Adam, dengan intonasi lirihnya mengulaskan senyumnya.

Sebelum mengalihkan pandangannya, menatap Alira yang terdiam, terlihat tak tenang mengedarkan pandangan ke dalam rumah.

"Kenapa Ra? cari siapa kamu?" tanya Adam, ikut mengalihkan pandangannya menyentakkan hati kekasihnya.

"Ha? nggak cari siapa-siapa Dam," jawab Alira, secepat mungkin berusaha untuk bersikap tenang, menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.

Karena perasaan takutnya jika Adam bertemu dengan Ibunya yang ada di dalam rumah.

"Nggak nyuruh aku masuk? capek lo berdiri terus," sindir Adam.

"Ah, iya Dam, ayo masuk," jawab Alira, segera mengayunkan langkahnya mendekati kursi yang ada di teras rumahnya.

"Kita duduk di sini aja ya Dam?" tawar Alira.

Beradu pandang dengan Adam yang mengangguk pelan mengiyakan tawarannya.

 

"Ibu kamu mana?" tanya Adam, seraya duduk di atas kursi, tak mengalihkan pandangannya, menatap Alira yang terlihat gelagapan.

"Ibu?" tanya Alira, masih berdiri di tempatnya mengalihkan pandangannya.

Mengerutkan kening Adam, merasa aneh dengan sikap kekasihnya.

"Kamu kenapa sih Ra? kok gelisah begitu?" tanya Adam.

"Nggak Dam, aku nggak gelisah," kilah Alira, menggelengkan kepalanya cepat segera duduk di samping kekasihnya.

"Ibu ada di dalam, lagi tidur," 

"Tidur? Tante Rani sakit? jam segini kok tidur?"

"Nggak Dam Ibu nggak sakit, mungkin lelah," jawab Alira, masih dengan kebohongannya, tak ingin Adam bertemu dengan Ibunya.

"Please Bu jangan keluar," batin Alira, meremas jemarinya di atas pangkuan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak mau tenang mengedarkan pandangannya.

"Kamu ngga papa kan?" tanya Adam, dengan perasaan bingungnya melihat tingkah kekasihnya.

"Nggak papa," jawab Alira, mengulaskan senyum tipisnya menggelengkan kepalanya pelan.

"Kenapa tiba-tiba kesini? apa ada yang mau kamu bicarakan sama aku Dam?" 

"Besok aku harus ke luar kota lagi Ra, aku kesini mau pamit sama kamu, aku ingin ketemu kamu dulu sebelum berangkat dan kangen-kangenan," 

"Keluar kota? berapa lama?" tanya Alira yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Adam.

"Dua Minggu,"

 

"Dua Minggu?" lirih Alira, membuang pandangannya, menahan senyum di bibirnya.

"Iya dua Minggu, kenapa? lama ya? maaf ya?" ucap Adam, kembali mengalihkan pandangan Alira beradu pandang.

"Aku pasti kangen sekali sama kamu Dam,"

"Setidaknya kamu nggak ada di sini saat pernikahanku nanti Dam," batin Alira.

Menciptakan senyum di bibir Adam, sebelum membelai lembut pipi kekasihnya.

"Aku lebih kangen lagi Sayang," jawab Adam sebelum menggeser posisi duduknya lebih menghadap kekasihnya.

"Tapi aku punya kabar baik untuk kamu," lanjut Adam, dengan antusiasnya menciptakan binar di kedua matanya.

"Oh ya? kabar baik apa?"

"Ini tugas terakhirku ke luar kota Ra, karena setelah ini aku akan di pindahkan ke kantor pusat, dan aku hanya akan di tugaskan di dalam kota." jawab Adam.

Menyentakkan hati Alira beradu pandang.

"Jadi kita akan terus bertemu Ra, kita nggak akan dipisahkan lagi oleh jarak, gimana? Kamu senang kan?" tanya Adam lagi, dengan antusiasnya.

Menundukkan kepala Alira memejamkan matanya dalam.

"Ya Allah..., harusnya aku senang Dam, tapi bagaimana bisa aku menyembunyikan pernikahanku ini dari kamu Dam, selama setahun jika kamu tidak ada lagi tugas ke luar kota," batin Alira, dengan perasan pilunya tak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa? kok gitu ekspresinya? kamu nggak senang ya?" tanya Adam, menegakkan kepala Alira yang terdiam.

Mencoba untuk tersenyum, menutupi perasaan pilunya menggelengkan kepalanya.

"Aku senang Dam," jawab Alira.

"Ya Allah..., tolong bantu aku, sungguh aku nggak ingin kehilangan Adam, Engkau pasti tahu bukan? aku sangat mencintainya, aku begitu takut kehilangannya," batin Alira, menciptakan buliran bening di matanya segera membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Kamu kenapa? kok nangis?" tanya Adam, menyentuh pipi kekasihnya, mengarahkan kembali pandangan kekasihnya.

"Aku nggak papa Dam, aku hanya senang," lirih Alira, menahan rasa sakit di hatinya kembali membohongi kekasihnya.

Menciptakan senyum tipis di bibir Adam, mencubit gemas pipi mulus Alira.

"Kalau senang ya jangan nangis begini," ucap Adam, masih dengan senyum termanisnya membelai lembut pipi kekasihnya.

Karena ketulusan hatinya, karena rasa cinta yang dia punya, membuatnya terluka jika melihat kekasih hatinya menangis di depan matanya.

"I Love You," lirih Adam, dengan binar cinta dimatanya, begitu tulus dan teduh, menggetarkan bibir Alira.

Dengan air matanya yang telah tumpah, menahan rasa sesak di hatinya, kembali menyeruak bertemankan rasa perih begitu ngilu.

"I Love you too Dam, aku sangat mencintaimu Dam, sungguh Dam aku sangat mencintai kamu," jawab Alira, dengan intonasi lirihnya menitikan air matanya.

Sebelum menundukkan kepalanya, tak kuasa menanggung beban dosa penghianatan yang di lakukannya, membuatnya tak mampu memandang lebih lama sorot mata lembut kekasih hatinya.

"Maaf," batin Alira, kembali memejamkan matanya dalam, menahan gejolak rasa, akibat goresan luka yang di torehkannya ke hati Adam.

Sementara itu di dalam rumahnya, Ibu Rani mengayunkan langkahnya dari arah dapur masuk ke ruang tengah.

Mendekati Aksa yang terlihat santai duduk bersandar di atas sofa, dengan buah apel di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan, bertemankan banyaknya buah di atas meja. 

"Kok banyak buah Sa? kapan belinya?" tanya Bu Rani, tak mengalihkan pandangan putranya.

"Di kasih Mas Adam," jawab Aksa dengan entengnya, masih menikmati apel menyentakkan hati ibunya.

Sebelum membulatkan matanya menyadari keberadaan Ibunya dan juga jawabannya.

"Adam?" tanya Bu Rani, tak membuat Aksa bersuara, hanya terdiam segera duduk tegak membuang pandangannya.

"Adam kesini?" tanya Bu Rani, tak membuat Aksa bersuara, hanya mengangguk pelan sebelum memejamkan matanya dalam.

Bersamaan dengan langkah Bu Rani, sudah mengayunkan langkahnya meninggalkan Aksa menuju ruang tamu.

Sebelum mengedarkan pandangannya, melihat bayangan Alira bersama dengan laki-laki di balik kaca ruang tamunya.

Kembali mengayunkan langkahnya hendak mendekati putri dan kekasih hati putrinya.

Yang harus menjadi mantan karena pernikahan putrinya dengan lelaki pilihan suaminya.

"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.

Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya.

 "Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status