Share

Bab 7. Makan Malam 2

"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,"

"Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.

Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam.

"Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.

Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini.

"Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya.

"Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"

"Iya Dam,"

"Love you," lanjut Adam, semakin mendesirkan hati Alira, membuatnya terpaku dengan ulasan senyum di bibirnya.

"Kok nggak di jawab?"

"Love you too," jawab Alira akhirnya, sebelum terkekeh bersamaan dengan kekehan yang terdengar dari bibir Adam.

Sebelum memutus panggilan teleponnya, menghela nafasnya pelan segera mengayunkan langkahnya kembali masuk ke dalam ruang makan.

"Sudah selesai Ra?" tanya Om Bagas, sudah menghabiskan nasi di piring menatap calon menantunya.

Terlihat Satria bergeming, hanya mengunyah makanan tak mengalihkan pandangannya.

"Sudah Om," jawab Alira, kembali duduk di tempatnya, mencoba untuk berpikir, mencari alasan agar dirinya bisa pulang sekarang.

Meskipun harus berbohong, ya perjodohan ini membuatnya menjadi pribadi yang penuh dengan kebohongan.

Terutama kepada Adam, kebohongan demi kebohongan terus saja di ciptakan nya untuk menutupi perjodohan paksa yang di lakukan orang tuanya.

"Saya izin pamit ya Om," ucap Alira.

"Kok buru-buru? itu makanan kamu juga belum habis, kita juga belum ngobrolin masalah pernikahan kalian," jawab Papa Bagas, mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam.

Sebelum mengalihkan pandangannya, menatap calon istri yang tak di inginkannya, menundukkan kepala seraya meraih tas yang ada di kursi kosong di sebelah Alira.

"Iya Om, saya minta maaf, karena teman saya lagi butuh saya," jawab Alira, mengerutkan kening Papa Bagas semakin membuat Alira gelagapan.

"Teman saya lagi ada masalah Om, dan dia membutuhkan saya untuk teman curhatnya," lanjut Alira, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Satria yang bersuara.

"Biarin kenapa Pa! orang anaknya ingin pulang ya biar saja pulang!" sahut Satria, sebelum memasukkan lauk ke dalam mulutnya tak mengalihkan pandangannya dari piring yang ada di depannya.

Menciptakan helaan nafas pelan di bibir Papa Bagas kembali mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan Alira yang terdiam.

"Resepsi pernikahan kalian gimana? Om mengundang kamu kesini juga ingin membicarakan masalah acara kalian, Om ingin kamu memilih sendiri model undangan, dekorasi pelaminan sama yang lainnya," lanjut Papa Bagas menyentakkan hati putranya yang hampir tersedak.

"Tolonglah Pa, nggak usah pakai resepsi!" protes Satria, sesaat setelah menenggak segelas air yang ada di dekatnya menatap Papanya.

"Nggak bisa Sat! tetap harus pakai resepsi! seperti kata Papa tadi kamu anak tunggal! nikah sekali seumur hidup bagaimana bisa cuma akad saja?" tegas Papa Bagas.

Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Satria, kembali menenggak sisa air yang ada di gelasnya karena rasa frustasinya yang meninggi.

Tak terkecuali Alira, hanya terdiam menggigit bibir bawahnya karena hatinya yang gelisah.

"Saya apa kata Mas Satria saja Om, saya pamit ya Om, kasihan teman saya kalau menunggu terlalu lama," sahut Alira.

"Ya sudah, untuk masalah ini biar Om bicarakan dulu sama Satria ya Ra?"

"Iya Om," jawab Alira, berusaha mengulaskan senyum tipis di bibirnya segera berdiri dari duduknya, sebelum mengayunkan langkahnya mendekati calon Papa mertuanya yang berdiri.

"Saya pamit ya Om? terimakasih atas makan malamnya," lanjut Alira, mengulurkan tangannya hendak mencium tangan calon mertuanya.

"Hati-hati ya?" jawab Papa Bagas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah putranya yang terdiam.

"Kenapa masih duduk di situ? ayo berdiri Sat antarkan Alira!" ucap Papa Bagas.

Tak membuat Satria bersuara, hanya menghela nafas kasar segera berdiri dari duduknya.

"Iya...," jawab Satria, dengan nada malasnya segera mengayunkan langkahnya meninggalkan Alira yang masih berdiri di depan Papanya.

Karena hatinya yang tak lagi nyaman, moodnya buruk karena sikap Papanya yang terlalu egois, memaksakan semua kehendak tanpa memikirkan pendapat ataupun perasannya.

***

Langit tanpa bintang, karena mendung yang bergelayut di gelapnya malam, membuat sang rembulan pun enggan menunjukkan kecantikannya.

Terlihat Adam, tampak sabar dan tenang menunggu kedatangan sang pujaan hatinya yang amat sangat di cintainya.

Hanya duduk sendiri di atas kursi taman, dengan tangannya yang bersendekap di atas dada menahan hawa dingin yang menyapu kulitnya.

Karena hanya kemeja lengan pendek yang di pakainya, tanpa jaket tebal yang melindunginya.

Sementara itu di dalam mobil Satria, terlihat Alira duduk dengan gelisah dikursi depan penumpang di samping Satria.

Karena rasa khawatirnya kepada Adam yang di paksanya menunggu di taman terbuka di saat cuaca sedang mendung dan dingin begini.

Masih mengedarkan pandangannya, sesekali melirik jam tangan yang ada di pergelangan kirinya, mengalihkan pandangan Satria.

"Mau ketemu siapa sih kamu di taman?" tanya Satria akhirnya, karena jiwa ke ingin tahuannya yang meronta melihat kegelisahan calon istri yang tak di sukainya.

"Adam," jawab Alira singkat, tak mengalihkan pandanganya dari jalanan.

"Pacar kamu?"

"Iya, bisa cepat nggak sih Mas?" ucap Alira, tak membuat Satria bersuara, hanya menghela nafas pelan semakin menekan pedal gas di mobilnya untuk menambah kecepatan mobilnya.

Lima belas menit berlalu, setelah menembus jalanan kota yang terlihat lenggang, tampak mobil Satria berhenti tepat di dekat pintu masuk taman Puspa.

"Terimakasih," ucap Alira, hendak turun dari mobil sebelum terhenti karena kalimat Satria.

"Aku tunggu!"

"Ha? nggak perlu, ngapain juga nunggu aku?" tanya Alira bingung beradu pandang.

"Kamu berangkat sama aku pulang juga harus sama aku! apa kamu nggak dengar apa pesan ibumu tadi? Ibumu menitipkan kamu kepadaku!" jawab Satria.

"Tapi aku sama Adam, Adam pasti bisa menjagaku, mending kamu pulang saja mas! aku nggak mau ya Adam lihat kamu disini!"

"Nggak bisa! kamu tanggung jawabku malam ini! mau nggak mau aku akan tetap menunggu dan memastikan kepulanganmu!" jawab Satria, dengan intonasi tegasnya menciptakan helaan nafas di bibir Alira.

"Terserahlah Mas! tolong jangan muncul di depan Adam!" ucap Alira akhirnya, segera turun dari mobil, sebelum mengayunkan langkahnya cepat masuk ke dalam taman.

Mencari keberadaan Adam, seraya mengedarkan pandangannya.

Sebelum mengulaskan senyumnya, saat melihat Adam yang sedang duduk, memainkan ponsel tak melihat kedatangannya.

"Sayang...," panggil Alira, dengan nada lembutnya di telinga Adam.

Mengalihkan pandangan Adam sebelum tertawa mencubit gemas pipi mulus kekasihnya.

"Maaf ya? lama ya nunggunnya?" ucap Alira, segera duduk di samping Adam sebelum menerima pelukan dari kekasihnya.

"Nggak lama sih, hanya tiga puluh menit," jawab Adam, semakin mengeratkan pelukannya, ingin mengusir hawa dingin yang menyerangnya dengan pelukan hangat kekasihnya.

"Maaf ya?" ucap Alira, membalas pelukan Adam, menepuk pelan tubuh kekasihnya sebelum melepaskan pelukannya.

"Kok nggak pakai jaket sih?" ucap Alira, menggenggam erat tangan kekasihnya yang terasa dingin.

"Cie cie yang khawatir...," goda Adam, menciptakan tawa di bibir Alira, kembali memeluk tubuh kekasihnya.

Karena rasa bersalah yang menyelimutinya, akibat tawa tulus Adam semakin mengembangkan rasa berdosanya.

Membuatnya takut jika suatu saat nanti Adam mengetahui pernikahannya sebelum waktu perceraiannya.

"Maaf Dam, aku minta maaf, aku sangat mencintaimu Dam, aku nggak ada maksud untuk menghianati kamu Dam, sungguh aku nggak mau kehilangan kamu," batin Alira, memejamkan matanya dalam mengeratkan pelukannya.

Mencoba menahan rasa sesak di dadanya yang kembali menyeruak, menyiksa hatinya, membuatnya terluka oleh rasa bersalah yang mengungkungnya.

***

Mentari kembali datang, bersama dengan sinarnya yang masih hangat menembus jendela kamar Satria yang masih tertidur mendekap guling di pelukannya.

Sebelum mengkerjap-kerjapkan matanya, bersamaan dengan badan tegapnya yang menggeliat akibat sinar dari sang Surya yang menyilaukan kornea matanya yang tertutup.

"Jam tujuh," batinnya, masih memicingkan kedua matanya melihat jam dinding yang menggantung di dinding kamarnya.

Merasa enggan untuk bangun, karena aktifitasnya semalam, menunggu Alira pacaran bertemankan kebosanan di depan taman hingga pukul sembilan malam.

Hanya karena tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki yang telah membawa anak gadis orang, terutama anak gadis dari sahabat Papanya yang telah di titipkan kepadanya.

Sebelum melesatkan mobilnya menuju kafe yang ada di dekat rumahnya, menghabiskan waktu malamnya di sana untuk menghindari pertanyaan papanya mengenai dirinya yang salah bicara.

Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah pintu kamarnya yang di ketuk.

"Masuk!" ucap Satria, sebelum menjatuhkan kembali kepalanya malas karena langkah kaki Papa Bagas yang mendekatinya.

"Jelaskan maksud dari ucapan kamu kemarin Sat! apa maksud kamu menikahi Azkia?" selidik Papa Bagas, dengan hatinya yang tak sabar ingin mendengar jawaban dari putra tunggalnya.

"Aku baru bangun tidur Pa, belum juga mandi apalagi sarapan sudah di todong pertanyaan seperti ini," jawab Satria, masih berbaring dengan pandangannya ke atas.

"Jawab dulu baru kamu boleh mandi dan makan!" jawab Papa Bagas, duduk di tepi ranjang, mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam.

Hanya menghela nafas pelan, sebelum duduk dari tidurnya beradu pandang.

"Jawab Sat! jelaskan sama Papa! kamu berencana menceraikan Alira dan menikahi Azkia?" lanjut Papa Bagas, mencoba untuk menerka dan menebak isi kepala putranya.

Menyentakkan hati Satria, sebelum meraup wajah tampannya pelan.

"Aku hanya bercanda Pa, aku salah ngomong," kilah Satria.

"Yakin?"

"Yakinlah Pa, nggak ada maksud apa-apa,"

"Itu artinya kamu setuju ya dengan resepsi pernikahan kamu dengan Alira?"

"Aku tetap nggak setuju kalau masalah itu!" jawab Satria.

"Kenapa?"

"Karena aku nggak mencintainya! aku hanya perlu menikahinya seperti keinginan Papa kan? aku akan menikahinya, tapi aku nggak mau pernikahan ini di rayakan sama seperti pernikahan pada umumnya!" jawab Satria.

"Papa nggak akan mengundang banyak orang sat! hanya keluarga besar sama teman-teman Papa, setidaknya kasih kesempatan untuk Papa bisa berfoto bersama kamu dam Alira di pelaminan," tawar Papa Bagas, dengan wajah memelasnya ingin meruntuhkan ego di diri putranya.

"Terserahlah Pa, tapi aku sendiri yang akan menentukan tanggal pernikahannya." Jawab Satria akhirnya, setelah meraup wajahnya kasar karena wajah memelas Papanya yang meminta.

"Kan sudah di tentukan? tiga Minggu lagi?"

"Tanggalnya kan masih belum ada, biarkan aku sendiri yang memilih tanggalnya,"

"Oke, yang penting nggak boleh lebih dari satu bulan," jawab Papa Bagas.

Yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria, dengan niat dihatinya, ingin melakukan resepsi pernikahan sesuai dengan jam terbang Azkia ke luar negeri.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status