Share

Bab 9. Undangan Pernikahan

"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.

Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya.

 "Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang.

"Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.

Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah.

"Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya.

"Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?"

"Alhamdulillah Tante, saya juga sehat,  nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.

Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, lelaki yang begitu baik, sabar, dan pengertian.

Terlebih sopan santunnya yang begitu luar biasa, membuatnya terluka, tak habis pikir dengan takdir yang di berikan Tuhannya.

"Kenapa aku bertemu dengan kamu Dam? kenapa aku jatuh cinta sama kamu? dan kenapa kita harus saling mencintai seperti ini Dam? di saat Allah sendiri tahu, kalau aku akan di jodohkan orang tuaku? kenapa Allah tetap menumbuhkan benih cinta di hati kita Dam?" batin Alira, membuang pandangannya ke sembarang Arah.

Menahan rasa sesak di dadanya yang menyeruak, menengadah kepalanya ke atas sebelum mengerjap-ngerjapkan kedua matanya cepat.

Tak ingin lagi menangis di depan Adam, hingga membuat kekasihnya itu kepikiran dan penasaran.

Sebelum tersentak dengan kalimat ibunya, membuatnya reflek menoleh menatap ibunya diam.

"Ada keperluan apa ya Dam? kok tumbenan main kesini?" tanya Bu Rani, menyadari jalinan kasih yang masih terjalin di antara Adam dan putrinya calon istri dari Satria.

Mempercepat detak jantung Alira menyeka cepat sisa air mata di pipi tak mengalihkan pandangannya.

"Nggak ada keperluan apa-apa sih Tante, tadi kebetulan saja ketemu orang di kafe dekat sini, jadi sekalian saja mampir kesini," jawab Adam.

"Kalian masih pacaran?" tanya Bu Rani, membulatkan mata Alira, dengan degup jantungnya yang semakin tak karuan.

Tak ingin Ibunya memberitahukan soal pernikahannya, membuatnya gelisah memutar otak mencari cara agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya.

"Iya Tante, kami masih pacaran," jawab Adam, dengan ekpresi bingungnya, tak menyangka dengan pertanyaan dari wanita yang di anggapnya sebagai calon ibu mertuanya.

Segera mengalihkan pandanganya ke arah Alira yang gelagapan.

"Apa kamu bilang kita putus Ra ke Tante Rani?" tanya Adam.

"Aku nggak pernah bilang putus ke Ibu Dam, jangan menatapku seperti itu," protes Alira, berusaha bersikap tenang tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan Adam segera membelokkan arah pembicaraan.

"Ya Allah Dam, aku sampai lupa belum buatin kamu minum! sebentar ya aku ambilkan minum dulu ya?" ucap Alira, segera menggandeng tangan ibunya.

Di arahkannya masuk ke dalam rumah menjauhi Adam yang terdiam tak sempat melarangnya untuk membuat minuman.

"Kamu masih pacaran sama Adam Ra? gimana bisa? pernikahan kamu tinggal menghitung hari lo Ra!" ucap Bu Rani, sesaat setelah berdiri di ruang tengah melepaskan gandengan tangan putrinya.

"Masih ada sepuluh hari Bu, kasih aku waktu, aku akan menyelesaikan semuanya,"

"Waktu untuk apa lagi? kamu ini calon istri! nggak baik Ra kalau kamu menjalin hubungan dengan pria lain saat kamu sudah di lamar Satria!"

"Ini Adam Bu! laki laki yang sudah aku pacari beberapa tahun yang lalu! jauh sebelum aku kenal dan di lamar sama Mas Satria!" Jawab Alira, dengan hatinya yang tersayat perih berusaha  meminta pengertian Ibunya.

"Tapi tetap saja Ra! kamu nggak bisa seperti ini! kamu harus memutuskan hubunganmu dengan Adam! kalau memang kamu nggak sanggup biar ibu yang bicara sama Adam!" lanjut Bu Rani, semakin menyakiti hati putrinya.

Menyesakkan hati Alira bertemankan buliran bening yang menitik segera membuang pandangannya.

Mencoba untuk tenang, mengatur gejolak rasa di hatinya segera menahan tangan Bu Rani yang hendak mengayunkan langkah kembali keluar menemui kekasihnya.

"Aku mencintai Adam Bu, tapi tetap rela menikah dengan Mas Satria karena rasa baktiku sebagai anak kepada Ayah dan Ibu, jadi tolong, sekali ini saja Bu,  tolong ngertiin aku," lirih Alira, dengan bibirnya yang bergetar, tak mampu lagi menahan  buliran bening yang terjatuh, membasahi wajahnya menghentikan langkah ibunya.

Sebelum beradu pandang dengan ibunya yang terdiam menatapnya dalam.

"Hatiku sangat sakit Bu, aku hanya minta waktu sama Ibu, aku akan menyelesaikan semuanya Bu, aku akan bilang sama Adam, tapi nggak sekarang Bu! nggak dengan cara yang seperti ini! apa ibu tahu bagaimana sakitnya hati Adam saat ibu mengatakannya sekarang? tolong Bu, jangan memperbesar rasa bersalahku sama Adam, aku minta tolong," lanjut Alira, mengemis pengertian Ibunya, sama seperti dirinya yang telah berusaha mengerti kondisi hutang Budi kedua orang tuanya.

Hingga mengorbankan masa depannya, mengorbankan perasaannya dan juga Adam, lelaki baik penghuni hatinya.

Yang telah di cintainya begitu dalam, hingga menciptakan luka yang sangat dalam, menyayat perih hati dan perasaannya.

Sementara itu di tempat lainnya, di dalam perusahan Antariksa Group, terlihat Satria, duduk di atas kursi kebesarannya.

Tampak sibuk dengan berkas dan laptop yang menyala di depannya, segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terketuk.

"Masuk," jawab Satria, kembali mengalihkan pandangannya ke arah laptopnya yang menyala.

"Ada kiriman untuk anda Pak,"  ucap Sekretaris nya, Santi, sudah berdiri di depan  meja kerja nya mengalihkan kembali pandangannya.

"Kiriman?" tanya Satria, sebelum mengambil alih map yang terulur di depannya segera mempersilahkan Sekretarisnya untuk keluar.

Sebelum menghela nafasnya pelan, sesaat setelah membuka map coklat yang baru di terimanya.

Sebuah undangan pernikahan berwarna abu-abu dengan tulisan namanya, Satria Abraham dan Alira Maulidina yang tertera di dalamnya.

Membuatnya terdiam, menatap lekat dengan perasaannya yang kecewa nama Alira yang tak sesuai dengan harapannya.

 

"Kenapa Alira sih Pa? harusnya Azkia Pa! aku mencintai Azkia!" gumam Satria, menggosok dahinya bersama dengan hatinya yang terluka.

Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering.

"Halo," lirih Satria, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari Papanya.

"Sudah terima undangannya kan Sat? gimana? bagus kan? itu pilihan Papa sendiri." Ucap Papa Bagas dengan antusiasnya.

"Iya," lirih Satria menghela nafasnya pelan.

"Papa ingin mengundang beberapa karyawan Sat, mungkin lusa Papa akan kirim undangannya."

"Ayolah Pa! jangan seperti ini! papa kemarin bilang kan? hanya mengundang saudara dan beberapa teman Papa? kok sekarang jadi mengundang karyawan juga?" jawab Satria frustasi, meremas undangan di tangannya menahan emosinya.

"Hanya beberapa Sat, para manager yang ada di kantor cabang dan pusat," 

"Terserah lah Pa! terserah Papa saja! lakukan apapun yang Papa mau! aku sedang sibuk Pa! aku tutup dulu!" jawab Satria Akhirnya.

Dengan perasaan gusarnya segera menutup panggilan tak menunggu jawaban Papanya.

***

"Minum dulu Dam,"  ucap Alira, meletakkan secangkir teh hangat buatannya di atas meja.

Tak membuat kekasihnya bersuara, hanya terdiam dan duduk menatapnya dalam.

Menciptakan rasa takut di diri Alira, berusaha bersikap tenang segera duduk di sebelah kekasihnya.

"Jangan menatapku seperti itu Dam," protes Alira.

"Kenapa Ibu kamu tanya begitu Ra? apa ada yang kamu sembunyikan dariku Ra?" selidik Adam, dengan perasaan bingungnya tak bisa melupakan pertanyaan Bu Rani.

Membuat Alira gelagapan menelan salivanya pelan, sebelum mengulaskan senyumnya, berusaha menutupi degup jantungnya yang tak karuan menggenggam erat tangan kekasihnya.

"Nggak ada yang aku sembunyikan Dam, Ibu hanya tanya, karena kamu kan jarang kesini,"

"Yakin? hanya itu? hanya karena aku yang jarang kesini? nggak ada hubungannya sama air mata kamu kan? sewaktu aku di luar kota dan sewaktu kita bertemu di kafe dulu?" tanya Adam, berusaha meyakinkan hatinya sendiri yang tak nyaman.

"Nggak ada Dam, nggak ada yang aku sembunyikan, kamu nggak percaya ya sama aku." jawab Alira, masih dengan usahanya untuk tenang tak melepaskan genggaman tangannya. 

Sebelum mengulaskan senyumnya, beradu pandang dengan Adam yang tersenyum membalas genggaman tangannya. 

"Aku percaya sama kamu Ra," jawab Adam.

"Aku minta maaf Dam, aku penipu Dam,  aku pembohong," batin Alira, menahan buliran bening di matanya yang masih basah, berusaha mengulaskan senyumnya di atas lukanya yang menganga.

***

H-1 

Sunyinya malam di kamar Alira, terlihat gelap tanpa sinar lampu yang menerangi.

Tepat di saat pukul tujuh, terdengar suara candaan yang ada di luar kamar Alira, begitu ramai dengan suara sanak saudara Bu Rani dan juga Ayah Pras.

Terdengar begitu bahagia tak mengetahui keadaan calon pengantin wanita yang di rundung nestapa.

Menahan rasa perih yang menyayat hatinya, menghadapi kenyataan pernikahan yang sudah ada di depan matanya.

Membuatnya terisak, dengan tangisannya yang tergugu membelai lembut Foto Adam yang terlihat tampan, mengulaskan senyum bahagia marangkul bahunya di dalam layar ponselnya yang menyala.

"Aku besok menikah Dam, tapi aku akan bercerai satu tahun kemudian," lirihnya, dengan isakan tangisnya yang begitu pilu, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

"Apa kamu masih mau menerimaku Dam? apa kamu masih bisa mencintaiku jika suatu saat nanti aku gagal menyembunyikan kebenaran ini dari kamu Dam?"

"Kamu pasti sakit hati Dam, sungguh aku minta maaf sama kamu Dam, karena aku pun begitu Dam, hatiku sangat sakit Dam, sakit sekali...," lanjutnya lagi, tak mengalihkan pandangannya dari potret kebersamaannya bersama dengan Adam.

Kembali tergugu, dengan wajahnya yang telah basah sempurna ikut membasahi ponsel yang di dekapnya.

Kembali membayangkan kebahagiaannya bersama Adam, saling tertawa memadu kasih.

Menciptakan kenangan indah yang tak akan pernah di lupakannya, dengan harapan terbesarnya, ingin mengulang kebersamaannya bersama dengan Adam selepas pernikahannya nanti.

Dengan Adam yang mau mengerti kondisi dan situasinya, bersama dengan Adam yang masih mencintainya tanpa memandang status barunya.

Sebagai seorang istri sementara, dan juga sebagai seorang janda yang tak pernah di sentuh suaminya selepas perceraiannya satu tahun lagi.

 Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status