"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.
Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya.
"Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang.
"Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.
Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah.
"Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya.
"Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?"
"Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.
Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, lelaki yang begitu baik, sabar, dan pengertian.
Terlebih sopan santunnya yang begitu luar biasa, membuatnya terluka, tak habis pikir dengan takdir yang di berikan Tuhannya.
"Kenapa aku bertemu dengan kamu Dam? kenapa aku jatuh cinta sama kamu? dan kenapa kita harus saling mencintai seperti ini Dam? di saat Allah sendiri tahu, kalau aku akan di jodohkan orang tuaku? kenapa Allah tetap menumbuhkan benih cinta di hati kita Dam?" batin Alira, membuang pandangannya ke sembarang Arah.
Menahan rasa sesak di dadanya yang menyeruak, menengadah kepalanya ke atas sebelum mengerjap-ngerjapkan kedua matanya cepat.
Tak ingin lagi menangis di depan Adam, hingga membuat kekasihnya itu kepikiran dan penasaran.
Sebelum tersentak dengan kalimat ibunya, membuatnya reflek menoleh menatap ibunya diam.
"Ada keperluan apa ya Dam? kok tumbenan main kesini?" tanya Bu Rani, menyadari jalinan kasih yang masih terjalin di antara Adam dan putrinya calon istri dari Satria.
Mempercepat detak jantung Alira menyeka cepat sisa air mata di pipi tak mengalihkan pandangannya.
"Nggak ada keperluan apa-apa sih Tante, tadi kebetulan saja ketemu orang di kafe dekat sini, jadi sekalian saja mampir kesini," jawab Adam.
"Kalian masih pacaran?" tanya Bu Rani, membulatkan mata Alira, dengan degup jantungnya yang semakin tak karuan.
Tak ingin Ibunya memberitahukan soal pernikahannya, membuatnya gelisah memutar otak mencari cara agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya.
"Iya Tante, kami masih pacaran," jawab Adam, dengan ekpresi bingungnya, tak menyangka dengan pertanyaan dari wanita yang di anggapnya sebagai calon ibu mertuanya.
Segera mengalihkan pandanganya ke arah Alira yang gelagapan.
"Apa kamu bilang kita putus Ra ke Tante Rani?" tanya Adam.
"Aku nggak pernah bilang putus ke Ibu Dam, jangan menatapku seperti itu," protes Alira, berusaha bersikap tenang tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan Adam segera membelokkan arah pembicaraan.
"Ya Allah Dam, aku sampai lupa belum buatin kamu minum! sebentar ya aku ambilkan minum dulu ya?" ucap Alira, segera menggandeng tangan ibunya.
Di arahkannya masuk ke dalam rumah menjauhi Adam yang terdiam tak sempat melarangnya untuk membuat minuman.
"Kamu masih pacaran sama Adam Ra? gimana bisa? pernikahan kamu tinggal menghitung hari lo Ra!" ucap Bu Rani, sesaat setelah berdiri di ruang tengah melepaskan gandengan tangan putrinya.
"Masih ada sepuluh hari Bu, kasih aku waktu, aku akan menyelesaikan semuanya,"
"Waktu untuk apa lagi? kamu ini calon istri! nggak baik Ra kalau kamu menjalin hubungan dengan pria lain saat kamu sudah di lamar Satria!"
"Ini Adam Bu! laki laki yang sudah aku pacari beberapa tahun yang lalu! jauh sebelum aku kenal dan di lamar sama Mas Satria!" Jawab Alira, dengan hatinya yang tersayat perih berusaha meminta pengertian Ibunya.
"Tapi tetap saja Ra! kamu nggak bisa seperti ini! kamu harus memutuskan hubunganmu dengan Adam! kalau memang kamu nggak sanggup biar ibu yang bicara sama Adam!" lanjut Bu Rani, semakin menyakiti hati putrinya.
Menyesakkan hati Alira bertemankan buliran bening yang menitik segera membuang pandangannya.
Mencoba untuk tenang, mengatur gejolak rasa di hatinya segera menahan tangan Bu Rani yang hendak mengayunkan langkah kembali keluar menemui kekasihnya.
"Aku mencintai Adam Bu, tapi tetap rela menikah dengan Mas Satria karena rasa baktiku sebagai anak kepada Ayah dan Ibu, jadi tolong, sekali ini saja Bu, tolong ngertiin aku," lirih Alira, dengan bibirnya yang bergetar, tak mampu lagi menahan buliran bening yang terjatuh, membasahi wajahnya menghentikan langkah ibunya.
Sebelum beradu pandang dengan ibunya yang terdiam menatapnya dalam.
"Hatiku sangat sakit Bu, aku hanya minta waktu sama Ibu, aku akan menyelesaikan semuanya Bu, aku akan bilang sama Adam, tapi nggak sekarang Bu! nggak dengan cara yang seperti ini! apa ibu tahu bagaimana sakitnya hati Adam saat ibu mengatakannya sekarang? tolong Bu, jangan memperbesar rasa bersalahku sama Adam, aku minta tolong," lanjut Alira, mengemis pengertian Ibunya, sama seperti dirinya yang telah berusaha mengerti kondisi hutang Budi kedua orang tuanya.
Hingga mengorbankan masa depannya, mengorbankan perasaannya dan juga Adam, lelaki baik penghuni hatinya.
Yang telah di cintainya begitu dalam, hingga menciptakan luka yang sangat dalam, menyayat perih hati dan perasaannya.
Sementara itu di tempat lainnya, di dalam perusahan Antariksa Group, terlihat Satria, duduk di atas kursi kebesarannya.Tampak sibuk dengan berkas dan laptop yang menyala di depannya, segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang terketuk.
"Masuk," jawab Satria, kembali mengalihkan pandangannya ke arah laptopnya yang menyala.
"Ada kiriman untuk anda Pak," ucap Sekretaris nya, Santi, sudah berdiri di depan meja kerja nya mengalihkan kembali pandangannya.
"Kiriman?" tanya Satria, sebelum mengambil alih map yang terulur di depannya segera mempersilahkan Sekretarisnya untuk keluar.
Sebelum menghela nafasnya pelan, sesaat setelah membuka map coklat yang baru di terimanya.
Sebuah undangan pernikahan berwarna abu-abu dengan tulisan namanya, Satria Abraham dan Alira Maulidina yang tertera di dalamnya.
Membuatnya terdiam, menatap lekat dengan perasaannya yang kecewa nama Alira yang tak sesuai dengan harapannya.
"Kenapa Alira sih Pa? harusnya Azkia Pa! aku mencintai Azkia!" gumam Satria, menggosok dahinya bersama dengan hatinya yang terluka.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering.
"Halo," lirih Satria, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari Papanya.
"Sudah terima undangannya kan Sat? gimana? bagus kan? itu pilihan Papa sendiri." Ucap Papa Bagas dengan antusiasnya.
"Iya," lirih Satria menghela nafasnya pelan.
"Papa ingin mengundang beberapa karyawan Sat, mungkin lusa Papa akan kirim undangannya."
"Ayolah Pa! jangan seperti ini! papa kemarin bilang kan? hanya mengundang saudara dan beberapa teman Papa? kok sekarang jadi mengundang karyawan juga?" jawab Satria frustasi, meremas undangan di tangannya menahan emosinya.
"Hanya beberapa Sat, para manager yang ada di kantor cabang dan pusat,"
"Terserah lah Pa! terserah Papa saja! lakukan apapun yang Papa mau! aku sedang sibuk Pa! aku tutup dulu!" jawab Satria Akhirnya.
Dengan perasaan gusarnya segera menutup panggilan tak menunggu jawaban Papanya.
***"Minum dulu Dam," ucap Alira, meletakkan secangkir teh hangat buatannya di atas meja.
Tak membuat kekasihnya bersuara, hanya terdiam dan duduk menatapnya dalam.
Menciptakan rasa takut di diri Alira, berusaha bersikap tenang segera duduk di sebelah kekasihnya.
"Jangan menatapku seperti itu Dam," protes Alira.
"Kenapa Ibu kamu tanya begitu Ra? apa ada yang kamu sembunyikan dariku Ra?" selidik Adam, dengan perasaan bingungnya tak bisa melupakan pertanyaan Bu Rani.
Membuat Alira gelagapan menelan salivanya pelan, sebelum mengulaskan senyumnya, berusaha menutupi degup jantungnya yang tak karuan menggenggam erat tangan kekasihnya.
"Nggak ada yang aku sembunyikan Dam, Ibu hanya tanya, karena kamu kan jarang kesini,"
"Yakin? hanya itu? hanya karena aku yang jarang kesini? nggak ada hubungannya sama air mata kamu kan? sewaktu aku di luar kota dan sewaktu kita bertemu di kafe dulu?" tanya Adam, berusaha meyakinkan hatinya sendiri yang tak nyaman.
"Nggak ada Dam, nggak ada yang aku sembunyikan, kamu nggak percaya ya sama aku." jawab Alira, masih dengan usahanya untuk tenang tak melepaskan genggaman tangannya.
Sebelum mengulaskan senyumnya, beradu pandang dengan Adam yang tersenyum membalas genggaman tangannya.
"Aku percaya sama kamu Ra," jawab Adam.
"Aku minta maaf Dam, aku penipu Dam, aku pembohong," batin Alira, menahan buliran bening di matanya yang masih basah, berusaha mengulaskan senyumnya di atas lukanya yang menganga.
***H-1
Sunyinya malam di kamar Alira, terlihat gelap tanpa sinar lampu yang menerangi.
Tepat di saat pukul tujuh, terdengar suara candaan yang ada di luar kamar Alira, begitu ramai dengan suara sanak saudara Bu Rani dan juga Ayah Pras.
Terdengar begitu bahagia tak mengetahui keadaan calon pengantin wanita yang di rundung nestapa.
Menahan rasa perih yang menyayat hatinya, menghadapi kenyataan pernikahan yang sudah ada di depan matanya.
Membuatnya terisak, dengan tangisannya yang tergugu membelai lembut Foto Adam yang terlihat tampan, mengulaskan senyum bahagia marangkul bahunya di dalam layar ponselnya yang menyala.
"Aku besok menikah Dam, tapi aku akan bercerai satu tahun kemudian," lirihnya, dengan isakan tangisnya yang begitu pilu, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Apa kamu masih mau menerimaku Dam? apa kamu masih bisa mencintaiku jika suatu saat nanti aku gagal menyembunyikan kebenaran ini dari kamu Dam?"
"Kamu pasti sakit hati Dam, sungguh aku minta maaf sama kamu Dam, karena aku pun begitu Dam, hatiku sangat sakit Dam, sakit sekali...," lanjutnya lagi, tak mengalihkan pandangannya dari potret kebersamaannya bersama dengan Adam.
Kembali tergugu, dengan wajahnya yang telah basah sempurna ikut membasahi ponsel yang di dekapnya.
Kembali membayangkan kebahagiaannya bersama Adam, saling tertawa memadu kasih.
Menciptakan kenangan indah yang tak akan pernah di lupakannya, dengan harapan terbesarnya, ingin mengulang kebersamaannya bersama dengan Adam selepas pernikahannya nanti.
Dengan Adam yang mau mengerti kondisi dan situasinya, bersama dengan Adam yang masih mencintainya tanpa memandang status barunya.
Sebagai seorang istri sementara, dan juga sebagai seorang janda yang tak pernah di sentuh suaminya selepas perceraiannya satu tahun lagi.
Bersambung.
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"