Nada ketus Verry sontak membuat Fiani bingung.
“Loh? Itu masih hak kita, Mas! Dealer itu direbut lho, kalo kamu lupa. Kamu terlalu polos apa terlalu baik sih, Mas? Makanya Arsa gampang banget ngambil punya kita," ucap Fiani sembari berpikir, "Ah, iya, cewek tadi bukannya Tina, ya? Sekarang aku percaya, Mas. Berarti beneran Arsa bermuka dua, di depan dia baik, di belakang dia menusukku. Dia pasti kerja sama dengan Tina ya, Mas! Pokoknya, aku nggak terima, Mas.”
“Ya begitu temanmu, Dek. Mas aja yang selalu nutupin keburukannya. Kamu terlalu percaya sama dia. Sekarang nggak usah mikirin itu lagi. Rejeki yang hilang pasti ada gantinya. Kamu fokus kerja.” Verry berhenti di depan rumah berlantai tiga.
Setelah menempuh perjalanan empat puluh lima menit, mereka sampai di kediaman Beny.
Lelaki berkulit putih dengan mata sipit, langsung menyambut kedatangan Verry dengan ramah. “Ini istrimu, Ver?”
“Iya, Ben. Jadwal terbang jam berapa?”
“Malam, Ver. Ini nanti langsung berangkat ke Jakarta dulu. Masuk dulu yuk.”
“Nggak usah, aku langsung pulang aja. Kasian anakku di rumah.”
Beny manggut-manggut. “Ya sudah, cipika-cipiki dulu gih sama istri. Aku tinggal ke dalam dulu, ya. Nanti langsung masuk ya, Fi.” Beny meninggalkan pasangan tersebut.
Sepeninggal Beny, Verry mencium kening Fiani. “Jaga diri baik-baik ya, Dek. Kerja yang bener. Kalo udah gajian jangan lupa kirim. Jangan macam-macam di sana.”
“Tunggu sampe aku berangkat ya, Mas.”
“Mau ngapain? Kayak pengantin baru aja, Dek. Mas mau pulang sekarang aja.”
“Bagus kan Mas kalo kayak pengantin baru terus, artinya kita nggak bosen. Tapi ya udahlah, nggak papa kalo Mas mau langsung pulang. Titip Reni ya, Mas. Nanti kalo Mas pengen itu, tahan ya, inget, jangan merusak rumah tangga kita. Berjuang sama-sama, Mas.” Fiani malu-malu saat mengatakannya. Dia takut Verry tak bisa menahan keinginan bercinta selama tiga tahun.
“Bosen itu wajar lho, Dek, apalagi kalo si istri nggak sempit lagi. Banyak yang gitu, tapi kan Mas nggak nakal. Nanti kamu pergi tiga tahun, pas pulang pasti rapet lagi. Nah, Mas tunggu pas itu aja, ya. Hehe.” Verry cengar-cengir.
“Itu lagi yang dibahas? Ya udah, sana pulang.” Fiani berbalik meninggalkan Verry dengan hati kesal.
“Hati-hati di jalan, Dek.” Setelah mengucap kalimat perpisahan singkat, Verry pun langsung menyalakan mesin motor dan berlalu tanpa meminta maaf ataupun meralat ucapannya yang sudah melukai hati Fiani.
***
Pukul delapan malam, Fiani sudah duduk di dalam pesawat. Menunggu burung besi tersebut lepas landas dan meninggalkan Negara Indonesia.
Usai berdoa, Fiani mencoba memejamkan mata karena dia sedikit merasakan kantuk. Namun, pikirannya justru melayang ke momen-momen di mana Verry menyebut dirinya tak sempit dan tak legit lagi.
'Mas Verry memang agak berubah satu bulan terakhir. Jangan-jangan ... ah, nggak-nggak, aku nggak boleh mikirin hal buruk. Semoga Allah jaga rumah tanggaku dengan Mas Verry.' Fiani berperang dengan batinnya sendiri.
Wanita itu kemudian memejamkan mata hingga mimpi indah menyambutnya.
Melihat kepergian Fiana, Verry bersiul tanpa henti.
Bahagia menyelimuti hati kala sang istri sudah pergi jauh untuk berjuang demi kelangsungan hidup keluarga kecilnya.
Sedikit cerita, awal mula Verry mengenal Fiani kala gadis itu pulang dari TKI.
Saat itu, Fiani mencari rumah kontrakan di sekitar tempat tinggal Verry. Dari sana Verry tahu bahwa Fiani gadis sebatang kara, kebingungan tak punya siapa untuk diajak berkeluh kesah.
Melihat kesempatan, Verry masuk untuk mengisi kehidupan gadis kesepian itu. Dia mengenal Fiani hanya sekitar dua bulan, lalu menikah. Tentu yang dilirik pertama kali adalah harta yang Fiani bawa dari luar negeri. Verry juga tahu bahwa Fiani butuh seseorang dalam hidupnya.
Sengaja dia masuk kehidupan Fiani. Meski hidup Verry tak bermandikan uang, tetapi tarafnya jelas naik. Bisa dikatakan mapan setelah menikahi Fiani. Sandang, pangan, bahkan papan, nyaris semua adalah hasil jerih payah Fiani.
Tak munafik, Verry menikmati pernikahan dengan Fiani. Dia juga memiliki ketertarikan pada istrinya itu.Fiani gadis yang mempunyai rupa hampir sempurna. Kulit kuning bersih, hidung mancung, manis, dan kalem. Namun, sejak kelahiran Reni, Verry mulai sering bermain dengan wanita lain. Dengan alasan egois dia bilang tak bergairah lagi. Menurut pandangan Verry, fisik Fiani sudah berubah 90 persen pasca melahirkan.
“Sekarang aku bebas main sama Jeni. Hemm, nikmatnya hidupku.” Verry menyeringai, lalu membelokkan motor ke rumah berukuran 6x6.
Seorang wanita cantik membuka pintu sebelum Verry mengetuk. Wanita berkulit kuning Langsat, dan hidung mungil itu, menyambut suami Fiani dengan pakaian minim bahan.
“Sudah, Mas? Aku kangen banget tau?” ujar wanita tersebut, dia bergelayut manja di pelukan Verry.
“Sudah, sayangku. Sekarang kita bebas. Semua berkat ide brilian kamu, Sayang.” Verry mengecup bibir Jeni dan menggendong wanita itu ke dalam.
Mereka menghabiskan waktu bermanja-manja hingga malam hari. Pukul delapan malam, keduanya baru saja selesai mandi. Verry mengajak Jeni jalan-jalan ke luar untuk mencari makanan.
“Aku lapar, Mas. Capek banget nemenin kamu yang nggak bosen-bosen.” Jeni menuang minum ke gelas.
“Kita cari makan keluar yuk. Kamu pake topi sama masker gih, biar nggak ada yang kenal.”
“Gitu doang?” protes Jeni.
“Sayangku ini, cantik banget sih kalo lagi cemberut. Makanya Mas betah banget sama kamu. Nggak ada cerita bosen. Di rumah, Mas juga jarang ngobrol sama Fia. Dia jauh banget kalo dibandingin kamu, Sayang. Kamu lebih segala-galanya.” Verry menciumi wajah Jeni.
“Iih, gombal.”
“Kalo cuma gombal, Mas nggak mungkin sejauh ini, Sayang. Mas serius sama kamu. Makanya tinggalin tunanganmu itu!” ucap Verry agak ketus, lalu melepas pelukan.
“Mas aja punya Mbak Fia, kenapa aku harus tinggalin dia? Aku butuh dia, Mas, tapi nggak bisa juga ninggalin Mas, terlalu cinta.”
“Ya udah, nggak usah mikirin itu. Kita senang-senang aja malam ini. Jangan lupa transfer setengahnya ke rekening Mas, ya?”
“Nah gitu dong Mas, aku butuh hiburan. Capek ngadepin dia yang nggak seru, nggak asik. Masa aku cium pipinya aja nggak mau, katanya nunggu kalo udah nikah. Ketemu juga jarang-jarang, apalagi sekarang tambah jauh. Ah, untung aja ada Mas.”
Mereka memakai masker penutup wajah dan jaket, lalu mengendarai motor berkeliling kecamatan Rancah. Rencana yang awalnya hanya mencari makan, kini berubah. Verry berinisiatif mengajak Jeni ke Pantai Tanjung Putus yang bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Bagai gayung bersambut, Jeni menyetujui ide konyol Verry.
Pukul sebelas malam, mereka akhirnya sampai di pantai yang sepi penghuni. Namanya malam hari dan bukan hari besar, jelaslah pantai terkesan horor. Namun, beda bagi mereka.
Usai menitipkan motor di salah satu kedai, Verry dan Jeni berjalan menyusuri pantai sembari bergandeng tangan. Romantisnya melebihi pasangan halal. Kesenangan dunia membikin keduanya lupa diri dan menganggap hubungan itu sah. Tanpa memikirkan dosa, karma, juga hati yang sudah terluka karena perselingkuhan tersebut.
“Inget kan, Mas, pertama kali kita ketemu enam bulan lalu?” Jeni bertanya. Dengan bangga dia bergelayut di lengan Verry. Seolah lelaki bertato itu adalah miliknya. Mereka menaruh tas beserta jaket di gazebo, lalu berjalan lagi.
“Mas lupa, ingetnya cuma kejadian manis sebulan lalu. Persis kayak malam ini. Nggak terlalu banyak bintang, bulannya juga bulan sabit. Dalam remang-remang sorotan lampu kedai yang di sana, kita main ombak jam 12 malam. Nah, setelah kelamaan main, kamu kedinginan, terus ... terpaksa Mas menyelamatkan kamu dari hipotermia dengan cara itu.” Wajah bahagia Verry tak begitu terlihat nyata oleh Jeni karena minimnya penerangan.
“Ish, itu sih alibi Mas aja.”
“Ya Mas kan kasihan liat kamu menggigil, Sayang. Terpaksa Mas lakukan itu. Yuk.” Verry tak melanjutkan cerita, malah menarik tangan Jeni, membawa ke dalam gulungan ombak yang tidak terlalu tinggi.
Seakan ingin mengulang kejadian sebulan lalu, Verry sengaja mengajak Jeni bermain air. Padahal dia tahu kalau wanita itu gampang sekali kedinginan. Namun, bukannya menolak, Jeni justru seperti punya keinginan sama. Dia menikmati air laut malam yang sangat dingin, tanpa pusing dengan dirinya yang mudah hipotermia.
“Mas? Udah yuk, dingin banget. Rasanya tulangku kayak beku,” kata Jeni dengan bibir bergetar.
“Baru sebentar, Sayang, masa udahan? Nggak seru.”
“Lihat, badanku sudah menggigil. Aku nggak bisa jalan lagi karena tulangku rasanya kaku. Gendong aku ya, Mas.”
Namanya kucing dilempari ikan, sudah pasti mereka tangkap dan kuliti tanpa sisa.
Mereka menghabiskan malam panjang di tepi pantai. Pukul tiga dini hari, Verry meninggalkan Jeni untuk membeli sepotong pakaian di kedai yang buka 24 jam.
“Kamu pake ini, Sayang.” Verry menyerahkan mini dress untuk Jeni.
“Makasih, Mas.” Jeni langsung memakainya, lalu dia merogoh tas dan menghidupkan ponsel yang sejak sore dimatikan.
“Ngapain dihidupin?”
“Takut Isha nyariin, Mas.”
“Kamu itu lagi sama aku lho, Yang, ngapain mikirin dia? Oke, aku nggak masalah kamu masih pertahankan hubungan sama dia, tapi ... kalo lagi sama aku, jangan sekali-kali kamu sebut namanya.” Verry melempar pakaian basah ke arah Jeni, untunglah Jeni berhasil menghindar.
“Mas, maksudku bukan yang gimana-gimana. Aku cuma mau kasih kabar ke dia.” Jeni mengejar Verry yang pergi meninggalkannya.
“Terserah kamu aja. Sana pergi ke tunanganmu itu.” Verry menepis tangan Jeni.
“Mas, maafin aku. Aku ngaku salah dan nggak akan ngulangin lagi. Aku lebih cinta kamu Mas daripada Isha. Jangan tinggalin aku, Mas!” Jeni berlari sambil menangis, mengejar Verry yang berlari menjauh dan mengambil kendaraan.
Jeni menelepon Verry beberapa kali sampai akhirnya panggilan itu tersambung.
“Mas, aku takut di sini sendiri. Maafin aku, Mas. Jangan marah, ya.”
“Kalo masih nyebut nama dia di depan Mas, nggak cuma Mas tinggal di sini kamu, tapi juga Mas tinggal cari yang lain!” Verry menyeringai, lalu memasukkan ponsel ke saku celana.
Verry geleng-geleng lalu mengendarai motor untuk menjemput Jeni.
“Ah, emang susah kalo punya wajah tampan dan perkasa kayak aku. Cewek-cewek nempel semua nggak mau ditinggal. Ha-ha-ha.”
Ya, ampun! Udah nyebelin, ternyata Verry percaya diri banget lagi! Kira-kira, Fiani curiga gak dengan kelakuan suaminya ini?
Di rumahnya, Reni tak tidur semalaman. Bocah kecil itu hanya menangis mencari ibunya. Baru sehari mengurus Reni, Darmi sudah uring-uringan. Bahkan, Reni dibiarkan sendiri. “Pak, kamu gantian urusin cucumu itu. Capek aku gendong semalaman. Awas aja kalo anakmu nggak bisa bayar mahal. Ogah aku ngurus anak Fia lagi.”“Sudah, urus aja Buk. Aku habis menang togel. Ini buat kamu 500, nanti kalo Verry pulang kamu pergilah senang-senang.”“Mana cukup 500? Lihat, lingkar mataku hitam karena ngurus bocah itu. Ini sih cuma cukup buat ke salon.”Ketika dua orang paruh baya itu sedang meributkan uang, Verry dengan pongahnya pulang. Tepat pukul lima pagi saat orang-orang sedang mendirikan Salat Subuh.“Apa sih, Pak, Buk, pagi-pagi udah rebutan duit?” ucap Verry sambil melepas jaket.“Kamu dari mana aja, Ver? Ibu capek ngurusin anakmu yang rewel dan nyusahin itu.”“Ibumu minta bayar Ver, kasihlah dia duit. Biar dia gantian yang senang-senang, kamu kan sudah puas seharian nggak pulang.”“Emang kamu
“Diam! Bisa diam nggak, sih? Anak nakal, diam nggak? Kalo nggak diam Tante cubit lagi. Mau?” Jeni menarik tangan mungil Reni ke kamar mandi.Reni meredamkan suara cemprengnya. Bocah itu sesenggukan karena tangisnya membikin kulit-kulitnya membiru. Namun, bocah itu pandai juga meski akalnya belum sempurna. Dia selalu mengangguk kala Jeni mengomel, dan ... ketika Jeni lengah, dia berlari keluar rumah tanpa pakaian.“Ante atan ... hu-hu-hu, Ante atan! Nek ... Ante atan!” Reni terus meraung sambil mengatakan kalimat balita. Tidak semua orang mengerti makna kalimat tersebut, tetapi setidaknya banyak orang peduli.Kebetulan pagi itu banyak ibu rumpi sedang jajan sayuran di warung depan rumah Verry. Otomatis semua orang berlari mengejar Reni. Meski tujuan Reni tidak terlalu jauh, tetapi bagi balita sekecil itu sangat berisiko kala berlarian sendiri di jalanan ramai.“Ya Allah ... Reni ... Nak! Eh, kenapa Reni nggak pake baju?” tanya seorang ibu muda saat berhasil menangkap Reni.“Enek ... An
“Bagaimana para saksi? Sah?”“Sah!”Ijab kabul itu dinyatakan sah secara agama usai Verry menjabat tangan tokoh agama di desanya. Jeni menangisi nasibnya. Dia bingung harus bahagia atau bersedih.Ada senang, tetapi lebih banyak ketar-ketirnya. Jeni memang menginginkan sebuah pernikahan. Namun, bukan diawali pernikahan tersembunyi seperti yang tengah diadakan di rumah Verry dan Fiani.“Makanya jangan kumpul kebo kalau nggak mau dipermalukan! Masih untung kami nggak memaksamu mendatangkan keluarga ke sini, kalau iya ... uh, apa nggak tambah runyam hidup kamu,” ucap Bu Ruminah dengan nada sinis.“Dasar perempuan gatal,” sahut Bu Nindi.Selesai menikahkan Verry, warga pulang berjamaah. Pernikahan siri itu tidak dihadiri oleh orang tua Verry. Darmi dan Tono menganggap kelakuan Verry hal lumrah. Mereka juga enggan direpotkan dengan urusan menjadi saksi atau apalah.Verry meremas kertas pernyataan pernikahan siri tersebut. Lalu melemparnya ke wajah Jeni. “Pagi-pagi ... sudah bikin ulah! Kamu
"Ya Allah ... " Tangannya gemetar, dia menekan tombol telepon.Seseorang di seberang langsung mengadukan kejadian menyedihkan. “Fi ... ini lho, Reni jalan sendiri sampai perempatan dusun 5. Untung saja tetanggaku ada yang sedikit ingat kalau Reni ini ponakanku. Coba kamu telepon Verry, tadi aku antar ke sana, tapi rumah kosong, tempat Buklek Darmi juga tutup.”“Ya Allah, Mbak ... Reni sampai dusun 5? Astagfirullah. Fia juga sudah empat hari menghubungi Mas Verry, tapi belum dibalas, telepon nggak diangkat. Tolong jaga Reni dulu ya, Mbak, Fia coba telepon Mas Verry dulu. Terima kasih banyak ya, Mbak. Sekali lagi terima kasih.”“Jangan seperti itu, Fi, kita ini saudara. Ya sudah kamu telepon ... eh, sebentar ... sudah, Fi. Itu, Verry datang.”Marah, sedih, murka, semua bercampur aduk seperti air bergejolak dalam kemasan samudera. Namun, ledakan amarah harus ditahan dalam-dalam oleh Fiani, karena waktu istirahatnya tidak akan cukup jika digunakan untuk mengomel pada Verry.Usai menyudahi
Seminggu berlalu dari kejadian Reni pergi sendiri dari rumah. Sudah tanggal delapan, tetapi Fiani menahan diri untuk tidak buru-buru mengirim uang bulanan. Dia berusaha kuat, dan terus berdoa pada Sang Kuasa agar Reni selalu dilindungi.Saat itu Fiani marah besar pada Verry, tetapi lelaki itu justru malah menantang Fiani untuk tidak menafkahi sang anak.“Ya Allah ... maafkan aku, semoga Mas Verry nggak menelantarkan Reni. Orang tua kayak Ibu sama Bapak memang agak ngeri. Pasti Mas Verry selalu dibujuk untuk foya-foya pakai uang kirimanku. Hufh, astagfirullah ... mau bagaimanapun mereka tetap mertuaku. Sabar, Fi ... sabar.” Fiani menenangkan dirinya sendiri.Dia sedang mengetikkan pesan untuk dikirim ke Verry. Ingin sekali mengalah, tetapi tampak sangat lemah jika Fiani terus-terusan mengalah. Dia cuma mau bertanya keadaan Reni, bukan menyinggung perihal uang. Bersikap masa bodo pada suami adalah hal menyakitkan bagi Fiani.Ting! Satu balasan masuk.[Pakai skype-mu sekarang. Lihat anak
Fiani masih menatap laptop di depannya, dia mulai khawatir dengan sang mertua yang kerap mengganggu rumah tangganya. Dia juga kasihan pada Verry, harus menggantikan perannya mengurus Reni. Di saat seperti itu, ingin sekali dia punya kantong ajaib, dan pulang ke Indonesia dalam kedipan mata.Air matanya menetes lagi ketika bayangan Reni begitu lahap makan mi instan. Bocah itu tampak seperti anak kurang makan.“Ya Allah, amit-amit. Jangan sampe Reni kekurangan, apalagi kurang makan,” gumam Fiani. Dia langsung menyambar ponsel, lalu mengirim uang melalui SMS ke rekening Verry. Alhamdulillah, sudah dari seminggu lalu Fiani memutasi uangnya ke tabungan Indonesia.Ketika hendak menutup laptop, Fiani malah ingat Arsa. Walaupun mengantuk, dia tetap berkutat di sana. Dia membuka tautan Yahoo untuk berkirim surat elektronik ke Arsa. Tidak ada lagi cara lain, harapannya Arsa sedang bekerja, dan bisa cepat membalas emailnya. Bak pelangi setelah hujan, Fiani masih punya harapan, email ke Arsa terk
Sejak dituding sebagai pelaku kecurangan, Arsa mulai mawas diri. Sibuk membikin dia banyak kehilangan informasi. Semua dilakukan demi meraup rupiah agar bisa menikahi Tina. Namun, dari pertemuannya seminggu lalu, Arsa agak ragu.Dia sudah berjanji pada Fiani akan mengumpulkan bukti-bukti dalam kasus itu. Arsa akan kesampingkan persiapan pernikahannya dulu. Sasaran utama adalah Verry, suami dari Fiani. Bisa-bisanya Arsa yang tidak tahu apa-apa menjadi kambing hitam.Hari itu, Arsa sengaja bekerja setengah hari, lalu dia bertukar mobil dengan Bob Ali sepupunya. Arsa menceritakan detail masalah penggelapan itu. Aura tampan di wajahnya berubah suram, rasa tidak terima difitnah melukai hatinya. Padahal Arsa tengah berusaha berpikir positif pada suami Fiani. Kenyataannya, Verry tetap menjadi Verry. Arsa tahu bagaimana orang-orang menjuluki Verry dengan versi mereka masing-masing.“Wah, ini sudah masuk kasus penggelapan, Ar. Kita harus melaporkan ke polisi. Aku bisa bantu kamu untuk urus sem
Di luar dugaan, Arsa melihat fakta yang jauh dari praduganya. Matanya memerah menahan gelombang panas. Darahnya seakan mendidih mendapati dua manusia bertopeng. Perut Arsa tiba-tiba mual melihat wajah perempuan itu.Entah sudah berapa kali dia meninju setir mobil, sampai ingat kalau dia bukan pemilik kendaraan tersebut.“Et ... et ... eh, untung aja nggak copot ini setirnya. Kalo rusak bisa berabe. Rugi banyak Akang, Dek.” Arsa mengelus dada. Rupanya dia lebih takut kalau mobil Ali sampai lecet, daripada kehilangan perempuan murahan itu.Arsa menekan tombol telepon, tetapi cepat dia matikan lagi. Dia menahan dulu keinginan memberi kabar Fiani. Gegabah akan membikin dirinya rendah.Menuduh tanpa bukti tentu cuma akan menjadi omong kosong saja. Arsa menghindari hal seperti itu. Dia ingin kepercayaan Fiani kembali untuknya. Jadi, sebisa mungkin dia harus memiliki bukti-bukti akurat.Arsa memutar otak lagi, apakah saksi akan cukup menyelamatkan dia dari fitnah? Akhirnya dia menelepon Ali