Share

Empat

Nada ketus Verry sontak membuat Fiani bingung.

“Loh? Itu masih hak kita, Mas! Dealer itu direbut lho, kalo kamu lupa. Kamu terlalu polos apa terlalu baik sih, Mas? Makanya Arsa gampang banget ngambil punya kita," ucap Fiani sembari berpikir, "Ah, iya, cewek tadi bukannya Tina, ya? Sekarang aku percaya, Mas. Berarti beneran Arsa bermuka dua, di depan dia baik, di belakang dia menusukku. Dia pasti kerja sama dengan Tina ya, Mas! Pokoknya, aku nggak terima, Mas.”

“Ya begitu temanmu, Dek. Mas aja yang selalu nutupin keburukannya. Kamu terlalu percaya sama dia. Sekarang nggak usah mikirin itu lagi. Rejeki yang hilang pasti ada gantinya. Kamu fokus kerja.” Verry berhenti di depan rumah berlantai tiga.

Setelah menempuh perjalanan empat puluh lima menit, mereka sampai di kediaman Beny.

Lelaki berkulit putih dengan mata sipit, langsung menyambut kedatangan Verry dengan ramah. “Ini istrimu, Ver?”

“Iya, Ben. Jadwal terbang jam berapa?”

“Malam, Ver. Ini nanti langsung berangkat ke Jakarta dulu. Masuk dulu yuk.”

“Nggak usah, aku langsung pulang aja. Kasian anakku di rumah.”

Beny manggut-manggut. “Ya sudah, cipika-cipiki dulu gih sama istri. Aku tinggal ke dalam dulu, ya. Nanti langsung masuk ya, Fi.” Beny meninggalkan pasangan tersebut.

Sepeninggal Beny, Verry mencium kening Fiani. “Jaga diri baik-baik ya, Dek. Kerja yang bener. Kalo udah gajian jangan lupa kirim. Jangan macam-macam di sana.”

“Tunggu sampe aku berangkat ya, Mas.”

“Mau ngapain? Kayak pengantin baru aja, Dek. Mas mau pulang sekarang aja.”

“Bagus kan Mas kalo kayak pengantin baru terus, artinya kita nggak bosen. Tapi ya udahlah, nggak papa kalo Mas mau langsung pulang. Titip Reni ya, Mas. Nanti kalo Mas pengen itu, tahan ya, inget, jangan merusak rumah tangga kita. Berjuang sama-sama, Mas.” Fiani malu-malu saat mengatakannya. Dia takut Verry tak bisa menahan keinginan bercinta selama tiga tahun.

“Bosen itu wajar lho, Dek, apalagi kalo si istri nggak sempit lagi. Banyak yang gitu, tapi kan Mas nggak nakal. Nanti kamu pergi tiga tahun, pas pulang pasti rapet lagi. Nah, Mas tunggu pas itu aja, ya. Hehe.” Verry cengar-cengir.

“Itu lagi yang dibahas? Ya udah, sana pulang.” Fiani berbalik meninggalkan Verry dengan hati kesal.

“Hati-hati di jalan, Dek.” Setelah mengucap kalimat perpisahan singkat, Verry pun langsung menyalakan mesin motor dan berlalu tanpa meminta maaf ataupun meralat ucapannya yang sudah melukai hati Fiani.

***

Pukul delapan malam, Fiani sudah duduk di dalam pesawat. Menunggu burung besi tersebut lepas landas dan meninggalkan Negara Indonesia.

Usai berdoa, Fiani mencoba memejamkan mata karena dia sedikit merasakan kantuk. Namun, pikirannya justru melayang ke momen-momen di mana Verry menyebut dirinya tak sempit dan tak legit lagi.

'Mas Verry memang agak berubah satu bulan terakhir. Jangan-jangan ... ah, nggak-nggak, aku nggak boleh mikirin hal buruk. Semoga Allah jaga rumah tanggaku dengan Mas Verry.' Fiani berperang dengan batinnya sendiri.

Wanita itu kemudian memejamkan mata hingga mimpi indah menyambutnya.

Melihat kepergian Fiana, Verry bersiul tanpa henti.

Bahagia menyelimuti hati kala sang istri sudah pergi jauh untuk berjuang demi kelangsungan hidup keluarga kecilnya.

Sedikit cerita, awal mula Verry mengenal Fiani kala gadis itu pulang dari TKI.

Saat itu, Fiani mencari rumah kontrakan di sekitar tempat tinggal Verry. Dari sana Verry tahu bahwa Fiani gadis sebatang kara, kebingungan tak punya siapa untuk diajak berkeluh kesah.

Melihat kesempatan, Verry masuk untuk mengisi kehidupan gadis kesepian itu. Dia mengenal Fiani hanya sekitar dua bulan, lalu menikah. Tentu yang dilirik pertama kali adalah harta yang Fiani bawa dari luar negeri. Verry juga tahu bahwa Fiani butuh seseorang dalam hidupnya.

Sengaja dia masuk kehidupan Fiani. Meski hidup Verry tak bermandikan uang, tetapi tarafnya jelas naik. Bisa dikatakan mapan setelah menikahi Fiani. Sandang, pangan, bahkan papan, nyaris semua adalah hasil jerih payah Fiani.

Tak munafik, Verry menikmati pernikahan dengan Fiani. Dia juga memiliki ketertarikan pada istrinya itu.

Fiani gadis yang mempunyai rupa hampir sempurna. Kulit kuning bersih, hidung mancung, manis, dan kalem. Namun, sejak kelahiran Reni, Verry mulai sering bermain dengan wanita lain. Dengan alasan egois dia bilang tak bergairah lagi. Menurut pandangan Verry, fisik Fiani sudah berubah 90 persen pasca melahirkan.

“Sekarang aku bebas main sama Jeni. Hemm, nikmatnya hidupku.” Verry menyeringai, lalu membelokkan motor ke rumah berukuran 6x6.

Seorang wanita cantik membuka pintu sebelum Verry mengetuk. Wanita berkulit kuning Langsat, dan hidung mungil itu, menyambut suami Fiani dengan pakaian minim bahan.

“Sudah, Mas? Aku kangen banget tau?” ujar wanita tersebut, dia bergelayut manja di pelukan Verry.

“Sudah, sayangku. Sekarang kita bebas. Semua berkat ide brilian kamu, Sayang.” Verry mengecup bibir Jeni dan menggendong wanita itu ke dalam.

Mereka menghabiskan waktu bermanja-manja hingga malam hari. Pukul delapan malam, keduanya baru saja selesai mandi. Verry mengajak Jeni jalan-jalan ke luar untuk mencari makanan.

“Aku lapar, Mas. Capek banget nemenin kamu yang nggak bosen-bosen.” Jeni menuang minum ke gelas.

“Kita cari makan keluar yuk. Kamu pake topi sama masker gih, biar nggak ada yang kenal.”

“Gitu doang?” protes Jeni.

“Sayangku ini, cantik banget sih kalo lagi cemberut. Makanya Mas betah banget sama kamu. Nggak ada cerita bosen. Di rumah, Mas juga jarang ngobrol sama Fia. Dia jauh banget kalo dibandingin kamu, Sayang. Kamu lebih segala-galanya.” Verry menciumi wajah Jeni.

“Iih, gombal.”

“Kalo cuma gombal, Mas nggak mungkin sejauh ini, Sayang. Mas serius sama kamu. Makanya tinggalin tunanganmu itu!” ucap Verry agak ketus, lalu melepas pelukan.

“Mas aja punya Mbak Fia, kenapa aku harus tinggalin dia? Aku butuh dia, Mas, tapi nggak bisa juga ninggalin Mas, terlalu cinta.”

“Ya udah, nggak usah mikirin itu. Kita senang-senang aja malam ini. Jangan lupa transfer setengahnya ke rekening Mas, ya?”

“Nah gitu dong Mas, aku butuh hiburan. Capek ngadepin dia yang nggak seru, nggak asik. Masa aku cium pipinya aja nggak mau, katanya nunggu kalo udah nikah. Ketemu juga jarang-jarang, apalagi sekarang tambah jauh. Ah, untung aja ada Mas.”

Mereka memakai masker penutup wajah dan jaket, lalu mengendarai motor berkeliling kecamatan Rancah. Rencana yang awalnya hanya mencari makan, kini berubah. Verry berinisiatif mengajak Jeni ke Pantai Tanjung Putus yang bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Bagai gayung bersambut, Jeni menyetujui ide konyol Verry.

Pukul sebelas malam, mereka akhirnya sampai di pantai yang sepi penghuni. Namanya malam hari dan bukan hari besar, jelaslah pantai terkesan horor. Namun, beda bagi mereka.

Usai menitipkan motor di salah satu kedai, Verry dan Jeni berjalan menyusuri pantai sembari bergandeng tangan. Romantisnya melebihi pasangan halal. Kesenangan dunia membikin keduanya lupa diri dan menganggap hubungan itu sah. Tanpa memikirkan dosa, karma, juga hati yang sudah terluka karena perselingkuhan tersebut.

“Inget kan, Mas, pertama kali kita ketemu enam bulan lalu?” Jeni bertanya. Dengan bangga dia bergelayut di lengan Verry. Seolah lelaki bertato itu adalah miliknya. Mereka menaruh tas beserta jaket di gazebo, lalu berjalan lagi.

“Mas lupa, ingetnya cuma kejadian manis sebulan lalu. Persis kayak malam ini. Nggak terlalu banyak bintang, bulannya juga bulan sabit. Dalam remang-remang sorotan lampu kedai yang di sana, kita main ombak jam 12 malam. Nah, setelah kelamaan main, kamu kedinginan, terus ... terpaksa Mas menyelamatkan kamu dari hipotermia dengan cara itu.” Wajah bahagia Verry tak begitu terlihat nyata oleh Jeni karena minimnya penerangan.

“Ish, itu sih alibi Mas aja.”

“Ya Mas kan kasihan liat kamu menggigil, Sayang. Terpaksa Mas lakukan itu. Yuk.” Verry tak melanjutkan cerita, malah menarik tangan Jeni, membawa ke dalam gulungan ombak yang tidak terlalu tinggi.

Seakan ingin mengulang kejadian sebulan lalu, Verry sengaja mengajak Jeni bermain air. Padahal dia tahu kalau wanita itu gampang sekali kedinginan. Namun, bukannya menolak, Jeni justru seperti punya keinginan sama. Dia menikmati air laut malam yang sangat dingin, tanpa pusing dengan dirinya yang mudah hipotermia.

“Mas? Udah yuk, dingin banget. Rasanya tulangku kayak beku,” kata Jeni dengan bibir bergetar.

“Baru sebentar, Sayang, masa udahan? Nggak seru.”

“Lihat, badanku sudah menggigil. Aku nggak bisa jalan lagi karena tulangku rasanya kaku. Gendong aku ya, Mas.”

Namanya kucing dilempari ikan, sudah pasti mereka tangkap dan kuliti tanpa sisa.

Mereka menghabiskan malam panjang di tepi pantai. Pukul tiga dini hari, Verry meninggalkan Jeni untuk membeli sepotong pakaian di kedai yang buka 24 jam.

“Kamu pake ini, Sayang.” Verry menyerahkan mini dress untuk Jeni.

“Makasih, Mas.” Jeni langsung memakainya, lalu dia merogoh tas dan menghidupkan ponsel yang sejak sore dimatikan.

“Ngapain dihidupin?”

“Takut Isha nyariin, Mas.”

“Kamu itu lagi sama aku lho, Yang, ngapain mikirin dia? Oke, aku nggak masalah kamu masih pertahankan hubungan sama dia, tapi ... kalo lagi sama aku, jangan sekali-kali kamu sebut namanya.” Verry melempar pakaian basah ke arah Jeni, untunglah Jeni berhasil menghindar.

“Mas, maksudku bukan yang gimana-gimana. Aku cuma mau kasih kabar ke dia.” Jeni mengejar Verry yang pergi meninggalkannya.

“Terserah kamu aja. Sana pergi ke tunanganmu itu.” Verry menepis tangan Jeni.

“Mas, maafin aku. Aku ngaku salah dan nggak akan ngulangin lagi. Aku lebih cinta kamu Mas daripada Isha. Jangan tinggalin aku, Mas!” Jeni berlari sambil menangis, mengejar Verry yang berlari menjauh dan mengambil kendaraan.

Jeni menelepon Verry beberapa kali sampai akhirnya panggilan itu tersambung.

“Mas, aku takut di sini sendiri. Maafin aku, Mas. Jangan marah, ya.”

“Kalo masih nyebut nama dia di depan Mas, nggak cuma Mas tinggal di sini kamu, tapi juga Mas tinggal cari yang lain!” Verry menyeringai, lalu memasukkan ponsel ke saku celana.

Verry geleng-geleng lalu mengendarai motor untuk menjemput Jeni.

“Ah, emang susah kalo punya wajah tampan dan perkasa kayak aku. Cewek-cewek nempel semua nggak mau ditinggal. Ha-ha-ha.” 

diara_di

Ya, ampun! Udah nyebelin, ternyata Verry percaya diri banget lagi! Kira-kira, Fiani curiga gak dengan kelakuan suaminya ini?

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status