Di rumahnya, Reni tak tidur semalaman. Bocah kecil itu hanya menangis mencari ibunya. Baru sehari mengurus Reni, Darmi sudah uring-uringan. Bahkan, Reni dibiarkan sendiri.
“Pak, kamu gantian urusin cucumu itu. Capek aku gendong semalaman. Awas aja kalo anakmu nggak bisa bayar mahal. Ogah aku ngurus anak Fia lagi.”
“Sudah, urus aja Buk. Aku habis menang togel. Ini buat kamu 500, nanti kalo Verry pulang kamu pergilah senang-senang.”
“Mana cukup 500? Lihat, lingkar mataku hitam karena ngurus bocah itu. Ini sih cuma cukup buat ke salon.”
Ketika dua orang paruh baya itu sedang meributkan uang, Verry dengan pongahnya pulang. Tepat pukul lima pagi saat orang-orang sedang mendirikan Salat Subuh.
“Apa sih, Pak, Buk, pagi-pagi udah rebutan duit?” ucap Verry sambil melepas jaket.
“Kamu dari mana aja, Ver? Ibu capek ngurusin anakmu yang rewel dan nyusahin itu.”
“Ibumu minta bayar Ver, kasihlah dia duit. Biar dia gantian yang senang-senang, kamu kan sudah puas seharian nggak pulang.”
“Emang kamu dari mana, Ver?” tanya Darmi.
“Paling main cewek, Buk, ngapain lagi? Kayak nggak tau anakmu aja,” jawab Tono, ayah Verry dengan santai.
“Awas kamu ngabisin duit kayak bapakmu, Ver.”
“Mana ada aku rugi, Buk. Ibu minta transfer berapa? Tenang aja, aku lagi banyak duit.”
“Yang benar kamu. Ibu minta satu juta aja hari ini. Ya sudah, Ibu mau pulang, ngantuk, capek. Tuh urus anakmu. Kalo kamu nggak sanggup, bawa aja pacarmu ke sini, biar dia yang ngurusin Reni.”
Karena lelah menangis, Reni sampai tertidur sendiri. Kasihan sekali bocah mungil tak berdosa itu. Dia harus menelan pil pahit akibat keegoisan dan kebejatan sang Ayah. Usianya masih satu tahun lebih sedikit, belum mengerti apa pun urusan orang dewasa di sekelilingnya. Yang dia tahu hanya menangis saat merasa tak nyaman.
Bahkan semalaman, bocah itu hanya diberi teh manis oleh Darmi. Bagaimana tidak rewel? Jika biasanya dia nyaman dalam dekapan Fiani dengan perut kenyang, sekarang pelukan hangat itu tak didapat lagi. Perutnya juga kosong sebab Darmi hanya memberi makan roti semalam. Dalam tidurnya, gadis mungil itu sesekali mengigau.
Verry merebahkan tubuh di ranjang. Tangannya terulur mengepuk-ngepuk pantat Reni kala bocah itu terisak dalam igauan.
'Benar juga kata Ibu, ngurus anak pasti capek banget. Mana bisa aku ngurus bocah sendiri. Ah, sepertinya nanti coba kutawari Jeni untuk tinggal di sini.' Verry membatin.
Andai saja Fiani tahu kondisi anaknya yang memprihatinkan, pasti dia akan menangis sejadi-jadinya.
Baru saja ingin memejam, ponsel Verry berdering. Segera dia menjawab panggilan itu, takut Reni terusik dan bangun.
“Halo, Dek? Kenapa pagi-pagi udah telpon? Apa kamu udah sampe?” tanya Verry dengan suara parau yang dibuat-buat.
“Udah, jam lima tadi. Kamu masih tidur, Mas?”
“Boro-boro tidur, Dek, aku semalaman nggak tidur karena gendong Reni yang rewel. Ini baru tidur anak kita, aku juga mau tidur dah ngantuk banget, Dek. Di sini masih jam lima juga.”
“Jadi Reni rewel, Mas? Ya Allah, terus Mas kasih susu apa ke dia? Belikan susu formula yang bagus ya, Mas. Ya Allah, Reni ... aku kangen sama Reni, Mas.” Fiani kembali terisak.
“Wajar lho, Dek, ini hari pertama. Oh, ya, Dek, nanti kalo aku mulai kerja, gimana kalo cari orang untuk momong Reni? Biar Ibu nggak terlalu capek. Kasian kan dah tua.”
“Ya udah terserah kamu, Mas, aku percaya sama kamu.”
Setelah mengakhiri panggilan dengan kiss jauh, Verry kembali merebahkan tubuh.
Kepercayaan istri yang dibalas dengan kecurangan. Ada kalanya kita tetap waspada dengan orang terdekat sekalipun. Kenali pasangan dengan baik, agar tak ada kebohongan dalam rumah tangga.
***
Detik ke menit, lalu bergulir menjadi hari. Pekan demi pekan terlewati, hingga bulan berlalu menuju ke enam bulan pertama. Semua masih berjalan sewajarnya. Fiani tahu kalau Verry membayar seorang pekerja untuk membantu Darmi merawat Reni.
Selama enam bulan, Fiani berusaha mengumpulkan sisa-sisa pendapatan untuk membeli sebuah laptop agar bisa terhubung melalu video. Fiani sangat rindu pada gadis kecilnya. Namun, tindakannya dinilai berlebihan oleh Verry. Padahal, sebelum berangkat Verry pernah mengatakan jika Fiani perlu membeli laptop untuk mengurangi kerinduan padanya dan Reni.
Kini, Verry tengah meledak dalam panggilan telepon yang Fiani lakukan.
“Aku kan sudah bilang, jangan boros-boros, Dek? Apa kamu lupa? Gajimu aja kurang lho, Dek untuk mencukupi kebutuhan di rumah. Kamu pernah nyuruh aku beli susu terbaik untuk Reni, ya gara-gara itu, uangmu habis sia-sia. Aku harus kerja dari pagi ke malam untuk kebutuhan lain!”
Fiani terdiam. Otaknya berputar menghitung anggaran yang dia kirim setiap bulan. “Mas, Reni itu sudah doyan makan, masa iya uangnya habis untuk susu Reni? Aku kirim 7 juta lho, Mas. Untuk ukuran desa, uang segitu udah banyak banget dan cukup sebulan. Bahkan harusnya masih bisa nabung.”
“Kamu kira pengasuh Reni nggak butuh gaji? Ibu juga harus kita bagi, kan? Kamu enak tinggal ngitung, aku yang membagi sampe pusing kaya mau pecah.”
“Iya, Mas, aku tau. Coba nanti aku bukukan pengeluaran sebulan, biar kamu tinggal bagi aja. Kita nggak bisa boros-boros kan, Mas? Aku takut kerjaku nggak dapat apa-apa. Aku pengen punya tabungan untuk sekolah Reni, Mas.”
“Kamu mau mulai perhitungan sama keluarga? Iya?”
“Bukan gitu maksudku, Mas. Aku cuma ...”
Tuuut ...
Panggilan terputus. Niat hati ingin mengajak Verry skype, malah berujung pertengkaran.
“Rasanya nggak masuk akal kalo uang kirimanku itu kurang. Untung aja aku bohong ke Mas Verry soal gajiku. Ibu pasti nggak terima kalo dikasih 500 atau satu juta. Hhm, semoga Reni diurus dengan baik,” gumam Fiani yang berprasangka buruk pada Ibu mertuanya.
Pikiran Fiani memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak tepat. Sebab, Verry lah yang berperan dalam menghabiskan harta Fiani.
**
Verry menjatuhkan tubuh di sofa ruang tamu. Ponselnya dia letakkan cukup keras di meja kaca. Gurat marah terpancar dari sinar wajahnya, dia juga mulai uring-uringan akibat Fiani yang memotong sebagian uang kiriman untuk membeli laptop.
Dari kamar depan, Jeni keluar sambil menyisir rambut yang basah. Berdiri di tengah pintu kamar seraya menatap heran pada Verry.
“Mas kenapa sih, pagi-pagi udah emosi aja. Masih kurang?”
“Gara-gara Fia bodoh, moodku jadi buruk. Gila aja dia motong uang bulanan jadi lima juta.”
“Hah? Kok bisa? Terus kita mau makan apa coba, Mas, uang segitu cuma cukup untuk makan setengah bulan. Aku nggak bisa perawatan dong bulan ini?
“Mikirin perawatan, buat makan kita sama bagi ke Ibu aja pas-pasan. Mending kamu kerja aja sana.”
“Kok aku? Harusnya kan kamu, Mas. Aku tugasnya kan cuma melayani kamu.” Jeni mendekat, duduk di pangkuan Verry lalu merangkul kan tangan ke leher pria itu.
“Kalo gitu, kita bagi Ibu lima ratus aja.” Verry menyeringai, lalu hanyut dalam rayuan Jeni.
Gadis itu pun digendong menuju kamar depan. Bagaimana tidak boros? Mereka hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang tanpa mau bekerja. Semua urusan uang dilimpahkan pada Fiani. Reni yang dikatakan minum susu paling bagus, juga tidak mendapatkan haknya seperti kata Verry pada Fiani. Reni hanya diberi kental manis kaleng yang notabene minuman dewasa. Reni juga biasa makan sendiri. Mandi sehari sekali.
Kasihan sekali bocah kecil itu. Namun, untungnya bocah itu tidak pernah rewel. Verry menyediakan jajanan cukup banyak agar Reni tidak mengganggu aktivitasnya dengan Jeni.
“Daripada pusing mikirin Mbak Fia, lebih baik kita senang-senang kan, Mas?”
“Ya kamu juga harus kerja. Itung-itung untuk olahraga. Jangan cuma rebahan aja, lama-lama bisa melebar badanmu. Ini aja rasanya udah kurang enak, padahal kamu belum pernah melahirkan, lho.”
“Mas kok ngomongnya gitu? Aku gini juga karena Mas, lho.” Jeni merajuk, dia tidur membelakangi Verry.
Mereka melakukan dosa setiap hari – di rumah yang dibangun dari hasil keringat Fiani. Para tetangga tak pernah ada yang tahu akan keberadaan Jeni di rumah tersebut, sebab gadis itu hanya pergi dan kembali ketika orang-orang sudah berada di alam mimpi.
“Ver ... Verry! Ver,” panggil Darmi yang kemudian masuk begitu saja, menuntun sang cucu yang pakaiannya basah kuyup.
“Apa, sih, Buk? Pagi-pagi udah berisik aja,” sahut Verry dari dalam kamar.
“Gimana Ibu nggak berisik? Kamu itu, pagi-pagi masih aja main sama Jeni! Semalam ngapain aja kalian? Keluar!”
Bruk! Bruk! Darmi menggedor pintu kamar hingga Verry membuka dan menyembulkan kepala di celah pintu terbuka. “Apa, sih, Buk?”
“Dasar, anak sama Bapak sama aja. Nggak punya malu. Untung aja Bapak nggak doyan main perempuan,” gerutu Darmi.
“Nih, punya anak dibiarin main di luar sendiri. Coba jadi bapak yang waras dikit kamu, Ver. Ajari tuh si Jeni ngurus Reni. Emang kamu mau kalo Jeni jadi istrimu, tapi nggak bisa apa-apa. Masih mending Fia ngasilin duit, lah Jeni? Nguntungin kamu doang. Sekarang iya masih enak, bentaran paling kamu juga bosen, ganti lagi yang lain. Dah, buruan suruh gadis itu mandiin Reni!” Darmi mendorong Reni masuk kamar lewat celah pintu. Wanita paruh baya itu kemudian pergi meninggalkan cucunya.
“Ibu kamu mulutnya nggak pernah di sekolahin ya, Mas? Sembarangan aja kalo ngomong.”
“Sudah, buruan mandiin Reni. Aku mau cari sarapan.” Verry memakai pakaian lalu mengecup bibir Jeni sekilas.
Reni tiba-tiba menarik kaos Verry. “Ayah, ana? Itut.” Reni menangis.
“Reni mandi dulu sama Tante, ya? Ayah mau beli ayam untuk makan Reni. Ya?”
Gadis kecil itu masih menangis ingin ikut bersama sang Ayah. Namun, Verry tetap pergi. Tinggallah Reni bersama Jeni.
Setelah memastikan semuanya aman, Jeni menarik tangan mungil Reni ke kamar mandi. “Diem! Bisa diem nggak, sih? Anak nakal, diem nggak? Kalo nggak diem Tante cubit lagi. Mau?”
Kirain beneran baik, ternyata .... Ya ampun! Kapan Fiani balik dan selamatin Reni, ya?
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin