Dini hari, pukul empat pagi, Fiani terbangun dari tidur. Entah sudah kali keberapa dia menangis. Setelah menciumi seluruh wajah Reni, Fiani keluar kamar. Duduk sendiri di kursi makan.
Sendiri membikin Fiani banyak berandai-andai sesuatu yang tak akan pernah terjadi.
'Ya Allah, coba kalo Bapak sama Ibuk masih ada, pasti aku masih bisa minta solusi dari mereka.' Fiani menangisi nasibnya yang kurang beruntung.
Gadis malang yang kehilangan orang tua sejak usia lima tahun. Dia tak begitu ingat saat ayahnya meninggal akibat kecelakaan, dan ibunya depresi lalu ikut menyusul sebulan kemudian. Kala itu dia masih terlalu kecil untuk mengingat hal-hal yang terjadi. Sepeninggal orang tua, Fiani diasuh oleh Pakde dan budenya, saudara tunggal dari sang Ibu. Namun, Fiani kehilangan jejak mereka saat sepulang merantau. Kala itu, ternyata mereka sudah pindah karena rumah mereka disita oleh lintah darat.
Ada surat yang dititipkan pada tetangga, tepatnya pada orang tua Arsa. Sayang, karena terlalu lama, surat itu dimakan oleh rayap. Fiani pun tak putus asa, dia mencari keluarganya sesuai petunjuk dari tetangga. Nihil, mereka tak ada di alamat tersebut. Hingga saat ini Fiani tak lagi bisa bertukar kabar dengan Pakde dan budenya itu.
Maklum, di tahun 90'an mayoritas masyarakat belum memiliki ponsel. Termasuk Fiani.
“Dek, kamu ngapain bengong di sini?” Verry tiba-tiba datang dan merangkul pundak Fiani.
“Astagfirullah, Mas?” Fiani yang memang sedang melamun, sampai ter jingkat karena kaget.
“Maaf, Mas nggak maksud ngagetin kamu. Oh, iya, hari ini kamu nggak usah ngapa-ngapain, ya, biar kerjaan rumah Mas yang hendel. Kamu istirahat aja.” Verry mengecup pipi Fiani lalu beranjak ke kamar mandi.
Fiani hanya diam.
Meski tak biasa dengan peralatan dapur, tetapi Verry mencoba sebisa mungkin menyiapkan sarapan untuk anak dan istrinya. Satu jam kemudian, dua piring nasi goreng terhidang di meja makan. Juga semangkuk nasi telur mata sapi untuk Reni.
“Uluh-uluh, anak Ayah, mandi dulu yuk, habis itu kita makan bareng.”
“Biar aku yang mandiin Reni, Mas.”
Verry tetap mengambil alih Reni dari gendongan Fiani. “Sudah, kamu mandi aja, Dek. Nah, habis mandi kita sarapan, terus jam delapan kita ke rumah sakit ya, cek kesehatan kamu.”
Fiani hanya mendesah, lalu beranjak pergi.
* * *
Semua perlengkapan sudah beres. Pakaian pun telah dikemas oleh Verry. Tinggal menunggu beberapa jam lagi hingga waktu yang tak Fiani harapkan tiba.
Sudah pukul satu dini hari, tetapi mata Fiani masih enggan terpejam.
“Kamu kok belum tidur, Dek? Besok kan mau berangkat. Apa pengen nambah lagi?” Verry yang terbangun, lalu melingkarkan tangan ke perut Fiani yang tidur membelakanginya sambil terisak.
Fiani menggeleng. Dia sudah tak menikmati permainan Verry di tiga ronde tadi, bagaimana mau nambah? Hati Fiani serasa ditikam belati. Sakit, tapi ini tak berdarah. Baru dua tahun dia istirahat dan menikmati perannya sebagai istri sekaligus ibu, kini dia harus kembali meninggalkan Bumi Pertiwi untuk mengais rezeki di negara orang. Dituntut menopang kapal yang agak terguncang. Padahal dia bukan nakhoda dalam pelayaran. Namun,
Fiani berusaha ikhlas. Kalaupun dia mampu, apa pun akan dilakukan demi utuh dan cukupnya keluarga kecil yang dia punya.
“Tidur, Sayang, biar besok nggak kesiangan.” Verry mengecupi tengkuk leher Fiani.
“Tolong jaga Reni ya, Mas. Aku khawatir dia kekurangan kasih sayang, juga takut kalo pas aku pulang dia nggak ingat sama aku.”
“Bulan pertama gajian, kamu bisa beli laptop. Nanti kita telponan pake skype. Dia itu anakmu, mana mungkin nggak mau sama kamu. Ikatan batin ibu dan anak nggak segampang itu pudar, Dek. Cuma tiga tahun, setelah itu kita bisa hidup bahagia. Mas janji akan bekerja keras di sini. Demi kamu Dan Reni.”
Fiani mengangguk sambil terisak pelan.
Pagi hari, pukul tujuh. Fiani sudah siap diantar menuju rumah agensi. Perasaannya sebagai seorang ibu yang tak pernah berpisah dengan anak jelas sakit bukan main. Matanya sampai sembap akibat tak henti-hentinya menangis.
Darmi datang mengambil alih Reni dari gendongan Fiani.
“Reni sama Nenek, ya, Ibu mau cari uang banyak untuk sekolah Reni.”
Fiani tak bisa melepaskan jemarinya di genggaman Reni. “Ibu berangkat dulu ya, Sayang. Jangan rewel, nurut sama Ayah dan Nenek. Bu, Fia titip Reni, ya. Doakan Fia langsung terbang, dan bisa betah di sana.”
Darmi menarik tangan Reni dari pegangan Fiani. “Sudah, Reni pasti aman sama Ibu. Fokus saja sama kerjaan. Yang penting pas gajian jangan sampai lupa kirim untuk Reni. Takutnya kalo Ibu yang kasih makan dia, tiap hari bisa makan tempe doang. Tau sendiri Bapak kerjanya cuma lontang-lantung. Jadi Ibu nggak akan bisa ngasih Reni makanan bergizi. Kasian kan, nanti dia nggak pinter karena makan itu-itu saja.”
Hati Fiani semakin gamang. Namun, dia tak diberi pilihan lain. Mau ataupun tidak, dia tetap harus berangkat. Yang bisa Fiani lakukan hanya pasrah dan menitipkan Reni pada Sang Kuasa. Sebenarnya dia tak begitu yakin dengan Ibu mertuanya itu, sebab Darmi juga termasuk wanita malas. Sehari-hari wanita berusia 55 tahun itu hanya berias dan jalan-jalan. Entah, Fiani tak pernah tahu dan bertanya pada sang suami – ke mana dan apa kegiatan Darmi. Mereka hidup bergantung dengan pemberian anak-anaknya, Verry dan Irma – adik ipar Fiani yang tinggal di luar kota.
“Nanti pasti Fia kirim, Bu.”
“Ayo, Dek, udah ditunggu Beny.”
Fiani kembali memeluk Reni yang belum mengerti. Mencium seluruh wajah mungilnya. “Ibu tinggal ya, Nak. Fia pamit ya, Bu. Assalamualaikum.”
“Mam ... Ma. Mam ... Ma.” Reni menangis melepas kepergian Fiani.
Momen yang paling menyakitkan bagi Fiani ternyata saat berpisah dengan buah hati. Sesakit itu, lebih sakit daripada kehilangan Pakde – budenya. Mencoba kuat dengan tetap berjalan dan menatap ke arah depan. Fiani naik ke boncengan motor matic yang Verry kendarai.
“Kasihan Reni, Mas? Hiks-hiks, huu ... .”
“Karena belum terbiasa aja, Dek. Paling besok juga udah lupa anaknya.”
“Lupa?”
“Maksudnya nggak nyariin lagi. Bukan lupa punya Ibu. Nanti di sana jangan boros-boros lho, Dek. Inget, setelah beli keperluanmu, gajinya kirim semua. Biar aku yang kelola. Mungkin nanti kita bisa buka usaha lagi.”
Fiani tak menjawab penuturan Verry, karena dia terlalu sibuk memikirkan Reni. Namun, ketika Verry berbelok ke jalan terobosan, Fiani reflek memukul bahu Verry.“Mas, kok lewat sini? Putar balik, aku mau lewat depan dealer kita.”
“Ngapain lagi lho, Dek?” Verry mengabaikan permintaan Fiani.
Akan tetapi, Fiani tetap kekeh meminta Verry putar balik. Dia mengancam tidak akan jadi berangkat kalau Verry tak mengikuti kemauannya.
“Apa susahnya sih putar balik, Mas? Aku mau lihat secara nyata dealer itu sekarang dipegang siapa.”
“Ya sudah, putar balik, tapi sebentar, aku kirim SMS ke Beny dulu. Biar ditunggu.”
Fiani setuju.
Dari jarak dua puluh meter, Fiani melihat seorang wanita menutup pintu dealer dan merasa bingung. Namun, dia segera menampiknya begitu menyadari kecepatan kendaraan yang begitu lambat.
“Kok kamu jalannya jadi pelan banget sih, Mas? Agak ngebut. Itu siapa yang nutup dealer.”
“Iya, iya,” balas Verry ketus.
Sesampainya di depan dealer, ternyata benar ada wanita muda yang terlihat menggembok dealer. Dia berlari masuk ke mobil hitam, lalu melaju kencang seperti tahu kedatangan Fiani dan Verry.
“Kan, dia kabur gara-gara kamu lambat bawa motornya, Mas! Coba tadi agak ngebut, pasti ketangkap tuh. Sebentar, kok, aku kaya kenal dia ya, aku jadi curiga.”
“Curiga apa, Dek? Kamu jangan asal nuduh. Buat apa lagi ngejar-ngejar sesuatu yang sudah jadi hak orang lain, Dek.”
Loh, Verry kok marah? Padahal, Fiani kan biasa aja, ya... Kira-kira, ada sesuatu yang disembunyiin Verry gak, sih?
Nada ketus Verry sontak membuat Fiani bingung. “Loh? Itu masih hak kita, Mas! Dealer itu direbut lho, kalo kamu lupa. Kamu terlalu polos apa terlalu baik sih, Mas? Makanya Arsa gampang banget ngambil punya kita," ucap Fiani sembari berpikir, "Ah, iya, cewek tadi bukannya Tina, ya? Sekarang aku percaya, Mas. Berarti beneran Arsa bermuka dua, di depan dia baik, di belakang dia menusukku. Dia pasti kerja sama dengan Tina ya, Mas! Pokoknya, aku nggak terima, Mas.”“Ya begitu temanmu, Dek. Mas aja yang selalu nutupin keburukannya. Kamu terlalu percaya sama dia. Sekarang nggak usah mikirin itu lagi. Rejeki yang hilang pasti ada gantinya. Kamu fokus kerja.” Verry berhenti di depan rumah berlantai tiga.Setelah menempuh perjalanan empat puluh lima menit, mereka sampai di kediaman Beny. Lelaki berkulit putih dengan mata sipit, langsung menyambut kedatangan Verry dengan ramah. “Ini istrimu, Ver?”“Iya, Ben. Jadwal terbang jam berapa?”“Malam, Ver. Ini nanti langsung berangkat ke Jakarta dulu.
Di rumahnya, Reni tak tidur semalaman. Bocah kecil itu hanya menangis mencari ibunya. Baru sehari mengurus Reni, Darmi sudah uring-uringan. Bahkan, Reni dibiarkan sendiri. “Pak, kamu gantian urusin cucumu itu. Capek aku gendong semalaman. Awas aja kalo anakmu nggak bisa bayar mahal. Ogah aku ngurus anak Fia lagi.”“Sudah, urus aja Buk. Aku habis menang togel. Ini buat kamu 500, nanti kalo Verry pulang kamu pergilah senang-senang.”“Mana cukup 500? Lihat, lingkar mataku hitam karena ngurus bocah itu. Ini sih cuma cukup buat ke salon.”Ketika dua orang paruh baya itu sedang meributkan uang, Verry dengan pongahnya pulang. Tepat pukul lima pagi saat orang-orang sedang mendirikan Salat Subuh.“Apa sih, Pak, Buk, pagi-pagi udah rebutan duit?” ucap Verry sambil melepas jaket.“Kamu dari mana aja, Ver? Ibu capek ngurusin anakmu yang rewel dan nyusahin itu.”“Ibumu minta bayar Ver, kasihlah dia duit. Biar dia gantian yang senang-senang, kamu kan sudah puas seharian nggak pulang.”“Emang kamu
“Diam! Bisa diam nggak, sih? Anak nakal, diam nggak? Kalo nggak diam Tante cubit lagi. Mau?” Jeni menarik tangan mungil Reni ke kamar mandi.Reni meredamkan suara cemprengnya. Bocah itu sesenggukan karena tangisnya membikin kulit-kulitnya membiru. Namun, bocah itu pandai juga meski akalnya belum sempurna. Dia selalu mengangguk kala Jeni mengomel, dan ... ketika Jeni lengah, dia berlari keluar rumah tanpa pakaian.“Ante atan ... hu-hu-hu, Ante atan! Nek ... Ante atan!” Reni terus meraung sambil mengatakan kalimat balita. Tidak semua orang mengerti makna kalimat tersebut, tetapi setidaknya banyak orang peduli.Kebetulan pagi itu banyak ibu rumpi sedang jajan sayuran di warung depan rumah Verry. Otomatis semua orang berlari mengejar Reni. Meski tujuan Reni tidak terlalu jauh, tetapi bagi balita sekecil itu sangat berisiko kala berlarian sendiri di jalanan ramai.“Ya Allah ... Reni ... Nak! Eh, kenapa Reni nggak pake baju?” tanya seorang ibu muda saat berhasil menangkap Reni.“Enek ... An
“Bagaimana para saksi? Sah?”“Sah!”Ijab kabul itu dinyatakan sah secara agama usai Verry menjabat tangan tokoh agama di desanya. Jeni menangisi nasibnya. Dia bingung harus bahagia atau bersedih.Ada senang, tetapi lebih banyak ketar-ketirnya. Jeni memang menginginkan sebuah pernikahan. Namun, bukan diawali pernikahan tersembunyi seperti yang tengah diadakan di rumah Verry dan Fiani.“Makanya jangan kumpul kebo kalau nggak mau dipermalukan! Masih untung kami nggak memaksamu mendatangkan keluarga ke sini, kalau iya ... uh, apa nggak tambah runyam hidup kamu,” ucap Bu Ruminah dengan nada sinis.“Dasar perempuan gatal,” sahut Bu Nindi.Selesai menikahkan Verry, warga pulang berjamaah. Pernikahan siri itu tidak dihadiri oleh orang tua Verry. Darmi dan Tono menganggap kelakuan Verry hal lumrah. Mereka juga enggan direpotkan dengan urusan menjadi saksi atau apalah.Verry meremas kertas pernyataan pernikahan siri tersebut. Lalu melemparnya ke wajah Jeni. “Pagi-pagi ... sudah bikin ulah! Kamu
"Ya Allah ... " Tangannya gemetar, dia menekan tombol telepon.Seseorang di seberang langsung mengadukan kejadian menyedihkan. “Fi ... ini lho, Reni jalan sendiri sampai perempatan dusun 5. Untung saja tetanggaku ada yang sedikit ingat kalau Reni ini ponakanku. Coba kamu telepon Verry, tadi aku antar ke sana, tapi rumah kosong, tempat Buklek Darmi juga tutup.”“Ya Allah, Mbak ... Reni sampai dusun 5? Astagfirullah. Fia juga sudah empat hari menghubungi Mas Verry, tapi belum dibalas, telepon nggak diangkat. Tolong jaga Reni dulu ya, Mbak, Fia coba telepon Mas Verry dulu. Terima kasih banyak ya, Mbak. Sekali lagi terima kasih.”“Jangan seperti itu, Fi, kita ini saudara. Ya sudah kamu telepon ... eh, sebentar ... sudah, Fi. Itu, Verry datang.”Marah, sedih, murka, semua bercampur aduk seperti air bergejolak dalam kemasan samudera. Namun, ledakan amarah harus ditahan dalam-dalam oleh Fiani, karena waktu istirahatnya tidak akan cukup jika digunakan untuk mengomel pada Verry.Usai menyudahi
Seminggu berlalu dari kejadian Reni pergi sendiri dari rumah. Sudah tanggal delapan, tetapi Fiani menahan diri untuk tidak buru-buru mengirim uang bulanan. Dia berusaha kuat, dan terus berdoa pada Sang Kuasa agar Reni selalu dilindungi.Saat itu Fiani marah besar pada Verry, tetapi lelaki itu justru malah menantang Fiani untuk tidak menafkahi sang anak.“Ya Allah ... maafkan aku, semoga Mas Verry nggak menelantarkan Reni. Orang tua kayak Ibu sama Bapak memang agak ngeri. Pasti Mas Verry selalu dibujuk untuk foya-foya pakai uang kirimanku. Hufh, astagfirullah ... mau bagaimanapun mereka tetap mertuaku. Sabar, Fi ... sabar.” Fiani menenangkan dirinya sendiri.Dia sedang mengetikkan pesan untuk dikirim ke Verry. Ingin sekali mengalah, tetapi tampak sangat lemah jika Fiani terus-terusan mengalah. Dia cuma mau bertanya keadaan Reni, bukan menyinggung perihal uang. Bersikap masa bodo pada suami adalah hal menyakitkan bagi Fiani.Ting! Satu balasan masuk.[Pakai skype-mu sekarang. Lihat anak
Fiani masih menatap laptop di depannya, dia mulai khawatir dengan sang mertua yang kerap mengganggu rumah tangganya. Dia juga kasihan pada Verry, harus menggantikan perannya mengurus Reni. Di saat seperti itu, ingin sekali dia punya kantong ajaib, dan pulang ke Indonesia dalam kedipan mata.Air matanya menetes lagi ketika bayangan Reni begitu lahap makan mi instan. Bocah itu tampak seperti anak kurang makan.“Ya Allah, amit-amit. Jangan sampe Reni kekurangan, apalagi kurang makan,” gumam Fiani. Dia langsung menyambar ponsel, lalu mengirim uang melalui SMS ke rekening Verry. Alhamdulillah, sudah dari seminggu lalu Fiani memutasi uangnya ke tabungan Indonesia.Ketika hendak menutup laptop, Fiani malah ingat Arsa. Walaupun mengantuk, dia tetap berkutat di sana. Dia membuka tautan Yahoo untuk berkirim surat elektronik ke Arsa. Tidak ada lagi cara lain, harapannya Arsa sedang bekerja, dan bisa cepat membalas emailnya. Bak pelangi setelah hujan, Fiani masih punya harapan, email ke Arsa terk
Sejak dituding sebagai pelaku kecurangan, Arsa mulai mawas diri. Sibuk membikin dia banyak kehilangan informasi. Semua dilakukan demi meraup rupiah agar bisa menikahi Tina. Namun, dari pertemuannya seminggu lalu, Arsa agak ragu.Dia sudah berjanji pada Fiani akan mengumpulkan bukti-bukti dalam kasus itu. Arsa akan kesampingkan persiapan pernikahannya dulu. Sasaran utama adalah Verry, suami dari Fiani. Bisa-bisanya Arsa yang tidak tahu apa-apa menjadi kambing hitam.Hari itu, Arsa sengaja bekerja setengah hari, lalu dia bertukar mobil dengan Bob Ali sepupunya. Arsa menceritakan detail masalah penggelapan itu. Aura tampan di wajahnya berubah suram, rasa tidak terima difitnah melukai hatinya. Padahal Arsa tengah berusaha berpikir positif pada suami Fiani. Kenyataannya, Verry tetap menjadi Verry. Arsa tahu bagaimana orang-orang menjuluki Verry dengan versi mereka masing-masing.“Wah, ini sudah masuk kasus penggelapan, Ar. Kita harus melaporkan ke polisi. Aku bisa bantu kamu untuk urus sem