Share

Tiga

Dini hari, pukul empat pagi, Fiani terbangun dari tidur. Entah sudah kali keberapa dia menangis. Setelah menciumi seluruh wajah Reni, Fiani keluar kamar. Duduk sendiri di kursi makan.
Sendiri membikin Fiani banyak berandai-andai sesuatu yang tak akan pernah terjadi.

'Ya Allah, coba kalo Bapak sama Ibuk masih ada, pasti aku masih bisa minta solusi dari mereka.' Fiani menangisi nasibnya yang kurang beruntung.


Gadis malang yang kehilangan orang tua sejak usia lima tahun. Dia tak begitu ingat saat ayahnya meninggal akibat kecelakaan, dan ibunya depresi lalu ikut menyusul sebulan kemudian. Kala itu dia masih terlalu kecil untuk mengingat hal-hal yang terjadi. Sepeninggal orang tua, Fiani diasuh oleh Pakde dan budenya, saudara tunggal dari sang Ibu. Namun, Fiani kehilangan jejak mereka saat sepulang merantau. Kala itu, ternyata mereka sudah pindah karena rumah mereka disita oleh lintah darat.


Ada surat yang dititipkan pada tetangga, tepatnya pada orang tua Arsa. Sayang, karena terlalu lama, surat itu dimakan oleh rayap. Fiani pun tak putus asa, dia mencari keluarganya sesuai petunjuk dari tetangga. Nihil, mereka tak ada di alamat tersebut. Hingga saat ini Fiani tak lagi bisa bertukar kabar dengan Pakde dan budenya itu.


Maklum, di tahun 90'an mayoritas masyarakat belum memiliki ponsel. Termasuk Fiani.


“Dek, kamu ngapain bengong di sini?” Verry tiba-tiba datang dan merangkul pundak Fiani.


“Astagfirullah, Mas?” Fiani yang memang sedang melamun, sampai ter jingkat karena kaget.


“Maaf, Mas nggak maksud ngagetin kamu. Oh, iya, hari ini kamu nggak usah ngapa-ngapain, ya, biar kerjaan rumah Mas yang hendel. Kamu istirahat aja.” Verry mengecup pipi Fiani lalu beranjak ke kamar mandi.


Fiani hanya diam.


Meski tak biasa dengan peralatan dapur, tetapi Verry mencoba sebisa mungkin menyiapkan sarapan untuk anak dan istrinya. Satu jam kemudian, dua piring nasi goreng terhidang di meja makan. Juga semangkuk nasi telur mata sapi untuk Reni.


“Uluh-uluh, anak Ayah, mandi dulu yuk, habis itu kita makan bareng.”


“Biar aku yang mandiin Reni, Mas.”


Verry tetap mengambil alih Reni dari gendongan Fiani. “Sudah, kamu mandi aja, Dek. Nah, habis mandi kita sarapan, terus jam delapan kita ke rumah sakit ya, cek kesehatan kamu.”


Fiani hanya mendesah, lalu beranjak pergi.


* * *

Semua perlengkapan sudah beres. Pakaian pun telah dikemas oleh Verry. Tinggal menunggu beberapa jam lagi hingga waktu yang tak Fiani harapkan tiba.

Sudah pukul satu dini hari, tetapi mata Fiani masih enggan terpejam.

“Kamu kok belum tidur, Dek? Besok kan mau berangkat. Apa pengen nambah lagi?” Verry yang terbangun, lalu melingkarkan tangan ke perut Fiani yang tidur membelakanginya sambil terisak.

Fiani menggeleng. Dia sudah tak menikmati permainan Verry di tiga ronde tadi, bagaimana mau nambah? Hati Fiani serasa ditikam belati. Sakit, tapi ini tak berdarah. Baru dua tahun dia istirahat dan menikmati perannya sebagai istri sekaligus ibu, kini dia harus kembali meninggalkan Bumi Pertiwi untuk mengais rezeki di negara orang. Dituntut menopang kapal yang agak terguncang. Padahal dia bukan nakhoda dalam pelayaran. Namun,

Fiani berusaha ikhlas. Kalaupun dia mampu, apa pun akan dilakukan demi utuh dan cukupnya keluarga kecil yang dia punya.

“Tidur, Sayang, biar besok nggak kesiangan.” Verry mengecupi tengkuk leher Fiani.

“Tolong jaga Reni ya, Mas. Aku khawatir dia kekurangan kasih sayang, juga takut kalo pas aku pulang dia nggak ingat sama aku.”

“Bulan pertama gajian, kamu bisa beli laptop. Nanti kita telponan pake skype. Dia itu anakmu, mana mungkin nggak mau sama kamu. Ikatan batin ibu dan anak nggak segampang itu pudar, Dek. Cuma tiga tahun, setelah itu kita bisa hidup bahagia. Mas janji akan bekerja keras di sini. Demi kamu Dan Reni.”

Fiani mengangguk sambil terisak pelan.

Pagi hari, pukul tujuh. Fiani sudah siap diantar menuju rumah agensi. Perasaannya sebagai seorang ibu yang tak pernah berpisah dengan anak jelas sakit bukan main. Matanya sampai sembap akibat tak henti-hentinya menangis.

Darmi datang mengambil alih Reni dari gendongan Fiani.

“Reni sama Nenek, ya, Ibu mau cari uang banyak untuk sekolah Reni.”

Fiani tak bisa melepaskan jemarinya di genggaman Reni. “Ibu berangkat dulu ya, Sayang. Jangan rewel, nurut sama Ayah dan Nenek. Bu, Fia titip Reni, ya. Doakan Fia langsung terbang, dan bisa betah di sana.”

Darmi menarik tangan Reni dari pegangan Fiani. “Sudah, Reni pasti aman sama Ibu. Fokus saja sama kerjaan. Yang penting pas gajian jangan sampai lupa kirim untuk Reni. Takutnya kalo Ibu yang kasih makan dia, tiap hari bisa makan tempe doang. Tau sendiri Bapak kerjanya cuma lontang-lantung. Jadi Ibu nggak akan bisa ngasih Reni makanan bergizi. Kasian kan, nanti dia nggak pinter karena makan itu-itu saja.”

Hati Fiani semakin gamang. Namun, dia tak diberi pilihan lain. Mau ataupun tidak, dia tetap harus berangkat. Yang bisa Fiani lakukan hanya pasrah dan menitipkan Reni pada Sang Kuasa. Sebenarnya dia tak begitu yakin dengan Ibu mertuanya itu, sebab Darmi juga termasuk wanita malas. Sehari-hari wanita berusia 55 tahun itu hanya berias dan jalan-jalan. Entah, Fiani tak pernah tahu dan bertanya pada sang suami – ke mana dan apa kegiatan Darmi. Mereka hidup bergantung dengan pemberian anak-anaknya, Verry dan Irma – adik ipar Fiani yang tinggal di luar kota.

“Nanti pasti Fia kirim, Bu.”

“Ayo, Dek, udah ditunggu Beny.”

Fiani kembali memeluk Reni yang belum mengerti. Mencium seluruh wajah mungilnya. “Ibu tinggal ya, Nak. Fia pamit ya, Bu. Assalamualaikum.”

“Mam ... Ma. Mam ... Ma.” Reni menangis melepas kepergian Fiani.

Momen yang paling menyakitkan bagi Fiani ternyata saat berpisah dengan buah hati. Sesakit itu, lebih sakit daripada kehilangan Pakde – budenya. Mencoba kuat dengan tetap berjalan dan menatap ke arah depan. Fiani naik ke boncengan motor matic yang Verry kendarai.

“Kasihan Reni, Mas? Hiks-hiks, huu ... .”

“Karena belum terbiasa aja, Dek. Paling besok juga udah lupa anaknya.”

“Lupa?”

“Maksudnya nggak nyariin lagi. Bukan lupa punya Ibu. Nanti di sana jangan boros-boros lho, Dek. Inget, setelah beli keperluanmu, gajinya kirim semua. Biar aku yang kelola. Mungkin nanti kita bisa buka usaha lagi.”

Fiani tak menjawab penuturan Verry, karena dia terlalu sibuk memikirkan Reni. Namun, ketika Verry berbelok ke jalan terobosan, Fiani reflek memukul bahu Verry.

“Mas, kok lewat sini? Putar balik, aku mau lewat depan dealer kita.”

“Ngapain lagi lho, Dek?” Verry mengabaikan permintaan Fiani.

Akan tetapi, Fiani tetap kekeh meminta Verry putar balik. Dia mengancam tidak akan jadi berangkat kalau Verry tak mengikuti kemauannya.

“Apa susahnya sih putar balik, Mas? Aku mau lihat secara nyata dealer itu sekarang dipegang siapa.”

“Ya sudah, putar balik, tapi sebentar, aku kirim SMS ke Beny dulu. Biar ditunggu.”

Fiani setuju.

Dari jarak dua puluh meter, Fiani melihat seorang wanita menutup pintu dealer dan merasa bingung. Namun, dia segera menampiknya begitu menyadari kecepatan kendaraan yang begitu lambat.

“Kok kamu jalannya jadi pelan banget sih, Mas? Agak ngebut. Itu siapa yang nutup dealer.”

“Iya, iya,” balas Verry ketus.

Sesampainya di depan dealer, ternyata benar ada wanita muda yang terlihat menggembok dealer. Dia berlari masuk ke mobil hitam, lalu melaju kencang seperti tahu kedatangan Fiani dan Verry.

“Kan, dia kabur gara-gara kamu lambat bawa motornya, Mas! Coba tadi agak ngebut, pasti ketangkap tuh. Sebentar, kok, aku kaya kenal dia ya, aku jadi curiga.”

“Curiga apa, Dek? Kamu jangan asal nuduh. Buat apa lagi ngejar-ngejar sesuatu yang sudah jadi hak orang lain, Dek.”

diara_di

Loh, Verry kok marah? Padahal, Fiani kan biasa aja, ya... Kira-kira, ada sesuatu yang disembunyiin Verry gak, sih?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status