Peristiwa penculikan Radin sore itu membuat Rania nyaris tak bisa tidur. Ia merasa takut, karena ternyata kehidupan Radin tampaknya dikelilingi bahaya yang tak terduga.
Tak terbayangkan apa jadinya jika Rania mengikuti pria itu ke mana-mana. Bisa jadi, dia juga terdampak bahaya yang mengintai Radin. Haruskan ia mengundurkan diri agar tidak perlu berurusan dengan bahaya yang mengincar atasannya? Lagipula, penunjukan diri Rania sebagai asisten pribadi yang baru terkesan dipaksakan. Rania merasa dirinya untuk pantas curiga. Ada apa gerangan? Reza juga belum memberi kabar, apakah Rania jadi masuk kerja mulai besok atau tidak. Rania memang sudah menerima fasilitas berupa berbagai gawai penunjang pekerjaannya. Namun jika nasib Radin saja belum diketahui, siapa yang akan Rania layani besok? Apakah ia harus menunggu saja di kantor hingga menerima kabar mengenai keberadaan Radin? Rania bangun dari tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Rona, putrinya yang berusia tujuh tahun. Gadis kecil itu sempat menggeliat, namun tetap tertidur. Rania menunggu hingga Rona menjadi tenang kembali, lalu turun dari tempat tidur. Rania keluar dari kamar kontrakannya untuk mengambil air minum di dapur. Setelah dahaganya lenyap, ia beranjak ke ruang tamu untuk memeriksa ponsel yang diberikan oleh Reza sebelumnya. Ternyata, Reza sudah mengirimkan jadwal Radin untuk esok harinya. Ada juga jadwal mingguan dan bulanan dan beberapa catatan dan salinan dokumen yang diperlukan. Rania tercengang. Apakah Radin sudah ditemukan? Jika memang sudah ditemukan, apakah wajar jika langsung masuk kantor setelah menjadi korban kejahatan? Rania bergidik. Atasannya itu mungkin saja seorang maniak kerja. Atau, seorang psikotik? Sehingga, dengan santainya kembali bekerja setelah mengalami peristiwa yang seharusnya traumatis? Ah, pikiran Rania malah semakin bertumpuk. *** Fasilitas yang diberikan oleh tempat kerja Rania yang baru membuat Rania memikirkan ulang keinginan untuk mengundurkan diri. Pagi-pagi sekali, ia dijemput menggunakan mobil perusahaan. Rona pun diantar ke sekolah terlebih dahulu sebelum mobil melaju ke apartemen Radin. Rania jadi tidak perlu menggunakan sepeda motornya sama sekali. Tiba di gedung apartemen, Rania langsung naik ke lantai di mana Radin tinggal. Saat pintu lift terbuka, Rania ternyata langsung tiba di kediaman Radin. Rania melihat tiga orang pekerja hilir mudik di sana. Seorang wanita tampak membersihkan seluruh apartemen, seorang lagi mengerjakan laundry dan seorang lagi tengah memasak sekaligus menata meja makan. “Pak Radin sedang latihan di gym, Bu. Tidak lama lagi selesai. Kamar Pak Radin ada di sebelah sana,” ujar wanita yang membersihkan apartemen sambil menunjuk ke sebelah kanan, tempat kamar utama berada. Rania tersentak. Yang benar saja, jadi atasannya itu sudah ditemukan? Lalu langsung bekerja, padahal dia baru saja diculik? Bagaimana dengan pengamanan oleh aparat kepolisian? Rania tidak melihat tanda-tanda hadirnya aparat berwenang di apartemen. Apakah insiden kemarin hanyalah peristiwa kecil di tengah keseharian Radin? Siapa dia sebenarnya selain menjadi seorang CEO perusahaan ritel nasional? Rania menggeleng-geleng, terlalu bingung usai menerka-nerka kehidupan atasan barunya. Wanita pekerja di hadapannya tampak kebingungan melihat sikapnya, sehingga Rania tak ingin membuatnya berpikiran aneh-aneh tentang diri Rania. Rania mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan menuju ke kamar Radin yang sudah dibersihkan dan dirapikan. Ia membuka lemari, lalu memilih setelan jas dan kemeja serta tak lupa, dasi dan kaus kaki. Pakaian-pakaian itu diletakkan di atas ranjang besar di sana. Rania juga memilih sepasang sepatu kulit berwarna cokelat yang baunya khas. Hari ini Radin tidak memiliki acara formal di luar kantor sehingga pakaian yang Rania pilihkan lebih santai dan berwarna. Meskipun sudah bercerai dengan Rinto, Rania bersyukur karena pengalamannya mendampingi Rinto dalam mengurus konglomerasi warisan ayah Rinto, telah membuatnya memahami sebagian besar tugasnya. Rania bahkan menyesal karena selama membantu Rinto, ia tidak pernah menuntut untuk dibayar atau diberikan bagi hasil dalam bentuk apa pun. Rinto memang memberikannya hadiah-hadiah mahal seperti kalung emas berlian, pakaian-pakaian terbaik dan kesempatan berlibur ke berbagai negara. Namun sekarang, setelah Rania meninggalkan rumah mantan suaminya, ia hanya memiliki sedikit uang untuk menyewa kontrakan satu kamar dan sebuah sepeda motor sebagai alat transportasi. Selebihnya dirampas oleh mantan mertua yang sejak awal tidak menyetujui masuknya Rania dalam kehidupan Rinto. Parahnya, Rinto mendiamkan tindakan orang tuanya tersebut. Rinto sama sekali tidak membelanya saat Rania terusir. Barangkali, pria itu memang sudah lama menunggu agar Rania menyingkir dari kehidupannya. Apalagi, sebelum menceraikan Rania, tersiar kabar bahwa istri kedua Rinto telah melahirkan seorang anak laki-laki yang menjadi dambaan keluarga Rinto. Sehingga Rona mungkin tidak diperlukan lagi untuk mewarisi kekayaan keluarga Rinto. Rania menarik napas dalam, menenangkan dirinya. Bayangan masa lalu yang pahit harus ia usir jauh-jauh. Ia mulai menyetujui pendapat Reza bahwa sebelumnya, dirinya terlalu merendah, menganggap remeh kemampuannya. Tinggal terlalu lama di dalam lingkungan yang tidak menghargainya rupanya telah membuat Rania tidak bisa menilai kelebihan dan kekuatan dirinya sendiri. “Ehm. Saya mau mandi dan berpakaian. Kamu mau menunggu di luar atau tetap di sini dan melihat saya telanjang?” Rania terperanjat mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada usil itu. Saat berbalik, ia terperangah melihat Radin—pria yang baru saja diculik kemarin sore—telah berdiri di ambang pintu. Mengenakan kaus dan celana yang basah oleh keringat, Radin tampak sama berantakannya dengan kemarin sore dengan rambut yang awut-awutan. Namun, bukan hanya penampilan Radin yang membuat Rania terperangah. Bukan, Radin bukanlah tipe CEO dingin sombong judes yang umum ditemukan dalam cerita-cerita romansa. Sebaliknya, dia tampak ramah dan agak konyol dengan cengiran lebar di bibirnya. Sama sekali tidak menakutkan. Juga tidak berwibawa. Sesungguhnya, apa yang membuat Rania terpana adalah munculnya sekelebat bayangan masa lalu saat matanya tidak sengaja menatap mata Radin. Seraut wajah hadir di benak Rania yang masih terkejut, namun ia tidak bisa mengingat nama dari pemilik wajah itu. Rania merasa tidak pernah mengenal pemilik wajah yang diingatnya itu. Apakah Rania hanya melihat wajah itu di suatu tempat, lalu melupakannya begitu saja? Namun kini, saat tatapannya bertemu dengan tatapan sang atasan, wajah tersebut tiba-tiba muncul lagi. Barangkali seperti itu. Hal lain yang membuat Rania semakin bertanya-tanya adalah, mengapa matanya memanas dan berkaca-kaca? Apa yang membuatnya tiba-tiba bersedih saat mengingat wajah asing itu? Jika wajah tersebut memang asing baginya, mengapa hatinya menjadi perih tanpa sebab? Rania sadar, ia tidak boleh tampak aneh pada hari pertamanya bekerja. Meskipun atasannya tampaknya memiliki sifat yang tidak lazim, tidak berarti Rania harus ikut-ikutan unik. Rania buru-buru mengusap matanya, lalu berjalan ke luar kamar. “Maaf, Pak. Saya keluar dulu,” katanya saat melewati Radin yang memberikan jalan. Radin hanya mengerutkan keningnya sambil menatap kepergian Rania. Ia mengembuskan napas keras, lalu menutup pintu kamar.Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd