Tiga belas tahun yang lalu.
Rania setengah berlari menyusuri jalan setapak di belakang warung milik keluarganya. Orang tuanya sedang sibuk melayani pembeli siang itu. Jadi gadis delapan belas tahun itu punya kesempatan untuk kabur sejenak demi menemui Rais sekaligus melepas kepergiannya. Ah, Rais. Mengingat wajahnya saja sudah membuat senyuman Rania mengembang. Berpacaran sejak duduk di kelas dua SMA hingga lulus, Rania hanya melihat Rais-nya sebagai laki-laki yang sempurna. Pria yang kelak akan menikahinya, apapun yang terjadi. Setelah belok ke kiri di sebuah pertigaan, Rania akhirnya bisa melihat kekasihnya sedang menunggu di bawah sebuah pohon. Senyuman Rania semakin mengembang. Rais yang juga sudah melihat Rania, menghampiri bekas teman sekolah yang lebih muda satu tahun itu. Rania tertawa, lalu buru-buru mengibaskan tangan, mengusir Rais agar kembali ke tempatnya berteduh. “Panas!” kata Rania ketika ia akhirnya sampai di depan Rais. Rais tersenyum. Dia tidak mengatakan apa-apa, namun mengipasi Rania dengan kopiah yang sebelumnya ia kenakan. Kopiah lusuh warisan ayahnya yang sudah meninggal dunia sepuluh tahun lalu. Rania menikmati semilir angin dari ayunan kopiah tua Rais. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, lalu merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah ponsel lama dan menyodorkannya pada Rais. “Ini,” kata Rania, “kamu pasti membutuhkannya di sana.” Rais tertegun menatap ponsel tanpa kamera tersebut. Ia lalu menggeleng pelan. “Aku bisa pinjam ponsel Rustam dulu. Kalau sudah digaji, aku akan membeli ponselku sendiri,” tolak Rais halus. “Tidak. Ambil ini. Kembalikan dua tahun lagi bersama hantaran dan mahar darimu,” Rania balas menolak dengan lebih keras. “Tapi…” “Ayolah, jangan gengsi, dong! Aku mau menghubungimu kapan pun aku mau. Setelah jam kerjamu selesai, tentu saja,” tukas Rania. Rais tertegun lagi. Ia menatap ponsel di tangan Rania agak lama, kemudian mengambil dan memasukkannya ke tas yang dibawanya. “Nah, begitu, dong. Jadi aku bisa tahu kabarmu selama bekerja di sana. Pokoknya, dua tahun lagi kembalikan, ya. Sekalian dengan hantaran dan maharnya,” cerocos Rania dengan hati senang. “Iya. Pasti.” Rania menatap Rais lagi. Di luar sana, masih banyak pria yang lebih tampan dan jelas lebih berada daripada Rais yang kini sebatang kara. Namun, sejak mereka berdua duduk di bangku SMP, hanya Rais yang menarik hatinya. Rais bukanlah cowok ganteng dengan kulit putih bersih dan wangi semerbak. Dia tidak tampan, namun tidak jelek juga. Kulitnya kecokelatan karena terlalu banyak bekerja di bawah paparan sinar matahari. Tubuhnya termasuk tinggi dan kekar untuk ukuran remaja, buah dari tuntutan bekerja keras sejak kecil untuk menghidupi ibu dan neneknya selama sepuluh tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, Rais mengambil alih tanggung jawab menghidupi ibunya yang sakit-sakitan dan neneknya. Rais yang baru berusia delapan tahun kala itu, menjadi buruh tani dengan upah seadanya demi memberi makan keluarga kecilnya. Rais sempat putus sekolah selama satu tahun sebelum akhirnya bisa kembali menuntut ilmu berkat beasiswa untuk anak kurang mampu. Saat itulah ia mulai duduk di kelas yang sama dengan Rania hingga keduanya lulus SMA dua bulan yang lalu. Rania sendiri tidak tahu, mengapa ia memilih Rais. Barangkali karena kagum pada kekuatan dan ketabahan Rais. Atau, karena kasihan atas kemalangan yang menimpa cowok itu? Jatuh iba karena nenek dan ibu Rais akhirnya meninggal dunia juga lima dan satu tahun yang lalu? Rania tidak bisa menjawabnya. Yang pasti, ia menerima saat Rais mengatakan akan meminang dirinya sebulan yang lalu. Sudah kadung cinta. Akan tetapi, pendapat orang tua Rania tidak sama dengan anaknya. Jika waktu itu Rais hanya datang sendirian, ia pasti sudah ditolak mentah-mentah oleh keluarga Rania. Meskipun keluarga Rania bukan keluarga berada, mereka tentunya tidak memercayai seorang pemuda sebatang kara dan miskin yang ingin menikahi putri mereka. Beruntung imam masjid yang mendampingi Rais, dapat melakukan negosiasi yang membuat orang tua Rania lebih tenang menghadapi kenekadan Rais. Pak imam akhirnya dapat membuat orang tua Rania mau memberikan waktu dua tahun bagi Rais untuk mengumpulkan mahar dan biaya pernikahan. Tuntutan kedua orang tua Rania sebenarnya bukanlah hal yang berat, jika ditujukan pada pemuda yang masih memiliki keluarga untuk membantunya. Namun bagi Rais yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa, waktu yang diberikan menjadi satu-satunya kesempatan untuk menjadikan Rania menjadi istrinya. “Orang tuamu tahu, kamu datang ke sini?” tanya Rais sambil menyampirkan lagi tas lusuhnya di bahu. “Tidak. Kamu tahu ‘kan, Ayah dan Ibu tidak mengizinkan kita bertemu. Padahal, hari ini kamu berangkat ke kota,” jawab Rania jujur. Rais terdiam lagi. Ia mengenakan kopiahnya, lalu dengan bergetar mengucapkan pamit. “Kalau begitu, aku berangkat sekarang. Rustam bisa marah kalau aku terlambat ke tempatnya. Kamu juga, cepat balik sebelum ketahuan. Nanti dimarahi.” “Dimarahi saja tidak akan membunuhku, kok. Yang penting aku bisa melihat kamu sebelum kamu pergi bekerja di tempat bos si Rustam,” tukas Rania. Tidak rela berpisah secepat itu dengan Rais. “Iya. Aku pergi dulu. Dua tahun lagi aku kembali dan kita menikah.” “Kamu juga. Baik-baik di tempat orang. Jangan macam-macam dengan cewek kota, ya,” balas Rania disertai ancaman. “Iya. Kamu juga, jangan sampai menikah dengan Rinto,” kelakar Rais, menyebut nama teman mereka yang sudah mengejar Rania sejak mereka masih sekolah. “Tidak akan! Kalau kamu tidak kembali, aku yang akan menyusul ke kota!” tukas Rania. Rais tersenyum mendengar kata-kata Rania. Tangannya bergerak hendak mengusap kepala Rania, namun urung. Tidak boleh. Setelah dua tahun, Rania akan menjadi miliknya. Sampai saat itu tiba, Rais harus menahan diri. Rais mengucapkan salam, kemudian berbalik dan tidak menoleh lagi. Rania menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Rais!” panggil Rania saat Rais sudah berada cukup jauh. Rais berhenti melangkah dan menoleh. Menunggu Rania mengatakan sesuatu. “Jangan lupa janjimu! Kembali dua tahun lagi!” seru Rania. “Iya! Tunggu aku, ya!” balas Rais. Ia melambaikan tangan, kemudian berbalik untuk melanjutkan perjalanannya. Rustam pasti sudah menunggunya. Mereka akan berangkat bersama ke kota untuk bekerja pada majikan Rustam. Rania terpaku menatap kepergian Rais. Awalnya ia mengira akan mendapatkan perpisahan yang syahdu dan mengharukan layaknya di film-film. Namun, rupanya ia terlalu banyak mengkhayal. Rais adalah sosok yang pendiam karena hidupnya keras. Tentunya dia tidak akan menjadi alay dan sedih berlebihan karena berpisah sementara dengan Rania. Ada cita-cita yang harus dia capai, jadi tidak ada waktu menangisi perpisahan yang hanya akan menjadi bagian kecil dalam perjalanan cinta mereka. Sebaliknya, Rania merasa matanya mulai panas. Hingga Rais menghilang dari pandangannya, Rania masih mampu menahan air matanya. Namun, saat ia berbalik untuk kembali ke rumahnya, air mata itu akhirnya tumpah juga. Rania urung melangkah. Ia bersimpuh sambil mengusap kedua matanya. Cewek yang menangisi perpisahan, bukan berarti dia cengeng. Iya, ‘kan?Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd