Sudah setahun Rais meninggalkan kampung halamannya. Seperti kisah-kisah klasik, merantau untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar dapat menikahi gadis pujaannya.
Semua orang di kampung sudah mengetahui apa yang sedang Rais lakukan di kota. Ada yang terharu dan mendukung, namun ada pula yang tak percaya dan bahkan memandang remeh. Bukan hanya terhadap Rais, melainkan juga terhadap Rania, gadis yang hendak dipersunting oleh Rais. Ada yang yakin bahwa Rais dan Rania kelak akan bersatu di pelaminan, namun ada pula yang menampik. Dua tahun adalah waktu yang sebentar untuk mengumpulkan uang dan mempersiapkan pernikahan. Namun, untuk menjaga hati dan perasaan masing-masing, dua tahun akan terasa sangat lama. Di antara golongan orang yang mendukung mau pun yang skeptis itulah, terdapat golongan ketiga yang berada di tengah-tengahnya. Tidak mendukung dan tidak meragukan pula. Mereka adalah keluarga Rania yang hanya memberi waktu dua tahun pada Rais. Selain itu, masih ada Rinto, anak tuan tanah di kampung mereka. Rinto sendiri sedang menghabiskan waktu libur di kampung halamannya. Ia baru akan kembali minggu depan ke luar pulau untuk memulai semester baru. Kuliah yang sebenarnya enggan ia jalani karena harus berpisah dengan keluarga dan teman-temannya. Namun ayahnya bersikeras dan terus menyuruhnya belajar agar kelak dapat menggantikannya mengurus berbagai usaha mereka di kampung halaman. Seperti biasa, usai membantu menimbang hasil panen di kebun karet, siang itu Rinto pulang ke rumah. Ia sengaja melintas di depan rumah Rania dengan dibonceng oleh Rifat, pekerja yang hanya sedikit lebih tua. Saat melintas, Rinto menoleh ke rumah Rania, berharap melihat gadis itu sedang melayani pembeli di warung milik keluarganya. Namun ia harus menelan kekecewaan karena di warung sebelah rumah Rania tersebut hanya tampak ibu Rania. Rupanya, Rifat mendengar keluh Rinto yang tidak dapat melihat sosok Rania. Maka, ia pun mengambil inisiatif. “Kalau mau, kita ke rumahnya saja,” kata Rifat usai menarik rem hingga kepala Rinto nyaris menubruk belakang kepalanya. Seperti kebanyakan orang di kampung, dia juga mengetahui bagaimana perasaan Rinto pada Rania yang selama ini bertepuk sebelah tangan. “Hati-hati dong, Rif! Tidak, aku mau pulang saja,” sungut Rinto kesal, menolak usulan Rifat. “Ah, payah. Baru ditolak enam kali saja sudah menyerah,” ledek Rifat. Rinto mendengus kesal. Enam kali adalah angka yang sangat banyak. Terhitung sejak di bangku SMA, Rinto sudah terbiasa dengan penolakan Rania, satu-satunya gadis yang menarik hatinya. Dia sudah mengenal banyak gadis dalam perantauannya di luar pulau, namun hanya Rania yang telanjur ada di kepalanya. Namun, setelah sekali lagi ditolak saat ia mengawali liburannya, Rinto masih menjaga jarak dengan Rania. Ia hanya mau melihatnya dari kejauhan, seperti yang sudah dilakukannya selama menghabiskan libur semester di tempat kelahirannya ini. “Kalau begitu, pedekate saja dengan orang tuanya. Pura-pura mau beli apa kek, biar makin akrab dengan mereka,” usul Rifat lagi. Rinto tersenyum kecut. Kurang pendekatan apa lagi? Kalau ibu Rania melihatnya di jalanan, beliau pasti akan menyapa dan menawarinya untuk sekadar singgah minum es teh. Rinto akui, sebagai anak orang terkaya di kampung, mudah baginya menarik perhatian orang tua Rania. Bahkan, dia berpikir, jika dia punya keberanian untuk melamar Rania hari ini juga, orang tua gadis itu pasti akan setuju. Tapi Rania tidak akan setuju. Rania hanya untuk Rais. Rinto tahu betul itu. Rinto tidak menginginkan gadis yang memasukkan orang lain ke hatinya tanpa persetujuan. Dia tidak ingin Rania terpaksa menerimanya dan berakhir membencinya. Ini bukan cerita tentang nikah paksa yang berakhir dengan poligami, perselingkuhan atau perceraian. Rinto tidak menginginkan akhir seperti itu untuk kisah cintanya. “Sudah, kita pulang saja!” perintah Rinto gusar, membungkam mulut Rifat. Rifat terkekeh, lalu menarik gas lagi. Bersiap melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum motor bergerak, tiba-tiba Rinto menepuk bahu Rifat agar urung membawa mereka pergi. Penyebabnya satu: Rinto melihat Rania keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa. Gadis itu terlihat gusar. Langkahnya lebar-lebar dan cepat. Sangat tidak sabar. “Turun,” perintah Rinto sekonyong-konyong. “Hah?” suara Rifat kebingungan. Ada apa lagi ini? “Jalan kaki saja. Aku mau pakai motornya,” suruh Rinto kejam. Rifat tersenyum kecut. Dengan terpaksa, ia turun dari motor dan membiarkan Rinto mengambil alih kemudi. Tanpa basa-basi, Rinto meninggalkan Rifat. Ia membawa motor mendekati Rania yang berjalan kaki menuju ke barat. Setelah Rinto mengajak Rania bicara agak lama yang tampak sangat serius, Rania akhirnya naik ke boncengan. Entah ke mana mereka berdua akan pergi. Dari tempatnya berdiri, senyuman Rifat memudar. Ia mengembuskan napas, lalu berjalan kaki sambil menendang-nendang sebuah kerikil yang tidak bersalah.Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd